Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Andi Sururi

    Paul Cumming, dari Lapangan Hijau ke Kebun Cabai

    Andi Abdullah Sururi - detikSport
    Foto: Andi Sururi Foto: Andi Sururi
    Jakarta - Dia sudah tak mampu bicara. Untuk bergerak pun ia memerlukan bantuan orang lain. Sebuah evolusi hidup Paul Cumming dari lapangan hijau ke lereng gunung Semeru.

    Seperti hari itu, belum lama ini, saya menyempatkan mengunjungi rumahnya nan sederhana di Dusun Drigu, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Ini adalah kunjungan pertama saya sejak setahun lalu, kala mendampingi Menpora Imam Nahrawi menengok dia dan kemudian memberi bantuan untuk penyembuhan penyakit kanker kulit di kepalanya yang ganas.

    Seperti biasa, Paul menyambut kedatangan saya dengan beratribut Liverpool FC: selimut yang warnanya sudah memudar, dan topi merah untuk menutupi kepalanya yang kian "menipis". Nyonya Cumming, Ibu Fifing, berdiri di samping kursi roda sang suami.

    "Coba, Paul. Siapa ini? Masih inget 'kan?" Bu Fifing membimbing Paul sewaktu kaki saya menginjak halaman depan rumah mereka.

    Paul, tentu saja, tak bisa berucap. Matanya berkaca-kaca. Ia seperti berusaha mengucapkan sesuatu, tapi tak ada yang terdengar dari mulutnya. Stroke yang menyerangnya sejak 1,5 tahun lalu kian menggerus sebagian kemampuan biologisnya. Meski begitu, dari bibirnya yang terkembang lebar, yang memperlihatkan bahwa lelaki tua ini sudah tak bergigi (dalam arti sesungguhnya), saya tahu dia masih mengenali saya.

    Lewat bahasa isyarat, dan penerjemahan sang istri -- bukankah hanya mereka yang saling mencinta yang bisa saling memahami tanpa kata-kata? -- kami berbincang-bincang di teras rumahnya yang asri, dengan pemandangan kebun apel di depan dan ladang-ladang lain di kiri-kanan. Semeru di kejauhan sana tak tampak, terselubung awan kelabu. Mau hujan.

    Tak banyak yang berubah sejak mantan pelatih yang kian sepuh ini "ditemukan" sahabat saya, Aqwan Fauzan dari Pandit Football, tiga tahun lalu, dalam pertapaannya yang sunyi di sebuah kampung yang tidak mudah untuk mencarinya bahkan lewat teknologi Google Maps sekalipun. Yang berubah hanyalah tubuh Paul lebih tak berdaya. Operasi yang dijalaninya di Rumah Sakit Panti Nirmala, untuk mengangkat seonggok "bola tenis" di dahinya, tidak membuatnya kembali muda dan kokoh. Perban masih menutupi daging "tempelan" di jidat, sebab transplantasi kulit tidak 100 persen berhasil.

    "Alhamdulillah, Mas. Kondisinya jauh lebih baik. Paul lebih segar. Semangatnya sudah kembali. Tadi malam habis nonton (pertandingan) Arema," ucap Bu Fifing dengan tak kalah semangat.

    Begitulah. Hanya orang yang berjiwa besar yang tetap mensyukuri warna-warni hidup.

    Dan saya menikmati setiap cerita yang dikisahkan Bu Fifing dan gerak-gerik Paul. Saya cemburu mendengarkan kesetiaan seorang wanita yang tak lelah-lelahnya mendampingi suaminya yang sudah tak bertenaga itu. Setiap ada waktu di akhir pekan, Bu Fifing mengajak Paul berjalan-jalan ke kota untuk sekadar memanjakan laki-laki tuanya itu dengan es krim kesukaannya.

    "Dua bulan lalu kami bernostalgia, mampir ke hotel pertama Paul di Malang, ke tempat dia mengucapkan dua kalimat syahadat dan kami menikah seperempat abad yang lalu," ucap wanita yang berprofesi sebagai guru sekolah menengah pertama itu.

    Generasi sekarang boleh jadi tak pernah mendengar namanya. Tapi bagi pemerhati sepakbola Indonesia di masa lalu, Paul Cumming adalah legenda. Pelatih pendiam kelahiran Inggris ini pernah melatih sejumlah kesebelasan di tanah air, yang kelak membuatnya jatuh cinta pada negara ini, dan memutuskan menukar kewarganegaraannya sebagai orang Indonesia. [Baca tetralogi Hikayat Paul Cumming].

    Dari sepakbola Paul menjadi perantau sejati. Dia tak pernah menyesali pilihannya meninggalkan tanah kelahiran, berpisah dari sanak keluarganya, yang meski demikian tetap rutin menjalin komunikasi dengan dia, termasuk di hari-hari tuanya yang kian rapuh.

    "Kakak perempuannya sebulan sekali berkirim kabar lewat telepon. Ada juga seorang teman lamanya yang rajin mengirimi Paul video sepakbola via email. Juga potongan matchday programme," ucap Bu Fifing.

    Kekayaan Paul adalah memorabilia sepakbola yang ia koleksi. Belasan foto di dinding rumah, plakat-plakat penghargaan di lemari kayu, adalah saksi bisu perjalanan hidupnya sebagai orang bola. Berbundel-bundel matchday programme sejak zaman "jebot" adalah yang paling dia banggakan. Setiap kali saya berkunjung, Paul selalu menunjukkan itu kliping-kliping itu, seakan-akan lupa bahwa saya sudah berkali-kali melihatnya. Atau mungkin dia tidak mau tahu, yang penting saya harus melihatnya sekali lagi.

    Paul Cumming, dari Lapangan Hijau ke Kebun Cabai

    Harta lain Paul adalah sebidang tanah seukuran 2.000 meter persegi di belakang rumahnya. Pohon-pohon jeruk yang dulu ada di sana, sudah lama tak menghasilkan. Adalah cabai rawit yang kini mereka tanam, yang rupanya bisa mendatangkan uang. Setiap kali panen, Bu Fifing membungkusnya dengan kemasan plastik, diberi kertas fotokopian berlabel 'Pafing' (Paul Fifing), untuk dijual seharga limaribu perak.

    "Biasanya saya bawa ke sekolah, dijual ke teman-teman. Tetangga-tetangga di sini juga ambil," tutur wanita yang berprofesi sebagai pengajar di sebuah sekolah menengah pertama di Kota Malang.

    Menurut Bu Fifing, penjualan cabai-cabainya dalam satu minggu bisa menghasilkan Rp 500 ribu. Dia juga sedang berusaha mengembangkan agrobisnis kecilnya itu dengan menyiapkan benih sejumlah tanaman dan juga jamur.

    Sambil saya dan Bu Fifing ngobrol, Paul sedang "bercengkrama" dengan seekor sapi tetangga yang "diparkir" di kebun jeruk, eh, cabainya itu. Kata anak angkatnya, Doni, Paul senang sekali berdekat-dekatan dengan sapi itu.

    Paul Cumming, dari Lapangan Hijau ke Kebun Cabai

    Hari itu Paul terlihat ceria, walaupun tak bisa berkata-kata. Saat saya minta dia berfoto, dia meletakkan cabai di depan mulut, seakan-akan ingin menggigitnya. Hei, orang ini masih bisa melucu!

    Saya teringat waktu terakhir kali menginjakkan kaki di kebunnya, Paul berseloroh, "Saya ingin bikin beer garden, Andi. Biar bisa ngumpul sama warga desa di sini." Saya tak bisa menahan tawa atas kelakarnya yang berkualitas itu.

    Selamat tinggal beer garden. Selamat datang kebun cabai.Selamat tinggal beer garden. Selamat datang kebun cabai.

    Kami kembali duduk-duduk di teras rumah sampai kemudian handphone saya berdering.

    "Pak Menteri ingin bicara," kata saya sambil menyerahkan handphone kepada Bu Fifing.

    Sebelum ke Malang saya memang sempat mengabarkan kepada Imam Nahrawi bahwa saya ingin sowan ke Paul, dan melalui asistennya dia menitipkan sejumlah uang melalui saya.

    Bu Fifing sepertinya kaget ditelepon Pak Menpora. Karena sama-sama berasal dari Madura, keduanya berbicara dalam bahasa mereka. Sesekali ia meletakkan handphone ke telinga Paul, memperdengarkan Pak Menteri. Paul saya lihat berkaca-kaca matanya.

    Beberapa kali Bu Fifing terdengar mengucapkan terima kasih. Mereka berdua terlihat gembira sekali.
    Paul Cumming, dari Lapangan Hijau ke Kebun Cabai

    Saya pamit ketika gerimis mulai turun. Begitu melangkah ke luar, saya tak ingin menengok ke belakang. Saya hafal betul, Paul akan menangis setiap kali tamunya pulang – dan akan kembali berkutat dengan kesunyian.

    Oh iya. Saya pulang dengan membawa oleh-oleh spesial: 10 bungkus cabai merah 'Pafing' yang masih segar.

    Tetap semangat, Om.

    Paul Cumming, dari Lapangan Hijau ke Kebun Cabai

    ====

    * Penulis adalah wakil pemimpin redaksi detikcom. Pemilik akun twitter @sururi10

    (a2s/din)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game