Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Kebahagiaan Sepakbola Agustusan

    - detikSport
    Ilustrasi: ANTARA/Noveradika Ilustrasi: ANTARA/Noveradika
    Jakarta - Seperti mungkin Anda juga, saya dinobatkan menjadi pemuda melalui sepakbola. Inilah yang membuat saya selalu menganggap sepakbola adalah rite de passage, ritus perlintasan, ritus peralihan.

    Pada sebuah pertandingan tarkam [antarkampung] untuk merayakan Kemerdekaan Indonesia yang ke-49, saya masuk sebagai starter Pormas [Persatuan Olahraga Manis Selatan], nama kesebelasan kampung saya di pelosok Cirebon. Bangganya tak terkira bisa menjadi starter. Maklum, saat itu saya masih anak-anak dan jadi anggota skuat termuda di kesebelasan.

    Saat itu, desa saya hendak mengikuti sebuah turnamen di Kabupaten Kuningan. Turnamen 17-an itu jadi ajang seleksi siapa saja pemain yang akan memperkuat kesebelasan desa. Di akhir turnamen, kesebelasan saya hanya menjadi runner-up, tapi saya mendapat berkah tak terkira: dipanggil masuk kesebelasan desa.

    Momen itulah yang "membaptis" saya menjadi seorang pemuda desa. Sejak itu saya bukan lagi anak-anak ingusan.

    Saya tak boleh lagi bermain di pinggir lapangan bersama teman-teman seusia. Di lapangan kampung, di sore hari, anak-anak biasanya bermain di pinggir lapangan. Di lapangan utama, orang-orang dewasa yang jadi penguasa. Jika bola yang dimainkan orang-orang dewasa itu bergulir ke pinggir lapangan, anak-anak yang sedang bermain harus bubar sementara.

    Karena bermain dengan para pemuda dan orang-orang dewasa, maka setelah selesai bermain bola, saya pun bisa duduk-duduk dengan orang-orang dewasa itu di pinggir lapangan sampai kumandang adzan maghrib terbantun dari toa mesjid yang letaknya hanya 200-an meter dari lapangan. Di sanalah, pada momen-momen kongkow dengan orang-orang dewasa usai main bola, saya memasuki percakapan dan alam pikiran orang-orang dewasa.

    Saya juga ingat bagaimana sejak itu saya rutin mendapat undangan rapat Karang Taruna. Saya yang masih ingusan itu harus ikut duduk-duduk di balai desa, mendengarkan para pemuda dan orang dewasa membicarakan dan merencanakan banyak hal terkait kegiatan pemuda di desa kami.

    Dan, yang tak mungkin terlupakan, saya untuk pertama kali menerima undangan perkawinan juga tak lama setelah jadi "pemuda desa" berkat sepakbola itu. Rekan saya bermain bola di kesebelasan desa, yang usianya 10 tahun lebih tua, menikah dan mengundang saya untuk hadir di perkawinannya. Anak-anak tak pernah menerima undangan perkawinan. Hanya yang sudah dianggap dewasa yang menerima undangan perkawinan. Dan saya sudah menerima undangan itu di akhir usia 13 tahun.

    ***

    Dalam nomenklatur ilmu sosial, khususnya dalam studi tentang kebudayaan pramodern, rite de passage merujuk sebuah momen yang menegaskan atau menandai peralihan dari satu fase ke fase berikutnya dalam busur perjalanan manusia.

    Arnold van Gennep, ahli folklore dari Prancis, adalah juru bicara paling utama tentang konsep rite de passage ini. Dia menyebut bahwa dalam pertumbuhannya sebagai individu, setiap manusia mengalami perubahan biologis dan lingkungan budayanya yang bisa mempengaruhi jiwa dan menimbulkan krisis mental. Guna menghadapi tahap pertumbuhannya yang baru, maka setiap orang memerlukan semacam "regenerasi" semangat kehidupannya sendiri. Maka dari itulah muncul upacara-upacara yang disebutnya sebagai rite de passage itu.

    Upacara kelahiran, perkawinan, kematian atau upacara yang menegaskan peralihan status lainnya [seperti khitanan] adalah contoh-contoh rite de passage. Di luar upacara-upacara pokok itu, ada beberapa ritus lain yang juga menandai peralihan fase hidup seseorang.

    Di Nias, misalnya, tradisi lompat batu adalah momen pengujian apakah lelaki bisa dianggap sebagai orang dewasa atau belum. Saya pernah membaca uraian sejarawan maritim, AB Lapian, tentang bagaimana suku pelaut Bajo ada yang mensyaratkan pergi berlayar jauh bagi seorang pemuda jika ingin diakui sebagai lelaki dewasa.

    Dalam hidup saya, tentu saya sudah mengalami beberapa rite de passage. Saya pernah mengalami muput [selamatan 40 hari umur setelah kelahiran], khitanan sampai perkawinan.

    Khitanan, misalnya. Di kampung saya dulu, anak-anak yang belum dikhitan umumnya tidak diizinkan untuk salat di saf terdepan saat menunaikan shalat berjamaah di mesjid jami [mesjid utama di kampung]. Setelah dikhitan, seorang anak bisa dengan mantap salat di saf terdepan sekali pun, bahkan kendati usianya masih 7 atau 8 tahun.

    Jika khitanan memastikan saya bisa melintasi saf-saf di mesjid, maka sepakbola -- seperti yang sudah saya ceritakan di atas-- mengantarkan saya beralih dari seorang anak laki-laki menjadi seorang pemuda desa yang bisa diizinkan mengakses acara-acara orang dewasa atau ngobrol-ngobrol dengan para lelaki dewasa lainnya.

    ***

    Saya tumbuh dalam masyarakat yang menggilai sepakbola. Hampir tiap sore, lapangan di depan rumah selalu ramai dengan orang-orang yang bermain bola. Secara berkala, bisa seminggu sekali atau bahkan 3 hari sekali, selalu saja ada pertandingan sepakbola antar kampung.

    Nah, Agustus selalu menjadi puncak perayaan kegilaan kami terhadap sepakbola. Ada minimal 8 kampung yang selalu terlibat dalam turnamen sepakbola tarkam agustusan ini. Panitia penyelanggaranya tentu saja Karang Taruna desa.

    Selain momen lebaran, rangkaian acara agustusan [terutama turnamen sepakbola] inilah yang bisa mengumpulkan atau bahkan memulangkan para pemuda kampung kami yang banyak merantau.

    Umumnya, para lelaki dewasa di desa saya banyak yang pergi ke kota-kota besar untuk bekerja sebagai kuli atau tenaga kasar. Mereka biasanya ikut dengan pemborong atau mandor yang banyak berasal dari desa kami sendiri. Nah, para pemborong inilah yang kerap menjadi bos bagi setiap kesebelasan kampung saat Agustusan. Mereka bersaing satu sama lain, beradu gengsi. Para bos ini bukan hanya mempercantik kesebelasannya dengan kostum yang baru, tapi juga mempertunjukkan kegilaan mereka dengan memberi bonus pada para pemainnya yang mencetak gol. Bukan hal yang aneh jika perayaan gol diekspresikan dengan berlari pada bos kesebelasan yang berdiri di tepi lapangan sambil mengibar-ngibarkan uang kertas.

    Dan di tepi lapangan, hampir semua orang kampung yang kesebelasannya bertanding akan heboh berteriak, tidak terkecuali anak-anak, para gadis, sampai para ibu-ibu. Semua terlibat dan melibatkan diri dalam karnaval sepakbola yang semarak ini.

    Saya tumbuh di masyarakat seperti itu. Tiap Sabtu sore atau Minggu pagi, saya dan teman-teman kecil saya berkunjung ke kampung dan desa tetangga untuk menantang mereka bertanding. Makin hari jarak jangkauan kami makin jauh, terus menjauh, semakin jauh. Sampai kemudian kami, saya dan teman-teman, berpisah dengan kesibukan masing-masing.

    Kadang saya merindukan momen di mana salah seorang teman itu berteriak di depan pagar rumah, memanggil dari luar dan mengajak saya untuk segera pergi ke lapangan untuk bermain bola. Panggilan dari luar pagar itu adalah dentang bel tanda dimulainya waktu bermain, saat untuk bersenang-senang, mengejar bola dan membayangkan diri masing-masing sebagai Adjat Sudrajat, Ribut Waidi, Marco van Basten atau Diego Maradona.

    Saya pernah mendengar bagaimana pengusaha TD Pardede, pemilik klub Pardedetex dulu, juga selalu menyempatkan diri melihat pertandingan anak-anak di pinggir jalan. Kadang dia menepikan kendaraan yang ditumpanginya, untuk menonton mereka bermain barang sejenak dua jenak.

    Hal yang sama dilakukan oleh Eduardo Galeano, penulis legendaris Uruguay yang di masa kecilnya memang bercita-cita sebagai pemain bola. Bagi Galeano, tidak ada yang lebih menyenangkan selain melihat anak-anak itu bermain bola. Baginya, sepakbola anak-anak adalah oase di tengah perkembangan global yang menempatkan sepakbola nyaris seperti reklame iklan-iklan.

    Dan pada setiap pertandingan sepakbola yang saya lihat di pinggir jalan itu, saya melintasi waktu dan menarik kembali busur kehidupan yang pernah terbentang jauh di belakang.

    Sampai sekarang, saya masih selalu --minimal-- menolehkan kepala kapanpun saya melihat sepakbola dimainkan di pinggir jalan atau di lapangan di tepi jalan. Pada sepakbola macam itu, saya mengunduh kegembiraan sederhana bermain bola: sepakbola tanpa keruwetan, sepakbola tanpa jargon profesionalisme yang seringkali palsu dan mengecoh.

    Kini, sebagai penulis, saya hanya sanggup menggunakan jari jemari untuk memainkan sebuah permainan yang tak sanggup lagi saya mainkan dengan kaki. Dan saya seringkali merasa rindu menikmati lagi permainan sepakbola macam itu, terutama ketika sepakbola makin sering diringkas menjadi deretan angka dan statistika.

    Berbahagialah yang masih bisa menikmati sepakbola Agustusan. Merdeka!


    ===

    * Penulis adalah chief editor Pandit Football Indonesia. Akun twitter: @zenrs


    (a2s/krs)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game