Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Detik Insider

    Kisah 'si Anak Emas' dan Peraih Medali Olimpiade

    Lucas Aditya - detikSport
    Greysia Polii/Apriyani Rahayu menyumbang emas di Olimpiade Tokyo 2020. (Foto: Getty Images/Richard Heathcote) Greysia Polii/Apriyani Rahayu menyumbang emas di Olimpiade Tokyo 2020. (Foto: Getty Images/Richard Heathcote)
    Jakarta -

    Olimpiade Tokyo 2020 membuat perhatian publik Indonesia untuk olahraga membuncah lagi. Netizen menuntut agar lebih ada perhatian khusus ke cabang olahraga peraih medali, atensi ke 'Si Anak Emas' --sepakbola-- diminta dikurangi. Apa bisa begitu?

    Kontingen Indonesia membawa pulang 5 medali dari Tokyo. Bulutangkis mempersembahkan 1 emas dan 1 perunggu, angkat besi meraih 1 perak dan 2 perunggu.

    Pasangan Grysia Polii-Apriyani Rahayu meraih emas dari cabor bulutangkis Olimpiade Tokyo 2020 nomor ganda putri. Medali perak dipersembahkan oleh cabor angkat besi kelas 61 kilogram atas nama Eko Yuli Irawan.

    Sedangkan perunggu dibawa pulang oleh Windy Cantika Aisah (angkat besi kelas 49 kg putri), Rahmat Erwin Abdullah (angkat besi kelas 73 kg putra), dan Anthony Sinisuka Ginting (tunggal putra bulutangkis).

    Raihan itu membuat cabang olahraga yang meraih medali di Olimpiade buat Indonesia tidak berubah. Sepanjang sejarah keikutsertaan kontingen Merah Putih di Olimpiade baru ada tiga cabang olahraga yang meraih medali. Bulutangkis, angkat besi, dan panahan deretannya.

    Setiap kali warga dan netizen bersorak atas penampilan serta capaian medali atlet bulutangkis, angkat besi, serta penampilan pepanah dan petembak yang manggung dengan jersey berlambang Garuda. Di antara dukungan itu, mereka menuntut perhatian ekstra buat cabor itu dari pemerintah yang selama ini seolah-olah menganakemaskan sepakbola.

    Ya, alih-alih mampu bersaing di Olimpiade, sepakbola bahkan kesulitan saat pentas di Asian Games 2018, di kandang sendiri. Belakangan, olahraga yang amat diminati di Indonesia ini susah bersaing bahkan di level Asia Tenggara.

    *****

    Sepakbola Anak Emas?

    Sepakbola merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Itu fakta dan tidak bisa dimungkiri. Secara kasat mata, tengok saja kalau tim Liga 1 bertanding sebelum pandemi COVID-19. Tribune stadion pasti penuh, live streaming dan siaran langsung televisi panen rating.

    Pesaing berat sepakbola ya cuma bulutangkis. Istora Senayan selalu penuh saat gelaran Indonesia Open atau kejuaraan tepok bulu itu. Di level apapun, 17-an, tarkam, sampai ajang internasional.

    Tapi, apakah sepakbola mendapatkan perhatian, dalam hal ini dana, lebih besar ketimbang cabang olahraga lain dari pemerintah?

    Mari kita cari tahu.

    Sekarang pemerintah tidak ambil bagian untuk pendanaan operasional organisasi cabang olahraga. Pemerintah cuma mendanai pelaksanaan pelatnas, termasuk gaji atlet dan pelatih serta biaya try out dan kejuaraan. Nominalnya, mengacu kepada proposal yang diajukan masing-masing cabang olahraga. Biasanya sih yang diterima cabor jauh dari nilai dalam proposal.

    Timnas Indonesia bertanding di Grup G Kualifikasi Piala Dunia 2022 zona Asia di Dubai, Uni Emirat Arab.Perhatian ke Timnas Indonesia dinilai paling banyak. Foto: Antara Foto/Humas PSSI/handout/APP

    Gaji atlet juga disesuaikan dengan beberapa kriteria. Yang utamanya berpatokan kepada capaian si atlet di event tahun lalu, kemudian level si atlet di pelatnas yang juga ditentukan lewat kejuaraan bisa kompetitif atau internal, tarung sesama anggota pelatnas, bisa juga penilaian pelatih.

    Dengan begitu susah buat sepakbola dapat dana lebih besar ketimbang cabor lain. Sebab, prestasi tahun sebelumnya enggak bagus-bagus amat. Dengan skema ini, sepakbola sebagai anak emas terbantahkan.

    Ayo simak lagi.

    Soal penilaian sepakbola sebagai anak emas bisa jadi kebijakan masa lalu yang masih melekat dalam ingatan netizen. Bisa jadi mereka mengacu pada era saat APBD saat masih bisa digunakan untuk mendanai klub-klub sepakbola profesional. Karena rawan dibonceng kepentingan politik, kini APBD dilarang digunakan untuk klub profesional.

    Atau kebijakan yang belum lama, mengacu munculnya Inpres No 3 Tahun 2019 tentang Percepatan Sepakbola Nasional. Inpres itu dibuat setelah prestasi Timnas yang cuma ada di 16 besar Asian Games 2018, jauh dari target semifinal yang dipatok.

    Atau bisa jadi penilaian sepakbola sebagai anak emas dikaitkan dengan pelatih-pelatih mentereng yang direkrut PSSI. Dua pelatih paling akhir, Luis Milla dan Shin Tae-yong. Gaji mereka luar biasa besar.

    Nominal gaji Luis Milla setinggi langit. Sampai-sampai dia menjadi pelatih timnas dengan gaji tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Nominal gajinya bocor setelah PSSI menunggak gaji pelatih asal Spanyol itu. Setiap bulan PSSI, ya PSSI, bukan pemerintah, mengupah Milla lebih dari Rp 2 miliar, belum termasuk sewa rumah di Bali.

    Kemudian Shin Tae-yong, pelatih yang punya pengalaman memoles tim di Piala Dunia, yang diberi tanggung jawab untuk menangani Timnas. Pelatih asal Korea Selatan itu yang dipasrahi menjadi penyelia Timnas di semua kelompok umur itu itu digaji sekitar Rp 14 miliar setahun. Ini juga tanggungan PSSI, kok.

    Bisa jadi juga penilaian anak emas buat sepakbola itu terkait pelaksanaan pemusatan latihan dan TC Timnas U-20 di luar negeri selama dua kali, Korsel dan Kroasia pada 2020. Tercatat dana TC untuk tim Merah-Putih sampai Rp 50,6 miliar.

    Menganalogikan Asian Games, dengan Indonesia juga menjadi tuan rumah, atau gelaran apapun, pemerintah memberikan perhatian ekstra. Termasuk saat Indonesia menjadi tuan rumah Piala Thomas Uber 2008, juga MotoGP Mandalika tahun depan. So, kalau ada anggaran ekstra buat Timnas U-20 saat Indonesia akan menjadi tuan rumah boleh dibilang itu lumrah.

    Dalam prosesnya pun, karena Indonesia belum terealisiasi menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2023, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak mengizinkan penggunaan APBN lagi. Uang yang sudah terlanjur digunakan dimintai pertanggungjawaban sedetail mungkin.

    Belum lagi bicara tentang pembinaan dan pembibitan. Bukan cuma cabang olahraga olimpiade yang tidak diperhatikan, sepakbola ya sama-sama susah. Orang tua patungan untuk menghidupkan kompetisi kelompok umur bukan cerita aneh.

    Bisa jadi, sepakbola dianggap jadi anak emas karena pejabat, politisi, pengusaha, juga public figure mau menceburkan dirinya di industri olahraga si kulit bundar.

    Aburizal Bakrie, Prabowo Subiyanto, hingga Anies Baswedan menjadi deretan politisi yang pernah 'numpang' eksis di sepakbola. Saya rasa masih ada banyak lagi contoh lain.

    "(Sepakbola) tidak dianakemaskan. Tapi, sepakbola memang olahraga yang paling populer. Satu-satunya olahraga yang ada Inpres-nya sepakbola. Tapi, bukan berarti anak emas," kata Sekretaris Menpora, Gatot S. Dewa Broto, dalam perbincangan dengan detikSport, Rabu (4/8/2021) malam WIB, lewat sambungan telepon.

    "Buktinya, untuk perizinan liga sangat ketat. Bukti lain minta anggaran kami juga sangat ketat."

    "Tempo hari dana cukup besar itu karena perlukan untuk Piala Dunia yang Indonesia menjadi tuan rumah. Kalau dianakemaskan sebagian besar anggaran untuk sepakbola," kata dia menambahkan.

    *******

    Mimpi Punya Silicon Valley-nya Olahraga Tak Kunjung Jadi Nyata

    Niat pemerintah untuk membuat nyaman atlet sejatinya ada, namun selalu saja ada masalah yang menjadi sandungan. Sudah anggaran untuk olahraga sedikit, cuma 0,03 persen dari anggaran negara, jelas jauh dari anggaran pendidikan, infrastruktur, dan kesehatan di masa pandemi ini.

    Sebelum Asian Games 2018, atlet-atlet pelatnas memiliki 'taman bermain' di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan. Atlet berlatih di ruang-ruang yang ada di kompleks itu, pengurus juga berkantor di sana. Menjelang Asian Games, sejak 2016 GBK direnovasi. Tidak ada lagi tempat terpusat untuk berlatih, begitu pula kantor pengurusnya.

    Angkat besi salah satu yang terkena dampak dari renovasi SUGBK itu. Setelah nomaden, angkat besi akhirnya mendapat rumah baru di Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, pada akhir 2017.

    Eko Yuli cs mengasah diri di Markas Komando Pasukan Marinir (Mako Pasmar) II di Jalan Kwini 2. Di sebuah ruangan yang tak terlalu luas --mungkin sekitar 10x15 meter, atlet-atlet binaan PB PABSI mengasah diri untuk Asian Games 2018 dan Olimpiade Tokyo 2020.

    Representatif? Tentu saja tidak. Karena bukan bangunan yang sengaja dibangun untuk bisa menahan beban ratusan kg, lantai di ruang latihan Wisma Kwini itu gampang banget jebol ditimpa besi-besi beban yang dengan enteng diangkat Eko Yuli dkk.

    Selain angkat besi, atletik juga harus mengungsi. Saat itu pindah ke Rawamangun. Panahan harus pindah ke Cibubur, Jakarta Timur. Padahal, ada Lalu M. Zohri, si pencetak kejutan itu. Si juara dunia junior lari 100 meter putra.

    Dari banyak cabor yang dibina di Indonesia. Sejauh pengamatan saya masih sedikit yang mempunyai tempat latihan yang memadai.

    Bulutangkis dengan pelatnas di Cipayung, Jakarta Timur, menjadi salah satunya. Selain itu, pencak silat yang memiliki kawah candradimuka di Padepokan Pencak Silat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).

    Bagaimana dengan sepakbola?

    Situasi serupa juga terjadi di sepakbola. Timnas yang biasa berlatih di Senayan, menggelar pemusatan latihan berpindah-pindah di sekitar Jakarta, Jawa, dan Bali.

    Sepakbola memang mempunyai tempat latihan bernama PSSI National Youth Centre di Sawangan. Sesuai namanya, lapangan dari FIFA Goal Project itu memang lebih banyak dipakai untuk pembinaan usia dini.

    Fakta bahwa jumlah lapangan yang masih jauh dari kata cukup, sepakbola juga masih butuh dukungan untuk penyediaan lapangan latihan.

    Stadion Lebak Bulus, yang sudah lama digusur menjadi stasiun MRT, kini belum ada gantinya. Belum lagi, klub-klub Liga 1 juga ada beberapa yang menjadi musafir karena stadionnya tak lolos verifikasi dari operator liga.

    Dulu, memang ada program satu desa satu lapangan. Tapi dalam pelaksanaannya, tak banyak yang terwujud.

    Berkaca pada negara lain, Indonesia memang sudah semestinya mempunyai tempat latihan terpadu untuk olahraga.

    Mimpi itu sebenarnya sudah muncul sejak beberapa tahun silam, tapi berhenti karena dikorupsi. Ya, korupsi.

    Proyek itu bernama Proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang. Selain itu juga ada rencana pembangunan Pusat Olahraga di Cibubur.

    Proyek Hambalang sudah mulai dibangun mulai 2010, anggarannya saat itu diperkirakan menelan biaya Rp 2,5 triliun.

    Mimpi mulia itu akhirnya buyar. Dugaan korupsi menjadi sebabnya. Proyek itu pun mangkrak sampai sudah lebih dari satu dasawarsa.

    Sudah lima kali ganti Menteri Pemuda dan Olahraga, proyek itu enggak ke mana-mana. Gedung, AC, kursi sudah menjadi prasasti.

    Kalau Hambalang sudah tinggal kenangan, pembangunan pusat olahraga lain kini sedang dikebut. Berlokasi di Cibubur, nantinya akan ada 'rumah' buat 14 cabor potensial.

    Atletik dan angkat besi ada dalam daftar dari 14 cabor yang termasuk ke dalam daftar. Jadi, nanti tak akan ada cerita pelatnas atletik akan berebut dengan acara di luar olahraga, atau dengan pelatnas lain seperti sepakbola.

    "Pusat Olahraga dreaming will come true. Sekarang pemerintah sudah punya grand desain untuk olahraga nasional," kata Sekretaris Menpora, Gatot S. Dewa Broto, dalam perbincangan dengan detikSport, Rabu (4/8/2021) malam WIB, lewat sambungan telepon.

    "(Grand desain) baru kami kirim ke Pak Presiden. Tanggal 17 Juni pernah dikirimkan. Karena ada kekurangan yang perlu diperbaiki, usulan itu dikembalikan Setneg."

    "Di Cibubur sedang dibangun (pusat olahraga), nanti ada 14 cabor di pusatkan di sana untuk atlet elit. Tapi, untuk dayung tetap di Purwakarta karena tidak perlu membuat danau. Untuk balap sepeda tetap latihannya di jalan."

    "Pembangunan di Cibubur, PUPR ngebut tahun depan, kira-kira baru selesai 2023," kata dia menambahkan.

    Eko Yuli IrawanEko Yuli Irawan menyumbang perak di Olimpiade Tokyo 2020. Foto: (dok KOI)

    ****

    Sesuai Porsi

    Lantas, apakah gagasan untuk melimpahkan perhatian atau dengan kata lain melimpahkan sebagian besar anggaran ke cabor peraih medali itu mungkin dilakukan? Tentu saja mungkin dan itu sudah dilakukan.

    Tapi, memang kendalanya adalah anggaran untuk olahraga di Indonesia kecil dibandingkan alokasi ke kementerian lain. Tidak masuk 15 besar anggaran jumbo, masih di angka 0,03 persen dari APBN.

    Menilik besaran anggaran tiap tahun APBN untuk olahraga yang mini akan menjadi sangat kecil untuk mengakomodasi semua cabang olahraga yang ada di Indonesia. Prosedur dengan proposal pengajuan anggaran oleh masing-masing cabor boleh dibilang yang terbaik dibandingkan sebelumnya.

    Soal ini, justru pengurus cabang olahraga yang harus beradaptasi sebab sering kali dana macet justru karena ketidaklengkapan laporan dari pengurus cabang olahraga dari setiap kegiatan yang dilakukan dengan APBN.

    "Pada Olimpiade kali ini dana yang besar itu untuk cabor peraih medali. Angkat besi, bulutangkis, panahan, atletik. Intinya, semua sesuai porsi," kata Gatot.

    Saat ini, justru yang perlu kita lakukan adalah mengawal APBN betul-betul bisa digunakan oleh atlet untuk mengembangkan potensinya. Jangan sampai dikorupsi, bocor alus sekalipun.

    Pemerintah betul-betul mewujudkan Silicon Valley-nya olahraga agar atlet bisa berlatih dengan nyaman. Kalau bangunannya keren, saya yakin kompleks itu bisa membiayai dirinya seperti stadion-stadion sepakbola Eropa lewat tiket masuk museumnya.

    Tantangan untuk Klub Bola dan PSSI

    Anggapan netizen sepakbola sebagai anak emas memang kurang tepat, namun tidak bisa disalahkan. Dan, semestinya penilaian itu dijadikan tantangan untuk PSSI, PT Liga, dan klub-klub profesional untuk benar-benar bertindak selayaknya badan dan klub profesional. Menghasilkan banyak uang.

    Dengan kepemilikan saham di PT Liga, klub dan PSSI, rasanya tidak sulit PSSI untuk punya banyak uang, agar tidak dinggap masih menyusu anggaran kepada pemerintah. Tunjukkan PSSI betul-betul kaya-raya agar sepakbola tidak lagi dianggap anak emas.

    Punyalah banyak uang agar PSSI bisa dengan mudah menolak calon ketua umum dan sosok-sosok yang cuma membonceng mencari ketenaran atau menjadikannya sebagai alat politik.

    Punyalah banyak uang agar PSSI bisa menciptakan Timnas andal, tidak berutang budi kepada seseorang yang bisa jadi sarat kepentingan.

    Punyalah banyak uang agar PSSI mudah membangun kegembiraan di seantero Tanah Air setelah Evan Dimas cs menjadi juara Piala AFF U-19 2013 di Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah sewindu lho itu.

    Sembari menunggu kabar baik dari PSSI dan sepakbola, saya mengajak netizen dan warga Indonesia untuk menyiapkan energi mendukung atlet Indonesia lainnya setelah Olimpiade 2020.

    Sebentar lagi Paralimpade Tokyo 2020 akan segera digelar. Indonesia mengirim 23 atlet dari 7 cabang olahraga, yang berlaga 24 Agustus sampai 5 September 2021.

    (cas/krs)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game