Rivalitas Milan dan Inter dalam Sejarah

Jelang <i>Derby Della Madonnina</i>

Rivalitas Milan dan Inter dalam Sejarah

Doni Wahyudi - Sepakbola
Jumat, 17 Apr 2015 14:00 WIB
Rivalitas Milan dan Inter dalam Sejarah
Newpress/Getty Images
Jakarta -

Terlepas dari posisi kedua klub yang kini terjebak di papan tengah, pertemuan AC Milan dengan Inter Milan tetap menjadi salah satu derby terpanas. Rivalitas keduanya dimulai sejak 1908, dan terus berlangsung sampai kini.

Derby Della Madonnina. Begitu pertemuan Milan dengan Inter dikenal. Nama tersebut dipakai sebagai bentuk penghormatan pada patung Bunda Maria yang terletak di atas Katedral Milan, yang oleh warga lokal disebut sebagai 'Madonnina ("Madonna Kecil" dalam bahasa Italia).

Sepanjang sejarahnya di semua kompetisi (resmi dan tidak resmi) Milan dan Inter sudah berhadapan 282 kali. Milan lebih baik dengan sudah mengumpulkan 110 kemenangan, sedangkan Inter meraih 99 kemenangan . Sebanyak 73 laga lainnya berkesudahan imbang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Paolo Maldini menjadi pemain yang paling sering tampil dengan total bermain pada 56 edisi derby. Sementara yang memegang status topskorer sepanjang masa adalah Andriy Shevchenko dengan 14 golnya.

Pada awalnya hanya ada satu klub sepakbola di Kota Milan. Pada 16 Desember 1899, orang Inggris bernama Alfred Edward mendirikan Milan Cricket and Football Club. Milan kemudian memenangi gelar liga nasional pada tahun 1901, 1906 dan 1907.

Di tahun 1908 Milan terpecah karena ketidaksepakatan di dalam klub soal pembelian pemain asing. Sejak saat itulah lahir F.C. Internazionale Milano, dan sejak saat itu juga rivalitas antara dua klub satu kota itu pun dimulai. Di awal perseteruan keduanya, salah satu skor terbesar dalam pertemuan Duo Milan itu datang pada 3 maret 1918, saat Milan menghantam Inter 8-1.

Di masa lalu, Inter dikenal sebagai klub yang didukung oleh kelompok borjuis sementara Milan adalah klub yang didukung kelas pekerja. Namun di era modern hal tersebut dianggap tidak lagi relevan karena Milan dimiliki oleh perdana menteri konservatif Silvio Berlusconi, sementara Inter dipunya oleh Massimo Moratti, yang kemudian melepas sebagian sahamnya ke pebisnis asal Indonesia Erick Thohir.

Di era 1960-an, Inter jadi klub dengan kisah sukses lebih mengilap: memenangi Piala Champions dua kali beruntun dan menjuarai Piala Interkontinental (kini Piala Dunia Antarklub) juga dua kali beruntun. Namun di akhir 1980-an sampai awal 1990-an gantian Milan yang menguasai Italia dan juga Eropa.

Di tahun 1960-an sampai 1970-an, rivalitas Milan dan Inter juga ditandai dengan persaingan antara dua bintang Italia yang membela kedua tim yakni Gianni Rivera dan Sandro Mazzola.

Rivera yang memperkuat Milan dianggap sebagai salah satu gelandang terbaik yang pernah dipunya Italia. Dia memenangi Ballon d'Or dan dapat julukan Golden Boy atas kemampuannya di lapangan. Sementara Mazzola yang membela Nerazzurri merupakan anak dari legenda Torino,Β  Valentino Mazzola, yang tewas dalam kecelakaan pesawat di tahun 1949.

Di era tersebut Milan yang dilatih Nereo Rocco dan Inter bersama pelatihnya Helenio Herrera berulang kali menjuarai Serie A. Rossoneri jadi kampiun di musimΒ  1961–62, 1967–68, 1978–79 sementara Inter pada musim 1962–63, 1964–65, 1965–66, dan 1970–71.

Rivalitas Mazzolla dan Rivera berlanjut ke tim nasional Italia, di mana kedua pemain sering tidak dimainkan bersama. Jika salah satu main di babak pertama maka pemain yang lain turun di babak kedua, begitu terjadi berulang kali.

Pada final Piala Dunia 1970, Rivera kehilangan posisi sebagai starter dalam laga dengan Brazil. Ketika itu Italia menelan kekalahan telak 1-4.

Rivera pada akhirnya masuk lapangan di menit 88, namun ketika itu Gli Azzurri sudah tertinggal jauh. Banyak pelatih dan suporter Italia menilai pelatih Ferruccio Valcareggi mengambil keputusan yang salah dalam penentuan starting line up, karena Rivera yang lebih dinamis dinilai bisa menghidupkan permainan Italia.

Salah satu periode yang juga menarik dari rivalitas Milan dan Inter terjadi di akhir 1980-an sampai pertengahan 1990-an. Ketika itu kedua klub sama-sama diperkuat tiga pemain asing dari dua negara berbeda.

Milan memiliki trio Belanda yang mengantar mereka meraih sukses besar: Marco van Basten, Frank Rijkaard dan Ruud Gullit. Sedangkan Inter juga punya trio pemain Jerman dalam diri Andreas Brehme, JΓΌrgen Klinsmann serta Lothar Matthaus.

Di periode ini Milan jauh lebih dominan dari Inter. Tiga trofi Liga Champions dimenangi dalam kurun 1988 sampai 1992, Rossoneri pun dijuluki sebagai The Dream Team.

Terkait duel trio Belanda dan trio Jerman, rivalitasnya terseret juga sampai Piala Dunia 1990. Diperkuat Basten, Gullit dan Rijkard, Belanda jadi salah satu favorit kuat di Piala Dunia ketika itu. Apalagi dua tahun sebelumnya Belanda keluar sebagai juara Piala Eropa. Jerman pun menjadi salah satu favorit usai jadi runner up di 1986.

Pertemuan Belanda dan Jerman uniknya terjadi di San Siro, di babak 16 besar. Maka Rijkaard-Gullit-van Basten vs Brehme-Klinsmann-Matthaus pun layaknya Derby Milan. Laga itu berjalan panas dan diwarnai kartu merah untuk Rijkaard karena meludahi Rudi VΓΆller. Inter jadi pihak yang 'menang' dalam duel itu setelah Klinsmann dan Brehme mencetak gol yang memberi Jerman kemenangan 2-1.

Milan kemudian melanjutkan periode keemasannya bersama Fabio Capello dan memenangi trofi Liga Champions di tahun 1994 dengan mengalahkan Barcelona dengan skor telak 4-0. Lima Scudetto didapat Milan dalam era 1990-an tersebut. Sementara sejak terakhir jadi kampiun di 1989, Inter harus menunggu sampai 2006 untuk kembali jadi juara - saat gelar milik Juventus dicoret karena skandal Calciopoli.

Dari ratusan pertemuan Milan dengan Inter di berbagai kompetisi, duel di leg kedua perempatfinal Liga Champions 2004/2005 dianggap sebagai yang paling dikenal.

Saat Milan tengah unggul 1-0 (3-0 secara agregat) berkat gol Andriy Shevchenko, pendukung Inter dibuat marah dengan keputusan wasit yang menganulir gol penyama kedudukan oleh Esteban Cambiasso. Rangkaian peristiwanya tidak berhenti sampai di situ karena wasit Markus Merk kemudian memberi kartu pada gelandang asal Argentina itu.

Botol-botol dan berbagai benda lain mulai dilempar Iteristi ke dalam lapangan, kekacauan meningkat karena ada flare juga ikut dilempar ke dalam. Saat Dida berupaya membuang flare tersebut dia malah kena lemparan flare yang lain. Wasit kemudian menghentikan laga di menit 74.

Pertandingan sempat terhenti sekitar 30 menit, di mana pada periode itu pemadam kebakaran harus masuk ke lapangan untuk memadamkan flare yang menyala. Saat laga dimulai kembali, Dida tidak bisa kembali bermain dan digantikan Christian Abbiati. Namun pertandingan cuma bertahan semenit karena wasit kembali memutuskan pertandingan dihentikan karena ada flare dan benda-benda lain melayang masuk lapangan.

Laga tak dilanjutkan dan Milan dinyatakan menang 3-0, agregat 5-0. Dida mengalami luka bakar tingkat satu di bahunya, sedangkan Inter didenda 200.000 euro yang merupakan denda terbesar yang dijatuhkan UEFA saat itu. Inter juga diharuskan menggelar satu laga Liga Champiosn tanpa penonton di musim 2005/2006.

Hide Ads