Socrates dan Sepakbola sebagai Bendera Perlawanan

Socrates dan Sepakbola sebagai Bendera Perlawanan

- Sepakbola
Jumat, 28 Jun 2013 10:11 WIB
Jakarta - Jika ada yang heran dengan protes warga Brasil terhadap pemborosan menyambut Piala Dunia 2014, ingatlah nama ini: Socrates.

Mudah memang mengaitkan (rakyat) Brasil dengan stereotipe tertentu. Yang pertama, tentunya, adalah bahwa Brasil gila sepakbola. Bahwa negara pemegang gelar juara dunia terbanyak ini, negara yang juga melahirkan artis lapangan hijau seperti Garrincha, Pele, Zico, Socrates, Rivaldo, atau Ronaldinho, ini hidup (hanya) untuk sepakbola.

Stereotipe kedua, yang sudah menyebar selama puluhan tahun, adalah tentang karakter masyarakat Brasil. "Brasil adalah negara masa depan – dan akan selalu hidup di masa depan". Ungkapan ini merujuk pada Brasil yang memiliki kekayaan alam luar biasa, namun tidak pernah mampu memanfaatkannya. Entah itu karena terlalu lunak pada korupsi, pada kriminalitas, atau lemah dalam mengatasi praktik penyelenggaraan pemerintahan yang tidak becus.

Brasil adalah negara yang tidak berkeberatan untuk terlambat, katanya. Namun, demonstrasi yang berlangsung lebih dari seminggu terakhir ini seakan membantah stereotipe ini. Ratusan ribu anak muda, dari golongan kelas menengah, yang setiap minggunya berpesta di dalam stadion, kini malah menunjukkan keengganannya saat harus menjamu ribuan pecinta sepakbola dari berbagai belahan dunia lainnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ya, seakan menolak pengkerdilan bahwa mereka hanya punya passion tentang sepakbola saja, puluhan kota di Brasil menggelar demonstrasi. Sepakbola yang kerap dianggap jadi segalanya bagi Brasil pun dengan tegas diperlakukan sebagai prioritas kesekian, berada di bawah kebutuhan primer lainnya.

Dengan sadar, mereka menggelar perlawanan tepat saat gelaran Piala Konfederasi. Pilihan itu bukan sekadar memanfaatkan momentum, tapi juga suatu pilihan simbolik. Pertama, dengan menggunakan Piala Konfederasi [yang dihelat oleh FIFA] sebagai momen perlawanan, mereka sebenarnya sedang mengatakan "tai kucing" pada FIFA, badan sepakbola dunia satu-satunya, yang bukan hanya otoriter, tapi juga biang keladi segala komersialisasi sepakbola yang dari hari ke hari semakin tidak masuk akal itu.

Kedua, dengan menggelar perlawanan saat berlangsungnya Piala Konfederasi, para demonstran Brazil itu hendak menyodorkan sebuah anti-tesis terhadap gagasan depolitisasi sepakbola ala FIFA. Sudah jadi rahasia umum bahwa FIFA sangat anti-politik. Tapi di bawah permukaannya, FIFA justru sangat gemar berpolitik. Seperti yang sudah kami uraikan dalam esai Depolitisasi Sepakbola, FIFA sangat anti politik berhaluan kiri, tapi mereka justru mempraktikkan ideologi politik yang sangat kanan: pro liberalisasi, industrialisasi, komersialisasi.

Di satu sisi, netralitas sepakbola memang dibutuhkan untuk melindungi mereka yang termarjinalkan dari pesan-pesan rasisme atau bigotry. Tapi di sisi satunya, sulit untuk tidak bersikap sinis dan beranggapan bahwa sepakbola yang netral dibutuhkan hanya untuk menarik lebih banyak massa demi kepentingan komersial. Bagaimanapun juga, satu "produk" yang tak menyinggung banyak orang akan lebih mudah untuk dijual.

Dan Brasil adalah tanah sepakbola yang pernah melahirkan seorang jenius lapangan hijau yang pernah juga jadi pemimpin gerakan perlawanan: Socrates Brasileiro Sampaio de Souza Vieira de Oliveira atau yang masyhur dengan Socrates saja.
 


Socrates memang sudah wafat pada 2011 lalu, tapi inspirasi yang memancar dari riwayat hidupnya tak mungkin dilupakan para pemuda yang berunjukrasa sepanjang gelaran Piala Konefderasi ini.

Diakui sebagai salah satu gelandang jenius yang pernah dilahirkan Brasil, Socrates pernah jadi kapten tim Selecao di Piala Dunia 1982. Folklore dalam sepakbola dunia selalu menyebut tim yang dipimpinnya itu sebagai 1 dari 3 tim terbaik sepanjang sejarah bersama Hongaria di Piala Dunia 1950 dan Belanda di Piala Dunia 1974. Ironisnya: ketiga tim itu gagal menjadi juara.

Pemain kelahiran tahun 1954 dengan sangat efektif memanfaatkan wibawanya sebagai pemain yang disegani untuk menyampaikan atau bahkan mengajarkan pentingnya memasukkan nilai-nilai demokrasi dalam pengelolaan sepakbola. Selama memperkuat Corinthians [1978-1984], Socrates berhasil menanamkan pentingnya beradu argumen dan berdiskusi untuk membahas dan menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kepentingan para pemain. Jam berapa latihan, kapan makan siang, kapan makan malam, aturan merokok dan minum alkohol, diputuskan secara terbuka oleh semua stake-holder Corinthians.

Hasilnya: mereka menjadi juara Liga Brazil 3 kali [1979, 1982, 1983]. Dua gelar juara terakhir yang dicapai secara berturut-turut bahkan diraih dalam iklim yang benar-benar demokratis, ketika "Corinthians Movement" sedang mencapai puncaknya.

Dalam sejarah Brasil, apa yang dilakukan Socrates dkk., itu memang dikenal sebagai "Corinthians Movement". Gerakan itu punya dua sasaran. Pertama, ke dalam klub, Socrates berhasil merombak paradigma pengelolaan klub yang tertutup menjadi lebih terbuka dan demokratis; di mana pemain, suporter, dan manajemen bisa duduk bersama membahas berbagai macam isu. Kedua, sebagai efek demokratisasi di level klub, maka para pemain Corinthians pun punya kepedulian yang kuat terhadap isu-isu di luar sepakbola.

Tidak heran jika Socrates [dengan dibantu oleh pemain bertahan Wladimir] bisa mengajak rekan-rekannya di Corinthians untuk ambil bagian dalam gerakan perlawanan menentang rezim diktator militer Brasil yang saat itu didukung Amerika Serikat.

Mereka bahkan tidak segan-segan mengenakan jersey yang di bagian belakangnya [di atas nomer punggung] bertuliskan kalimat: Democracia. Dan itu mereka kenakan sepanjang pertandingan berlangsung, bukan hanya saat pemanasan atau latihan saja. Ketika menjuarai Liga Brazil musim 1982, tulisan Democracia setia melekat di jersey mereka. Di lain kesempatan, mereka mengenakan jersey dengan tulisan Dia 15 Vote, yang merupakan seruan pada rakyat Brazil untuk hadir dalam pemilihan umum multi-partai pertama sejak kudeta militer pada 1964.
 


Rezim militer Brasil memang selalu berkepentingan dengan sepakbola. Mereka mencoba mengalihkan kekecewaan rakyatnya dengan memanfaatkan sepakbola. Bandingkan juga dengan rezim militer Argentina yang menggunakan Piala Dunia 1978 untuk mengalihkan perhatian publik terhadap aksi-aksi penculikan para aktivis.

Apa yang dilakukan oleh Socrates di Corinthians mungkin tidak unik. Banyak pemain sepakbola yang menggunakan permainan ini sebagai alat kampanye perlawanan. Tapi, sampai sejauh ini, tidak ada gerakan perlawanan dari sepakbola yang bisa se-masif, rapi, ideologis, dan terstruktur seperti Corinthians. Sebutan "Corinthians Movement" adalah pengakuan betapa yang dilakukan Socrates, dkk., itu bukanlah sebuah perlawanan iseng yang hanya sepukul-dua-pukul.

Dan perlawanan Socrates juga tak hanya di lapangan hijau, bukan jenis perlawanan sepukul-dua-pukul. Ketika pensiun, dia jadi seorang intelektual publik yang tak letih-letihnya berkampanye menentang korupsi, menyokong pentingnya pengelolaan sepakbola secara demokratis, menjadi bagian gerakan hak-hak publik.

Simaklah komentarnya mengenai tim Corinthians: "Itu adalah tim terbaik yang pernah saya perkuat karena di sana lebih dari sekadar olahraga. Kemenangan politik saya rasanya jauh lebih besar dari kemenangan saya sebagai pemain profesional. Pertandingan berakhir setelah 90 menit, tapi hidup harus terus berjalan."

Ya, hidup jauh lebih besar dari sekadar 90 menit di lapangan hijau. Baginya, hidup jauh lebih besar dari sepakbola, sehingga sepakbola tak bisa dan tak boleh menghancurkan kehidupan. Sebagaimana Socrates yang lain, Socrates yang filsuf dan sering dianggap sebagai Bapak Filsafat Yunani, maka Socrates yang pesepakbola ini pun tak henti-hentinya menghargai kehidupan. Dua Socrates yang berbeda ini juga sama-sama senang menikmati pertemanan, berjalan-jalan di tengah kota, berbicara dengan orang-orang, berdialog dan berdiskusi tentang banyak hal.

Dengan cara itulah dia belajar terus menerus, tanpa henti -- sebagaimana diajarkan oleh Paulo Freire, filsuf Brasil yang terkenal dengan metode pendidikan kritis bagi kaum tertindas. Perlawanan Socrates terhadap ketertutupan pengelolaan klub ini memang menggemakan semangat pendidikan kritis-nya Freire. Jika Freire mengkritik pendidikan yang kerap memperlakukan peserta didik sebagai orang bodoh, maka Socrates juga melawan kecenderungan klub memperlakukan pemain seperti anak kecil yang harus serba-nurut.

Jangan heran juga jika saat bermain di Italia bersama Fiorentina [1984-1985], dia asyik belajar banyak hal tentang kebudayaan, sejarah dan pemikiran ala Italia. Ketika dia ditanya siapa pemain Italia yang paling dia hormati, (Sandro) Mazzola atau (Gianni) Rivera, dia hanya menggeleng. Sambil menghisap cerutu, dia menjawab: "Saya tidak kenal mereka. Saya di sini untuk membaca dan mempelajari [buku-buku] Antonio Gramsci dalam bahasa aslinya sekaligus untuk sejarah pergerakan buruh."

Antonio Gramsci adalah filsuf Marxis yang dikenal terutama berkat pemikirannya mengenai teori hegemoni yang ditulisnya selama dipenjara. Bagi seorang yang mempelajari Gramsci, tentu tidak sulit untuk memahami bagaimana sepakbola amat mudah digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya.

Lahir di kota Belem, gerbang menuju sungai Amazon, Socrates seperti melanjutkan tradisi perlawanan para petani Amazon terhadap pembabatan hutan untuk kepentiang komersial. Jika Chico Mendez, penyadap karet tradisional yang mati dibunuh oleh para pembalak hutan, adalah protagonis utama perlawanan terhadap komersialisasi hutan Amazon, maka Socrates adalah protagonis penting dalam sepakbola Brazil yang gigih mengkampanyekan sepakbola sebagai permainan rakyat, sarana mengajarkan nilai-nilai demokrasi, dan medium menggelar perlawanan terhadap kekuasaan yang koruptif.

Perlu diingat, Brasil adalah negeri penting dalam persemaian "teologi pembebasan". Teologi pembebasan adalah gerakan dalam teologi yang menafsirkan ajaran-ajaran Kristus dalam upaya membebaskan orang-orang dari penindasan ekonomi dan politik. Selain Gustavo Guttierez dari Peru, para pemikir teologi pembebasan banyak yang berasal dari Brazil. Beberapa di antaranya adalah Leonardo Boff, Paulo Evaristo Arns sampai Dom Helder Camara.

Di negeri yang sering menganggap sepakbola sebagai agama, Socrates tak ubahnya seorang teolog yang tak henti-hentinya mengkampanyekan pembebasan sepakbola dari korupsi, para pemain yang rakus, para pemilik klub yang tamak dan perusahaan-perusahaan multi-nasional yang menjajakan produknya melalu isepakbola.

Itulah sebabnya, di hadapan riwayat Socrates yang seperti ini, Maradona yang men-tatoo tubuhnya dengan gambar Che Guevara dan Fidel Castro rasanya lebih mirip seorang anak muda kasmaran yang merajah tubuhnya dengan wajah pacarnya di sekolah.

=====

*Akun Twitter penulis: @zenrs dari @panditfootball

Baca Juga:
Sepakbola Tak Lebih Penting dari Sekolah dan Rumah Sakit



(roz/din)

Hide Ads