Krisis Liga Brasil (Bagian 2-Akhir)
Bersandar pada Pundak yang Salah

[Bagian 1: Menjadi Miskin di Tanah Sepakbola]
Presiden baru Santos, Modesto Roma Jr. kelimpungan. Baru sebulan ngantor di Vila Belmiro, ia dipusingkan dengan tagihan gaji pemain. Santos menunggak gaji hingga tiga bulan. Sejumlah pemain seperti Aranca, Arouca, Leandro Damiao, dan Eugenio Mena sampai-sampai mengajukan tuntutan hukum karena Santos tak membayar hak mereka.
Roma akhirnya mengambil keputusan besar. Pada 30 Januari lalu, Ia memutuskan untuk menalangi pembayaran gaji dan melepas keempat pemain tersebut ke klub lain. Aranca dan Arounha pindah ke Palmeiras, sedangkan Damiao dan Mena ke Cruzeiro.
Berdasarkan media Brasil Globe, keputusan tersebut membawa dampak penghematan hingga 23 juta Real Brasil atau setara 104 miliar rupiah.
Pengeluaran untuk gaji memang terasa mencekik Santos karena pemasukan yang jauh lebih kecil. Anda bisa membayangkan, penjualan tiket 13 pertandingan kandang Santos hanya cukup membayar gaji Damiao selama dua minggu!
Untuk menutupi hal itu, Santos merekrut pemain dengan gaji yang jauh lebih murah. Elano, Ricardo Oliviera, Chiquinho, Werley, Marquinhos Gabriel, dan Valencia, membebani klub senilai sembilan juta Real Brasil, atau setara dengan beban klub untuk seorang Damiao.
Utang dan Borok Klub-Klub Brasil
Santos sendiri sebenarnya beruntung karena permasalahan mereka "hanyalah" terlambat membayar gaji pemain. Kehilangan sejumlah pemain malah berdampak positif karena mengurangi beban keuangan mereka.
Usai Piala Dunia 2014, 12 pemilik klub Brasil terbang ke Brasilia, untuk menemui Presiden Dilma Rousseff. Mereka mendiskusikan "Law of Sporting Financial Responsibility" yang bertujuan merestrukturisasi utang klub selama 25 tahun.
"Jika Undang-Undang tersebut tidak disetujui, sejumlah klub tidak akan berhasil pada akhir tahun ini," kata Toninho Nascimento seperti dikutip The Botafogo Star.
Krisis keuangan terasa begitu berat bagi Botafogo. Presiden klub, Mauricio Assumpcao, mengklaim kalau mereka kemungkinan tidak melanjutkan kompetisi. Krisis membuat Fogao, sebutan Botafogo, melepas 17 pemain.
Berdasarkan data kelompok riset, BDO, tahun lalu saja 23 kesebelasan Brasil menunggak utang 1,2 miliar pounds. Flamengo, yang merupakan kesebelasan terbesar dengan 30 juta pendukung, berutang hampir 200 juta pounds.
Juara Serie A musim 2013, Atletico Mineiro, terlambat membayar gaji. Namun, mereka bisa menutupinya dari uang penjualan Bernard ke Shakhtar Donetsk senilai 20 juta pounds. Pun dengan Flamengo yang terbantu dana segar dari sponsor utama, Caixa Bank.
Dalam pertandingan menghadapi Flamengo di Maracana, seperti ditulis Botafogo Star, para pemain membentangkan spanduk yang bertuliskan, "Kami di sini karena kami profesional, dan untuk Anda, para penggemar."
Para pemain pun menjabarkan penghasilan mereka selama ini, yang di antaranya lima bulan pembayaran hak ekonomi, asuransi PHK, dan hanya tiga bulan gaji mereka di klub.
Botafogo bukanlah kesebelasan sembarangan di Brasil. Botafogo adalah rumah bagi Garrincha dan Nilton Santos. Namun, sejatinya Botafogo sendiri tak punya rumah. Mereka terusir setelah Stadion Maracana disterilkan sebelum dan setelah Piala Dunia. Wajar rasanya kalau rataan penonton pada musim lalu tak menyentuh angka empat ribu.
Dengan kondisi seperti itu, Botafogo pun dirundung utang senilai 184 juta pounds. Alasannya sama seperti yang disebutkan di atas: pengeluaran lebih banyak daripada pemasukan. Sama seperti di Indonesia, mayoritas kesebelasan Brasil lebih memilih mengumpulkan trofi daripada profit. Semua dilakukan dalam target jangka pendek.
Misalnya saja Palmeiras yang harus membayar gaji hingga 184 ribu pounds tiap bulannya agar bisa mendatangkan Luiz Felipe Scolari. Hasilnya? Pelatih timnas Brasil tersebut membawa Palmeiras turun divisi ke Serie B pada 2012.
Rataan penonton Serie A Brasil sendiri hanya 14 ribu pada tahun lalu. Ini berdasarkan sejumlah faktor seperti jadwal yang tidak tersusun, tiket yang mahal, waktu pertandingan yang tidak menyenangkan, potensi kerusuhan, buruknya sistem transportasi, dan kebiasaan penonton yang hanya datang pada pertandingan besar.
Pernah Berjaya
Sebenarnya sepakbola Brasil sendiri tak melulu suram. Berdasarkan gambaran Inside World Futbol, sepakbola Brasil sempat merasakan kejayaannya pada 2004 hingga 2007. Kehadiran stadion meningkat drastis dengan rataan 17 ribu penonton tiap pertandingan.
Kesebelasan Brasil mampu mengelola manajemen yang lebih baik dan berhasil mengeksploitasi sumber uang yang belum ditambang. Selama empat musim tersebut, pemasukan kesebelasan Brasil naik hingga 63%. Mereka pun mampu menarik kembali bintang-bintang Brasil yang bermain di Eropa dan menggaji mereka nyaris setinggi klub-klub Benua Biru.
Namun, pengeluaran juga meningkat tajam. Bagi sejumlah kesebelasan hal ini menghadirkan kerugian dan utang dalam jumlah yang besar, sekitar 81%.
Paling mudah melihat apa yang terjadi pada Santos. Dalam satu pertandingan, mereka mendapatkan 225 ribu real, tapi juga harus mengeluarkan 263 ribu real untuk berbagai macam keperluan seperti izin polisi, percetakan tiket, hingga sewa stadion. Ya, mereka harus membayar untuk bisa bermain sepakbola. Meskipun tidak semua pertandingan mereka merugi.
Krisis yang menimpa Santos sendiri terbilang mengejutkan. Bukan hanya mereka terhitung klub besar, tapi Santos dua musim lalu berhasil menjual Neymar ke Barcelona seharga 57 juta euro, awalnya. Lalu, uang itu bahkan membengkak hingga 86 juta euro.
Mengapa Santos masih saja dilanda krisis? Jawabannya adalah karena uang itu tidak sepenuhnya masuk ke kantong mereka. Ini pula yang menjadi masalah utama kesebelasan di Brasil yang melakukan kerjasama dengan pihak ketiga.
Menambal Kerugian
Bekerjasama dengan pihak ketiga adalah salah satu cara yang bisa dilakukan klub untuk menambal kerugian. Mereka bisa menjual sebagian atau keseluruhan nilai ekonomi pemain guna mendapat dana segar di awal.
Dengan banyaknya skema yang ditawarkan, kerjasama dengan pihak ketiga menjadi hal yang paling realistis. Klub yang ingin menguatkan skuat, bisa saja “meminjam” pemain yang dimiliki TPO. Bahkan, kalau hebat bernegosiasi, semua tanggungan sang pemain tidak perlu dibebankan kepada klub, karena TPO yang akan menanggung semuanya.
Praktik TPO menelusuk begitu jauh ke dalam sendi-sendi persepakbolaan Brasil. Kondisi finansial membuat kesebelasan di Brasil menjalin kerjasama dengan pihak ketiga. Tujuannya adalah tetap menjaga prestasi dan nafas klub dalam mengarungi liga, bisa lebih panjang.
Tak ayal sebanyak 21 kesebelasan Serie A Brasil lantas mengirim surat kepada FIFA pada 2013 silam. Mereka secara tegas menolak usul UEFA yang ingin menumpas praktik kepemilikan pemain oleh pihak ketiga/third party ownership (TPO). Mereka juga menyatakan bahwa pelarangan TPO akan berdampak negatif terhadap kondisi keuangan Liga Brasil dan liga lain di Amerika Selatan.
Mereka bahkan menuduh kalau pelarangan tersebut bukan atas nama kesebelasan Eropa lain, karena praktik TPO juga menjamur di Portugal, Spanyol, dan Eropa Timur.
Tidak Mendapat Apa-apa
Brasil memang bukan Eropa yang klub-klubnya memiliki pendapatan tinggi dari hak siar televisi dan penjualan merchandise ke seluruh dunia. Bagi kebanyakan klub-klub di tanah samba, biasanya pundi-pundi uang didapat dari penjualan pemain.
Sayangnya, karena telah bekerjasama dengan pihak ketiga, keuntungan penjualan pemain pun ditekan. Belum lagi jika skema yang ditawarkan TPO adalah menjual pemain ke kesebelasan Eropa yang ada dalam pengaruh mereka, misalnya ke Liga Portugal, dengan nilai transfer yang jauh dari apa yang diharapkan klub.
Kesebelasan di Liga Brasil praktis tak mendapat apa-apa. Kalaupun ada, itu tidak begitu signifikan dalam menopang kondisi finansial mereka. Kepindahan pemain malah membuat tulang punggung klub keropos.
Salah satu contohnya adalah Corinthians yang menjual bek mereka, Cleber ke Hamburg pada Agustus 2014. Corinthians nyatanya tidak mendapat apa-apa karena hak ekonomi Cleber 80 persen dimiliki oleh investor TPO Elenko Sports, 10% untuk Cleber, dan sisa 10% lainnya untuk agen.
Padahal, Corinthians amat membutuhkan Cleber dan kalaupun dijual, mereka perlu uangnya untuk biaya pembinaan. Director of Football Corinthians, Edu Gaspar, menyatakan kalau uang penjualan diambil oleh pihak ketiga yang "membawanya ke luar dari sepakbola".
Perusahaan Riset Olahraga, BDO, memperkirakan sebanyak 24 kesebelasan Serie A Brasileiro memiliki utang senilai 1,8 miliar euro. Sejumlah klub memiliki masalah yang mirip: sulit membayar gaji, dan sulit mendapatkan hak ekonomi pemain yang dimiliki oleh investor TPO.
Dengan iklim yang tidak mementingkan kondisi keuangan, wajar jika banyak investor masuk. Mereka menjanjikan prestasi instan dengan keuntungan, yang walaupun kecil, tapi dibayar di muka. Investor TPO menjanjikan uang segar yang jauh lebih cepat didapat ketimbang harus berinvestasi jangka panjang dengan mengembangkan pemain muda.
Saat ini, belum ada data pasti seberapa dalam TPO mencengkram kesebelasan di Brasil, karena toh mereka juga sembunyi-sembunyi secara admininstrasi. Namun, melihat dari contoh-contoh yang ada, hubungan antara klub dengan investor pun lambat laun bergeser dari awalnya "kerjasama" menjadi "kebutuhan" atau "ketergantungan".
Kondisi ini menjadikan kesebelasan di Liga Brasil mesti berpikir ekstra. Bergantung pada TPO memang menyelesaikan masalah, tapi juga menimbulkan masalah baru. Pola pikir kesebelasan Brasil yang mementingkan prestasi di atas lapangan, tanpa mempertimbangkan keuntungan, sama saja seperti mengerat leher dan mati secara perlahan.
Para pemain pun melakukan hal serupa. Mereka pada akhirnya menjadikan sepakbola sebagai tumpuan hidup. Maka, jangan aneh kalau banyak pesepakbola Brasil yang malah "tersesat" ke sejumlah liga-liga dunia ketiga, seperti Asia Tenggara.
Kondisi ini mirip bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan bom tersebut tengah berdetik lebih keras dari biasanya.
====
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @Aditz92