Tengkorak St. Pauli (Bagian 2)

Kultur sepakbola di Hamburg tidak terlepas dari para pelaut Britania, di mana para Glaswegian atau orang-orang dari Glasgow, Skotlandia, yang telah lama bermukim di sini yang mengajarkan bagaimana mendukung tim sepakbola mereka.
Fans FC Sankt Pauli didominasi oleh para anak muda yang berlatar belakang punk, maka bukanlah suatu hal yang aneh jika mereka dan kesebelasan kesayangannya jauh dari hingar bingar Bundesliga yang didominasi oleh tim-tim raksasa seperti Bayern Muenchen, Dortmund dan rival sekota mereka, Hamburg SV.
Di era 80an, St.Pauli berkembang pesat, di mana para pendukung lokal mulai mendatangi Millerntor dan mengisinya dengan nilai-nilai baru. Sebelum era 1980-an, St. Pauli seperti berada di bawah bayang-bayang klub tetangga mereka yang lebih besar, Hamburg SV. Akan tetapi, sejak 1980-an itu, St. Pauli muncul menjadi kekuatan penting yang menandingi Hamburg SV mula-mula bukan lewat jalur prestasi, tapi melalui penyebaran nilai-nilai progresif yang saat itu belum ada presedennya di Jerman atau mungkin di Eropa. Watak progresif itu dipicu oleh para bajingan lokal, pelacur, kaum anarkis, para bohemian, mahasiswa dan pelajar, dan para punkers yang pelan tapi pasti mulai memenuhi Stadion Millerntor.
Akar-akar radikalisme suporter St. Pauli dimulai ketika salah satu kawasan yang banyak dihuni oleh para mahasiswa, punker, dan masyarakat kelas bawah lainnya di Hafenstrasse (Harbour Street) akan digusur.
Segera mereka melakukan perlawanan terhadap rencana itu. Terjadi bentrokan antara petugas keamanan dengan para penghuni Hafenstrasse. Dalam perlawanan itu, simbol tengkorak dan tulang bersilang sudah jadi simbol perlawanan. Gerakan perlawanan ini mencapai puncaknya saat penjaga gawang St. Pauli saat itu, Volker Ippig, memutuskan untuk pindah ke salah satu rumah di Hafenstrasse untuk menunjukan rasa kesetiakawanan dengan massa perlawanan.
Atas dasar itu pula St. Pauli mulai identik dengan simbol tengkorak dan tulang bersilang dan dunia tampaknya lebih mengenal itu sebagai logo klub padahal bukan. Simbol itu milik para fans St. Pauli, terutama "dipatenkan" oleh Fanladen, basis suporter St. Pauli yang terbesar. Mereka lantas membuat merchandise dengan simbol itu sebagai logo. Belakangan, merchandise itu terutama dikelola oleh sebuah perusahaan komersial bernama Upsolut yang makin ke mari makin mahir "mengeksploitasi" logo itu.

Booklet dan katalog produk-produk merchandise St. Pauli, lengkap dengan harga dan cara membelinya, beredar dari tangan ke tangan sampai ke negeri-negeri yang jauh. Bukan sekali dua kali saya melihat katalog produk merchandise St. Pauli ini dibawa oleh para fans sepakbola di Indonesia.
Persinggungan fans St. Pauli dengan komersialisasi sepakbola pun dimulai.
***
Sempat mencicipi Bundesliga pada musim 2001/2002, St. Pauli akhirnya terjerembab pada kebangkrutan. Di musim 2003-2004, St. Pauli sudah berada di kasta ketiga sepakbola Jerman. Krisis melanda St. Paulis secara serius, terutama setelah Presiden klub St. Pauli, Heniz Weisener yang notabene adalah gay, dinyatakan bangkrut oleh pengadilan Hamburg.
Para fans dengan cepat menggalang dana dengan aksi mereka yang dinamakan 'Saufen fur St Pauli' atau 'Save St. Pauli', di mana para pemilik bar dan prostitusi menaikan harga 50% dan keuntungannya diberikan untuk membiayai klub mereka. Aksi ini menghasilkan kurang lebih 100.000 euro ditambah bantuan dari produsen apparel terkemuka yang enggan menyebutkan brand-nya di jersey St. Pauli ikut mencairkan dana sekitar 7 juta euro. Pada akhirnya St. Pauli dinyatakan bebas dari pailit oleh pengadilan Hamburg dan DFB.

Satu musim sebelum promosi ke Bundesliga, klub sempat melarang fans untuk mendukung St. Pauli yang akan away ke kandang Hansa Rostock untuk menghidari potensi kerusuhan. Tentu saja itu menyakitkan para fans. Mereka akhirnya memboikot pertandingan karena bagi mereka tidak sepantasnya fans dilarang menonton klub kesayangannya.
Saat di Bundesliga, perlawanan itu kian kencang. Saat klub memperkenalkan para penari perempuan di tribun untuk mengenalkan sponsor, para suporter juga menentangnya karena menganggap itu sebagai tindakan yang seksis. Mereka juga menolak pengenalan "mata uang stadion" -- koin untuk semua transaksi di stadion --, yang harus mereka tukar lebih dulu, sehingga memunculkan sistem ekonomi pra-bayar. Belum lagi soal meningkatnya harga tiket.
Perlawanan-perlawanan itu adalah ekspresi suporter yang tidak ingin kehilangan akar sepakbolanya yang telah berhasil menginspirasi banyak orang. Mereka tahu, bahwa jika ingin menambah trofi, mereka harus membiarkan klub mencari uang agar bisa membeli pemain yang bagus, membayar pemain dengan layak, menggaji staf yang berkualitas. Tapi akar suporter St. Pauli yang progresif menentang kemungkinan itu.
Tidak sedikit suporter yang memilih untuk tetap mempertahankan nilai-nilai St. Pauli yang sudah tertanam sejak era 1980-an. Tipikal suporter ini tak sudi menukar nilai-nilai itu dengan trofi dan glamorisme sepakbola modern. Bukan hal aneh jika banyak suporter St. Pauli hanya sudi menonton klubnya saja dan enggan menonton pertandingan sepakbola klub lain, betapa pun canggih dan menariknya pertandingan tersebut.
Against Mondern Football. Sankt Pauli gegen den modernen fußball!
==
* Penulis: Firman Fauzi Wiranatakusuma. Akun twitter: @omgitsmungki
(rin/din)