Bakat vs Pembinaan (Bagian 1)
Menciptakan Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo?

Pertarungan kedua pasangan ini kerap melahirkan emosi yang mengharu-biru dalam pertandingan melegenda yang tak pernah lekang oleh masa. Dalam sepakbola, rivalitas terbesar dalam lima tahun terakhir tentu tak akan lepas dari nama Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi.
Bahkan, ini tercermin dari pemberian gelar Ballon d’Or. Dalam kurun waktu tersebut, memang hanya kedua pesepakbola ini yang meraih gelar terbaik di seluruh dunia. CR7 merebutnya pada tahun 2008, hanya untuk melihat Messi merengkuhnya empat kali berturut-turut.
Pada 9 Desember 2013, rivalitas ini pun berlanjut. FIFA mengumumkan bahwa tiga kandidat pemain terbaik dunia adalah: Franck Ribery, Messi, dan tentu saja Ronaldo.
Bakat versus Pembinaan
Satu yang unik dari rivalitas ini adalah "anggapan" tentang asal-usul kemampuan keduanya. Banyak orang mengatakan bahwa Messi adalah pesepakbola jenius, dengan bakat yang berasal "dari luar dunia ini". Maka julukan anak Tuhan pun melekat padanya. Seolah-olah, Tuhan pilih kasih terhadap Messi dan tidak mau memberikan kemampuan serupa pada manusia lain.
Professor Norbert Hagemann dari University of Kassel pernah mengatakan, pemain sepakbola profesional bisa melihat banyak hal di lapangan ketika bermain sepakbola, namun Messi dapat melihat jauh lebih banyak dari itu.
Ini berbeda dengan Ronaldo. Jika prestasi Messi identik dengan anugerah Tuhan, maka CR7 selalu dikaitkan dengan kerja keras dan usaha yang di luar batas. Sir Alex Ferguson pernah berkata dalam sebuah wawancara, dia tidak pernah sekalipun melihat Ronaldo tidak serius ketika latihan. Ronaldo datang ke tempat latihan paling pagi dan pulang paling malam.

Ronaldo menjalani latihan dengan klub 3-5 hari dalam satu minggu. Setiap latihan akan berlangsung selama 3-4 jam. Diluar itu, Ronaldo melakukan latihan cardio selama 25-30 menit, latihan intensitas (latihan daya ledak), latihan teknik dan kontrol bola, latihan taktik, dan latihan pembentukan otot tubuh.
Di luar arena latihan, Ronaldo selalu menjalani diet ketat untuk menjaga pola makan. Ia juga tidak pernah tidur larut malam agar dapat bangun lebih pagi dan kembali memulai latihan. Perubahan bentuk tubuh Ronaldo dari ketika baru dikontrak Manchester United menjadi saat ini adalah penjelasan paling gamblang tentang Ronaldo yang menjalani latihan luar biasa.
Tak heran jika perdebatan tentang rivalitas antara Ronaldo dengan ototnya, dan Messi dengan visinya, kadang sering dikaitkan tentang dikotomi antara bakat dan pembinaan.
Ujung-ujungnya, kita akan dipaksa berpikir tentang pertanyaan yang sering menggelitik di otak: manakah yang lebih penting untuk menciptakan satu pemain kelas dunia, bakat alami atau latihan yang dijalani?
Kembali ke Dasar
Jika Anda dalam pemikiran yang jernih saat ini, kecenderunganya Anda akan langsung menjawab bahwa latihanlah yang membentuk semua itu. Bahwa bakat tanpa kerja keras tidak akan menghasilkan apa-apa.
Namun, coba tengok kasus Messi dan Ronaldo tadi. Ketika keduanya sama-sama menjalani proses latihan yg keras, bukankah Messi yang mendapatkan Ballon d’Or empat kali?
Atau tidak perlu jauh-jauh. Coba cari teman Anda yang dengan usaha minimal bisa dapatkan hasil jauh lebih hebat dari Anda. Saya yakin pasti ada orang-orang seperti ini di sekeliling anda. Jadi, sekarang apakah Anda sudah bisa setuju bahwa ini semua adalah urusan berbakat atau tidak berbakat?
Perdebatan tentang "bakat atau pelatihan" ini, dalam bidang apapun, memang sudah dimulai sejak beberapa dekade yang lalu. Termasuk dalam hal pemain sepakbola.

Kemunculan beberapa pemain-pemain ajaib seperti Messi lalu mendorong para ahli untuk mencari ciri-ciri terlihat dari seorang anak berbakat luar biasa. Harapannya, mereka dapat menemukan satu formula ampuh untuk menemukan anak dengan potensi seperti Messi.
Tentu ini akan jadi sangat menguntungkan untuk klub, karena berarti ada jaminan pemain luar biasa di masa mendatang. Lalu apa yang kemudian didapat oleh para ahli? Hasilnya adalah nol besar.
Dalam kasus sepakbola, tidak ada ciri-ciri fisik, fisiologi, maupun psikologi dari yang membedakan anak berbakat atau tidak. Struktur otot, VO2 Max, anaerobic fitness, antropometri, mental, dan segala macam faktor pembeda pesepakbola profesional dan amatir, ketika diperiksa di usia dini hasilnya dapat jauh berbeda ketika anak tersebut beranjak dewasa.
Kegagalan menentukan perbedaan bakat melalui ciri-ciri fisik ini membuat para ahli mencari jalan lain. Maka lahirlah beberapa metode yang berbeda yang diterapkan di beberapa negara.
Contohnya adalah Ajax Amsterdam yang menerapkan metode yang disebut TIPS, atau "Technique, Intellegence, Personality, and Speed". Keempat kriteria tersebut menjadi tolok ukur penilaian para pencari bakat Ajax.
Jerman memiliki cara lain dalam menilai. Mereka menentukan empat syarat yang harus dipenuhi oleh anak-anak yang ingin menjadi atlet berbakat, yaitu tidak memiliki keluhan medis, mampu menerima beban latihan berat, memiliki psikologis baik, dan memiliki prestasi akademis baik. Satu saja dari keempat syarat tidak dipenuhi oleh seorang anak, maka jangan berharap ada pencari bakat yang melirik.
Sport Science-Menolak Intuisi Semata
Meski ukurannya berbeda-beda, terdapat satu kesamaan dari setiap metode penentuan bakat, yaitu setiap cara pasti akan menggabungkan berbagai disiplin ilmu. Bakat tidak bisa ditentukan hanya dengan melihat kemampuan anak tersebut menendang bola, namun juga dari banyak hal lainnya.
Misalnya saja seberapa kuat mental anak tersebut, bagaimana kondisi kesehatan, seberapa cepat seorang anak dapat menangkap ilmu baru, seberapa baik kemampuan bersosialisasi, sebagus apa anak tersebut memimpin, dan berbagai macam kriteria lain yang berasal dari ilmu sosiologi, psikologi, biologi, fisika, dan berbagai disiplin ilmu lainnya.
Penggabungan berbagai disiplin ilmu dalam olahraga ini kemudian melahirkan sport science. Seorang sport scientist akan membantu para pencari bakat untuk menentukan bakat seorang anak dengan menyuguhkan data-data. Ini dianggap lebih baik ketimbang mendapatkan rekomendasi bakat dari hasil intuisi sang pencari bakat semata.
Namun, tugas seorang sport scientist tidak berhenti sampai di sini. Seorang sport scientist juga membantu para pelatih untuk menentukan cara yang paling tepat untuk menangani anak berbakat.
Ini karena perlakuan yang tidak tepat hanya akan membuat bakat anak tersebut menjadi cerita tanpa bukti di masa depan. Apalagi banyak faktor yang dapat mengubah masa depan si anak-anak berbakat menjadi suram. Cedera, latihan berlebihan, kegagalan psikologis, tidak dapat bersaing, dan berbagai faktor lainnya.
Kembali sejenak ke kisah rivalitas tadi, justru kesuksesan Messi sebenarnya jadi kesaksian perlakuan sukses sport scientist. Messi, yang divonis tidak akan dapat bertumbuh tinggi, tertolong dengan adanya suntik hormon perangsang tinggi badan. Pemberian hormon yang tidak tepat justru akan membuat pertumbuhan Messi menjadi terganggu. Beruntung Messi didampingi para sport scientist Barcelona yang ahli di bidangnya.
Pasca Menemukan Bakat

*Model Proses Talent Identification (William and Franks, 1998)
Seorang peneliti dari Liverpool John Moore University, menggambarkan satu model proses bagaimana seorang atlet ditemukan hingga dikembangkan. Terdapat beberapa tahapan, mulai dari pendeteksian, identifikasi, seleksi, dan pengembangan.
Dengan cara ini kita memang dapat mendeteksi kondisi fisik, fisiologi, dan psikologi pada setiap anak-anak. Tentu dengan hasil yang berbeda-beda dari satu anak ke anak lain.
Namun, harus diingat bahwa manusia, terutama ketika masih kanak-kanak, adalah pembelajar terbaik di bumi ini. Manusia dapat meniru apapun yang ada dan merubah dirinya menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Dari situ, peran ketiga tahapan berikutnyalah yang sangat menetukan apakah anak yang telah dideteksi memiliki bakat dapat benar-benar memaksimalkan potensinya. Apapun yang bisa dideteksi di awal, akan menjadi tidak berguna ketika tiga tahapan berikutnya tidak berjalan dengan baik.
Perdebatan para ahli ini kemudian berujung pada satu kalimat, "Expert are always made, not born." Seberbakat apapun Lionel Messi ketika kecil, tidak akan menjadi Lionel Messi yang seperti saat ini tanpa pembinaan yang terstruktur rapi.
Memang, daripada meneruskan perdebatan panjang tentang bakat yang masih belum jelas hasilnya, ada alternatif lain dalam melihat permasalahan: bahwa tubuh manusia adalah tubuh makhluk hidup terbaik yang ada di bumi ini untuk menyesuaikan kondisi berdasarkan perlakuan yang diberikan.
Perkembangan ilmu sport science saat ini sudah lebih dari cukup untuk dapat mengubah kondisi anak-anak, seperti apapun, untuk menjadi seorang pesepakbola berkualitas.
Bakat, memang memegang peranan penting. Namun tidak jadi segalanya. Jika memang tidak memiliki kejeniusan seperti Messi, toh berlatih dan menjadi seperti Ronaldo pun tak salah, bukan?
====
*akun Twitter penulis: @aabimanyuu dari @panditfootball
(roz/a2s)