Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Chivas sebagai Cerita Sedih Industri Bola Amerika

    - detikSport
    Getty Images/Stephen Dunn Getty Images/Stephen Dunn
    Jakarta -

    Seperti kebiasaan di tiap minggunya, suporter Chivas USA dengan balutan kostum merah strip putih berdatangan ke The StubHub Center. Jumlah mereka tak banyak, meski tak bisa dihitung dengan jari. Ada sekitar enam ribu penggemar yang sebenarnya tengah menghadiri "upacara kematian" Chivas USA.

    Minggu (26/10/2014) di akhir Oktober itu, tak seperti kebanyakan Minggu-Minggu di musim dingin lainnya. Di sore yang tak hangat itu, Chivas memberikan pertunjukkan terakhir bagi para penggemar. San Jose Earthquakes menjadi saksi bagaimana sebuah tim --yang tak terlalu disayangi--akhirnya mati.

    Keesokan harinya, MLS, sebagai operator Liga Sepakbola Amerika Serikat, mengumumkan secara resmi bahwa pengoperasian Chivas USA ditutup. Secara resmi pula, kata "Dissolved" atau "Bubar", tercantum dalam laman Wikipedia Chivas USA.

    Ekspansi yang Buat Rugi

    Sistem Liga Sepakbola Amerika Serikat terbilang berbeda dibandingkan dengan liga-liga lainnya. Selain terkenal karena meniadakan promosi-degradasi, kepemilikan klub di MLS pun tak seperti lazimnya di liga-liga lain.

    Individu atau kelompok yang akan membentuk klub baru, mesti membeli saham MLS terlebih dahulu. Setelah itu, baru mereka bisa membeli hak pembentukan klub. Sistem ini populer dengan istilah franchise. Klub dan pemain sejatinya milik MLS, bukan milik klub.

    Untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antarmanajemen klub, MLS mengatur salary cap dan designated player. Gaji semua pemain dibatasi, sementara dua pemain boleh digaji lebih dari batas yang ditentukan. Pemilihan pemain pun dikenal dengan sistem draft yang memungkinkan bagi tim peringkat terakhir mengambil talenta terbaik pada musim selanjutnya.

    Ada banyak syarat yang harus dipenuhi calon pemilik klub. Calon pemilik klub mesti meyakinkan MLS bahwa mereka sanggup membiayai operasional klub selama mengikuti kompetisi. Diperlukan biaya dari puluhan juta dolar hingga ratusan juta dolar untuk biaya franchise. Selain itu, mereka juga mesti memiliki stadion atau menjalin kerjasama dengan pengelola stadion yang sesuai dengan spesifikasi MLS.

    Setelah melalui rangkaian persyaratan teknis, calon pemilik klub pun mesti melakukan kajian mendalam di kota atau daerah tempat mereka akan berkandang. Tanpa basis massa yang besar, jangan harap MLS menyetujui pendirian klub.

    Aturan seketat ini dilakukan untuk menjaga ritme kompetisi itu sendiri. Sadar kalau sepakbola bukan primadona Amerika, klub yang berlaga di MLS mesti kuat berjuang meski tanpa mendapatkan pendapatan yang besar, atau malah merugi di awal pembentukannya.

    Namun, MLS masih dihantui oleh ditutupnya operasional Miami Fusion dan Tampa Bay Unity pada tahun 2001. MLS bukannya tanpa alasan menawarkan pembentukan klub baru kepada Antonio Cue dan Jorge Vergara.

    Vergara merupakan pemilik klub Meksiko, Club Deportivo Guadalajara. Nantinya, klub baru tersebut akan berbentuk ekspansi dari Guadalajara. Tujuannya jelas: menjadikan penggemar Guadalajara sebagai pendukung klub yang baru dibentuk tersebut.

    California dipilih sebagai kandang klub baru tersebut. Salah satu alasannya adalah California merupakan negara bagian dengan komunitas Hispanik dan Latino terbesar di Amerika.Kedua komunitas tersebut merupakan salah satu target pasar terbesar dari sepakbola Amerika.

    "Baca tulisan perihal faktor orang Hispanik dalam perkembangan sepakbola di Amerika."

    Sebagai penyempurna, klub tersebut dinamai Chivas USA. Chivas merupakan nama lain dari Guadalajara, sedangkan USA sebagai penanda negara tempat mereka berkompetisi. Logo serta warna kostum dibuat sama dengan Guadalajara. Dari sini, hampir sulit untuk menelisik faktor apa yang dapat membuat klub tersebut bangkrut di kemudian hari.

    Dengan nada penuh semangat, mereka berkompetisi di MLS dengan membawa pesan: Adios soccer, el futbol esta aqui. (Selamat tinggal "soccer", "football" is here).



    Ironi Latino-sentris

    Sejumlah staf Chivas USA dikabarkan diberhentikan sepihak oleh manajemen klub. Alasannya karena mereka bukanlah Hispanik, bukan pula Latino.
    Kasus ini menyeruak pada pertengahan tahun lalu. Kala itu, dua bekas pelatih Chivas mengajukan tuntutan ke pengadilan. Mereka mengklaim manajemen Chivas memecat mereka karena mereka bukanlah latino.

    Sang pemilik, Jorge Vergara, dianggap memiliki aturan khusus yang dianggapnya sebagai bagian dari diskriminasi. Pengacara dua pelatih tersebut mengatakan mereka dipecat karena aturan etnosentris yang diterapkan Vergara di klub.

    Saat itu, pada bulan November 2012, dalam sebuah pertemuan, Vergara meminta staf yang bisa berbahasa Spanyol untuk mengangkat tangan. Beberapa orang tidak mengangkat tangannya karena mereka memang tidak bisa berbahasa Spanyol.

    Dalam surat tuntutan tersebut juga tertulis bahwa Vergara bahkan pernah berkata seperti ini: "Jika Anda tidak bisa berbahasa Spanyol, Anda bisa bekerja untuk (LA) Galaxy. Kecuali kalau Anda bicara bahasa Tionghoa, yang bahkan bukan merupakan sebuah bahasa."

    Namun aturan ini nyatanya tidak diaplikasikan pada pemilihan pemain. CD Guadalajara dikenal sebagai klub yang total menggunakan pemain asli Meksiko. Bahkan, mayoritas dari mereka memang lahir di Guadalajara. Dari 25 pemain yang berlaga pada musim ini, 10 di antaranya merupakan pemuda asli negara bagian Jalisco, di mana Guadalajara berada.

    Sementara itu, Chivas USA pada musim ini hanya menggunakan satu pemain Meksiko. Itu pun merupakan pemain pinjaman Guadalajara, Erick Torres. Sisanya, 16 pemain berasal dari Amerika Serikat, dan tujuh pemain dari Amerika Selatan.

    Entah ada hubungannya atau tidak dengan tuntutan pada Vergara, MLS pun membeli Chivas pada 20 Februari 2014. MLS mengoperasikan klub tersebut hingga akhir masa reguler. Mereka pun menyatakan sudah ada investor baru yang akan menangani tim tersebut. MLS mengisyaratkan bahwa tim baru tersebut tak lagi berhubungan dengan Chivas USA, tapi tetap berbasis di MLS.

    Pendukung Chivas Bukan Suporter Biasa

    Awal semangat pembentukan Chivas adalah Guadalajara. Diharapkan penggemar Guadalajara akan menjadi fans Chivas pula. Namun, target umum dari klub adalah menjaring suporter Latino dan Hispanik yang tersebar luas di Los Angeles dan California.

    Tidak salah rasanya jika Chivas memilih The StubHub Center sebagai kandang mereka. Stadion tersebut memiliki kapasitas hingga 27 ribu kursi. Di stadion itu pula Chivas bersaing secara nyata dengan LA Galaxy .Tentu saja, Chivas kalah. Mereka selalu ada di belakang bayang-bayang LA Galaxy. Setelah kepindahan David Beckham ke rival sekota, kekalahan Chivas menjadi lebih telak karena sepanjang penyelenggaraan MLS, rataan penonton Chivas nyatanya tak pernah melebihi Galaxy.

    Namun, suporter Chivas itu istimewa. Mayoritas dari mereka berasal dari kalangan yang berbahasa Spanyol. Homogenitas ini membuat adanya jalinan yang sedemikian erat di antara pendukung Chivas.

    Jurnalis Amerika, Zack Goldman dan Maxi Rodriguez, sempat mewawancarai pendukung Chivas di pertandingan terakhir melawan San Jose. Mayoritas dari mereka amat kecewa dengan penutupan tersebut.

    Sebelum pertandingan dimulai, ada pemandangan asing di atas lapangan. Sekelompok suporter masuk ke dalam lapangan. Mereka berbaris di belakang pemain Chivas yang akan memulai seremonial dengan bersalaman dengan tim lawan. Mereka mengibarkan bendera sembari meneriakkan yel-yel pemberi semangat.



    "Sudah banyak emosi tercurah di sini," kata salah seorang suporter seperti dikutip dari Goldman dan Rodriguez, "Ini adalah rasa frustasi. Frustasi karena sepakbola modern tidak menghargai gairah (dukungan suporter)."

    Kehadiran sebuah klub sepakbola melahirkan pula sebuah komunitas suporter. Hubungan di antara mereka jauh lebih lekat ketimbang sebagai kerumunan belaka. Hampir setiap pekan, mereka bertemu di stadion saat ada pertandingan kandang. Hal ini terus berulang bertahun-tahun, di setiap musimnya. Ini yang membuat adanya ikatan di antara mereka.

    "Kami ada di sini sejak sepuluh tahun lalu. Kami membesarkan anak kami di stadion. Ya, mereka lahir dan dibesarkan di sini. Ini adalah pertandingan terakhir, dan itu sangat menyakitkan karena kami tak akan bisa melihat rekan-rekan kami yang lain setiap 15 hari," lanjut suporter tersebut.

    "Orang-orang melihat ini (sepakbola) sebagai sebuah bisnis. Ya, kami mengerti kalau ini adalah bagian dari bisnis, tapi Anda berurusan dengan emosi orang-orang, dan itu menyakitkan."

    Kemunitas suporter Chivas mengakui bahwa ada yang salah dengan timnya. Mereka setuju jika Chivas dibenahi, tapi bukan dibubarkan. Pun halnya dengan penonton yang datang ke stadion. Berdasarkan data MLS attendance, Chivas adalah satu-satunya klub yang rataan penontonnya tak lebih dari empat digit.

    Lubang Antara Realitas dan Harapan

    Ada banyak hal yang membuat Chivas tak efektif sebagai klub pendulang uang. Komisioner MLS, Don Garber, memiliki firasat kurang baik di awal pembentukan Chivas. Menempatkan Chivas di Los Angeles awalnya memang menenangkan.

    Dengan jumlah Hispanik dan Latino yang lebih besar ketimbang daerah lain, Chivas akan menjadi magnet baru khususnya bagi kedua kelompok tersebut. Namun, memilih Hispanik dan Latino sebagai target pasar adalah "neraka", begitu pikir Garber.

    "Aku pikir ini lebih kepada 'ide yang buruk' ketimbang 'eksekusi yang buruk',” tutur Garber seperti dikutip ESPNFC, "MLS adalah tempat yang berbeda, semuanya serba sulit."

    Membentuk klub profesional di Amerika mestilah sempurna. Sayangnya hal tersebut tak terjadi pada Chivas. Hal ini ditegaskan oleh bekas Direktur Komunikasi Chivas, Keegan Pierce, dalam tulisannya di Sports Illustrated. Di awal tulisan ia sudah menganggap pendirian Chivas adalah sebuah kegagalan dari tujuan ambisus bernama "ekspansi klub sepakbola lintas negara".

    "Brand olahraga mendalami makna dan sejarah. Gagasan 'kloning' klub dari satu negara ke negara lain selalu berisiko. Mudah-mudahan tidak ada tim lain yang melakukan eksperimen seperti Chivas de Guadalajara."

    Ada tiga hal yang disoroti Keegan tentang kegagalan Chivas. Pertama, Chivas dibentuk sebagai tim yang memiliki warisan sejarah dari Guadalajara. Sementara itu, Guadalajara adalah klub Meksiko yang semua pemainnya berkewarganegaraan Meksiko. Hal tersebut tak bisa diterapkan di MLS karena ada aturan yang membatasinya.

    Kedua, Chivas mestinya menggunakan nama kota atau daerah tempat mereka tinggal. Bahkan, penggemar paling setia Chivas pun setuju kalau diperlukan "LA" di depan nama klub, untuk menggarisbawahi hubungan klub dengan pasar.

    Terakhir, soal target pasar. Ini sama dengan apa yang diungkapkan Garber. Chivas sulit menjaring penduduk LA karena kentalnya identitas Latino di dalamnya, sehingga penggemar non-latino akan kesulitan menyatukan dirinya dengan klub.

    Identitas menjadi penting bagi klub manapun sebagai bagian dari perluasan bisnis. Chivas mengaku sebagai "Guadalajara yang lain". Seiring waktu berjalan, pemain Meksiko pun kian tersisih. Chivas dan Guadalajara gagal untuk berbagi identitas.

    Fans kesulitan untuk mengidentifikasi lubang yang menganga antara realitas dan harapan bahwa Chivas adalah Guadalajara. Fans Chivas nyatanya lebih memilih menyaksikan Guadalajara di televisi ketimbang datang ke stadion jika pertandingan digelar berbarengan.

    Adios Chivas

    Klub baru yang akan diperkenalkan pada 2017 mendatang, nantinya masih akan bermarkas di California. Namun, mereka akan menanggalkan segala identitas Chivas dan atribut Latino-nya. Hal terbesar yang akan dilakukan sang pemilik baru adalah membangun stadion, sebuah hal yang selama ini tak dilakukan Chivas.

    Pertandingan terakhir mereka menghadapi San Jose Earthquakes kembali menyiratkan ironi. San Jose adalah klub dengan peningkatan jumlah penonton terbesar di MLS. Pertandingan tersebut seolah memberi isyarat klub dengan identitas "latino" mana yang masih kuat bertahan.



    Setelah pertandingan tersebut, Presiden Nelson C. Rodriguez pun menulis surat perpisahan di situs resmi klub. Kurang lebih ia berterimakasih kepada fans dan meminta maaf atas kekecewaan yang selama ini mereka alami.

    Kalian telah mendukung klub tanpa syarat, dan hanya meminta kami untuk melakukan yang terbaik. Dalam keadaan apapun, atau bagaimanapun hasilnya, kami amat gembira didukung oleh semangat gigih penggemar paling setia dan paling membanggakan. Ini adalah kehormatan untuk bisa saling terkait antara Anda dengan kami. Terima kasih.

    Inti dari kegagalan Chivas adalah bagaimana mereka teramat sulit menemukan jatidiri dalam lingkungan yang mereka tinggali. Mereka mungkin telah melewati segala persyaratan ketat MLS, tapi seiring berjalannya waktu, terdapat penurunan secara prestasi dan jumlah kehadiran penonton di stadion.

    Chivas dianggap setengah-setengah. Mereka tak mewakili Los Angeles karena tak ada "LA" di depannya. Mereka pun tak mewakili Latino karena sedikitnya pemain berbahasa Spanyol di dalamnya. Chivas juga bukan Guadalajara. Mereka adalah imitasi yang tak sempurna. Pantas saja kalau masyarakat Los Angeles lebih memilih LA Galaxy yang memang merepresentasikan kotanya. Komunitas Latino juga mungkin saja menyebrang ke San Jose Earthquakes, karena tak suka dengan Guadalajara.

    Karena futbol yang kalian pahami adalah tentang kesenangan, sementara soccer, tempat kalian pernah berada, adalah segala hal tentang hiburan dan bisnis.

    Adios Futbol and Chivas, soccer is here.

    ====

    *penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball dan About The Game, beredar di dunia maya dengan akun @aditz92

    (roz/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game