Hikayat Toni Pogacnik (Bagian III)
Suap yang Menghancurkan Pogacnik

Kegemilangan dan legenda Toni Pogacnik dicederai oleh skandal suap timnas Indonesia. Bukan dia yang melakukannya. Tapi para pemain yang justru sudah dia latih bertahun-tahun lamanya. Suatu pukulan sangat telak bagi karier kepelatihannya.
Skandal suap itu dikenal sebagai "Skandal Senayan 1962". Di tahun itu, Toni Pogacnik sedang sangat fokus, amat antusias, dan sungguh serius mempersiapkan tim untuk menghadapi Asian Games [AG] di kandang sendiri. Targetnya jelas: juara. Target yang masuk akal saat itu, mengingat di dua gelaran AG sebelumnya Indonesia terus menanjak prestasinya: AG 1954 juara 4, AG 1958 juara 3.
Persiapan sudah dirancang jauh-jauh hari. Beberapa pemusatan latihan digelar. Sepanjang proses itu, publik sangat memperhatikan apa yang dilakukan Toni dan timnya. Maklum, AG 1962 memang sudah sangat ditunggu sekaligus diharapkan prestasinya.
Tidak heran jika tim asuhan Toni akan mudah diserang publik jika menunjukkan gelagat yang tidak bagus. Misalnya pada Maret 1961, sesudah tim digembleng selama dua minggu, mereka ujicoba dengan Persija Jakarta. Ternyata timnas kalah. Bukan main kecaman yang mampir kepada Toni, baik dari publik dan terutama dari pers.
Tapi Tony bergeming. "Bagi saya pertandingan itu merupakan sukses besar, sebab tujuannya adalah untuk menghadapi Asian Games dan melalui pertandingan 'try-out' tersebut terlihat-lah kelemahan-kelemahannya," ungkap Toni saat itu. Dari situ terlihat jelas kepercayaan diri Toni. Dia tetap fokus pada target dan tujuan.
Lima bulan kemudian mereka dihadapkan dengan kesebelasan Torpedo dari Eropa Timur yang waktu itu berkunjung ke Indonesia. Menjelang pertandingan, Ketua PSSI Abdul Wahab datang menemuinya dan bertanya apakah PSSI bisa menang melawan Torpedo? Konon apabila PSSI kalah dalam pertandingan tersebut Pejabat Presiden Dr Leimena akan jatuh sakit.
"Kalau Torpedo ingin menang mereka harus bekerja keras," jawab Toni singkat. Hasilnya timnas Indonesia dapat menahan Torpedo.
Pada laga ujicoba berikutnya melawan timnas Yugoslavia senior, anak asuhan Toni pun menunjukkan performa yang terus meningkat. Hasil akhirnya memang kalah 2-3 dari tim tamu, tapi performa yang ditunjukkan timnas saat itu menuai banyak pujian.
Puncak persiapan jelang AG 1962 adalah ajang Merdeka Games. Toni memutuskan untuk mencoba mengkombinasikan antara pemain senior dan pemain junior yang saat itu baru saja menjuarai Kejuaraan Junior se-Asia di Bangkok. Merdeka Games digelar pada 2-13 Agustus 1961 di Kuala Lumpur.
Pada posisi kiper, Maulwi Saelan dipanggil kembali. Cadangan Saelan adalah Tjong dari Makasar. Perpaduan senior dan junior di posisi kiper. Sony Sandra dipromosikan ke senior, demikian juga Simon, bekas pemain junior, yang tidak pernah dipasang lagi. Wowo dipanggil lagi setelah comeback-nya bersama Persib di kejuaraan PSSI.
Pemain-pemain Bandung seperti Ishak Udin, Iljas, Sunarto, Hengky Timisela, Pietje Timisela, Omo Suratmo bergabung juga. Diikutsertakan juga pemain-pemain senior seperti Liong Houw, Phwa Sian Liong, Idris Mapakaja, Manan, Frans Jo dan Dirhamsjah. Kiat Sek, Rukma, Bob Hippy, Suhendar tidak dibawa ke Kuala Lumpur.
Hasilnya lagi-lagi memuaskan. Indonesia berhasil menggondol gelar juara menyisihkan para pesaing seperti Singapura, Thailand, Hongkong, Malaysia dan bahkan Korea Selatan. Tak hanya itu, gelar juara Merdeka Games 1961 itu pun diraih dengan catatan gemilang: tanpa terkalahkan sepanjang turnamen.
Publik pun semakin menaruh harapan yang sangat tinggi pada tim asuhan Toni. Semakin mendekati hari-H, semakin banyak liputan dan pembicaraan mengenai timnas yang dipersiapkan untuk AG 1962 itu. Terlebih orang semua tahu bahwa TVRI akan mengudara pertama kali sepanjang AG di Jakarta itu, sehingga banyak orang di luar Jakarta pun bisa menyaksikannya. Antusiasme publik sepakbola saat itu mungkin bisa dibandingkan dengan eforia saat Piala Asia 1997 atau Piala AFF 2010.
Toni tahu antusiasme itu. Dia sendiri sempat berbicara kepada Harian Merdeka mengenai beban yang dipikulnya. Katanya: "Saya bertanggungjawab kepada hampir seratus juta rakyat Indonesia atau kepada siapapun selama ia adalah orang Indonesia. Regu Indonesia bisa kalah dalam Asian Games, tetapi tidak boleh gagal. Dan saya merasa mempunyai tanggungjawab besar dan langsung tentang hal ini."
Sayang beribu kali sayang, tim yang sudah dipersiapkan sangat lama sejak 1952, dipersiapkan dengan matang, dengan kesungguhan hati, dengan fokus sepenuh jiwa, harus hancur karena skandal suap yang bukan hanya mengguncang keseimbangan tim, tapi merusak ketahanan moral dan mental tim.
Skandal suap itu mulai terkuak pada awal Januari 1962 dan memuncak pada 19 Febuari 1962 ketika Indonesia berujicoba dengan tim Vietnam Selatan. Usut punya usut, termasuk dengan melibatkan penyelidikan kepolisian, bukan sekali dua kali saja para pemain timnas bermain mata dengan para bandar judi. Hasil penyelidikan menyebutkan, pertandingan-pertandingan yang ditemukan telah diatur itu di antaranya adalah pertandingan timnas Indonesia melawan Malmoe (Swedia), Thailand, Yugoslavia Selection dan Ceko Combined.
Setidaknya ada 10 pemain timnas saat itu yang dikenakan skorsing. Dan banyak di antaranya adalah para pemain utama yang menjadi andalan Toni Pogacnik. [Untuk mengetahui lebih detail mengenai skandal ini, baca 4 serial artikel kami Judi dan Match Fixing di Indonesia].
Toni jelas-jelas hancur hatinya. Dia sampai menangis di kantor polisi saat polisi melakukan penyelidikan terhadap beberapa pemain yang dicurigai. Hancur pula harapan publik sepakbola Indonesia. Di kandang sendiri, di Jakarta, timnas Indonesia hancur dan tak bisa memenuhi target juara di AG 1962. Boro-boro juara, lolos babak grup pun tidak mampu.
"Kalau saja tidak terjadi suap-suapan, tim itu dapat mencapai standar internasional," katanya dengan nada menyesal. Meskipun kemudian ditambahkan bahwa "hal itu bisa saja terjadi di mana-mana."
Toni setelah itu berniat mengundurkan diri, tapi ditolak. Pengunduran diri baru diterima setelah Toni mengalami cedera lutut dalam rangkaian tur ke Cina pada 1963. Setahun kemudian ia dengan resmi minta berhenti.
Ini bisa dimengerti karena Toni bukan tipikal pelatih yang hanya mau duduk di bench dan memimpin rapat taktik saja. Dia pelatih, lebih tepatnya bertipikal trainer, yang selalu terlibat dalam semua proses latihan. Seperti yang bisa pembaca saksikan pada foto-foto di tulisan bagian ke-2, Toni banyak memberi contoh bagaimana seharusnya menendang, menyundul, melakukan tekel, dll. Dia tak bisa melakukan itu lagi jika lututnya sudah cedera.
Dan dengan itu, berakhir pula sebuah era kegemilangan timnas Indonesia.
(bersambung)
====
*akun Twitter penulis: @cakdim dari @panditfootball
Baca Juga:
Bagian 1: 'Menciptakan Pele Merupakan Pekerjaan Suatu Bangsa'
Bagian 2: Perunggu Asian Games 1958 dan Folklore 0-0 di Melbourne
(roz/roz)