Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Sang Penantang Dominasi di Liga-Liga Eropa Musim Ini

    Aqwam Fiazmi Hanifan - detikSport
    AFP/Jorge Guerrero AFP/Jorge Guerrero
    Jakarta -

    Dalam sepakbola, dominasi adalah hal alami, karena kompetisi memang membuka peluang besar untuk hal itu. Dalam sebuah pertandingan atau kompetisi ada dua pilihan: menang atau kalah. Jadi pemenang atau pecundang. Karenanya, sepakbola tak mengenal win-win solution. Tapi untuk hal yang alami ini, mesti diingat bahwa banyak orang benci dominasi.

    Dominasi yang dibenci orang itu bukan hanya dominasi tunggal. Dominasi jamak pun kadang tak disuka. Dominasi Big Four di Inggris. Poros Barcelona-Real Madrid di Spanyol. Kekuatan Bayern Munich-Borrusia Dortmund di Jerman. Atau, hegemoni klub-klub Italia Utara atas Italia Selatan.

    Dominasi bareng-bareng ini kadang membuat sepakbola membosankan. Dominasi membuat hasil pertandingan mudah diprediksi dan peraih gelar juara mudah diterka. Pengelompokan kekuatan antara sang kuat dan sang lemah tertanam dalam benak pemain, pelatih, fans atau bahkan media.

    Dalam kehidupan sebenarnya, hal itu lazim terjadi. Yang kuat akan mendepak pesaing-pesaing mereka yang lemah. Yang kuat akan mampu bertahan.

    Terus Mengonggong Walau Tanpa Dortmund

    Dalam waktu tiga tahun terakhir, gongongan anjing yang menyalak paling keras terhadap dominasi Bayern di Jerman tentu datang dari kubu Dortmund. Sayang, nyalakan keras kepada Byern itu nampaknya terhenti hanya sampai musim lalu.

    Galaknya Dortmund memang hanya sesaat: menantang di Final Champions dan mengalahkan Pep di Piala Super Jerman. Setelah itu, Dortmund menjinak. Di kompetisi Bundeliga musim ini, jangankan melawan, menguntit ketat sang rival pun tak bisa dilakukan oleh Juergen Klopp. Menutup paruh kompetisi, Dortmund hanya mampu menempati peringkat empat klasemen, tertinggal dari Bayer Leverkusen dan Borrusia Moenchengladbach.

    Terengap-engapnya Dortmund di kompetisi lokal diprediksikan akan berlangsung hingga akhir musim. Apalagi Bayern, yang kerap mencuri poros kekuatan lawannya, kini telah memboyong Robert Lewandowski ke Allianz Arena. Tak heran jika para pengamat mulai memprediksikan bahwa dominasi serta persaingan Bayern-Dortmund mulai mengalami ketimpangan.

     



    Tapi penantang muncul dan tenggelam setiap saat di lapangan hijau. Habis Dortmund, terbitlah Leverkusen. Mereka muncul dan mendepak Dortmund sebagai pesaing utama Bayern.

    Sebenarnya tak ada yang mengejutkan dari gangguan Leverkusen pada Bayern. Toh selama ini Leverkusen selalu menempati posisi papan atas pada klasemen akhir --biasanya satu strip di bawah Dortmund atau Bayern.

    Inferioritas mereka di masa lalu nyatanya malah jadi pemicu untuk lebih mengigit di musim ini. Kepergian Andre Schuerrle ke Chelsea tak berpengaruh apa-apa terhadap tim.

    Pemain bintang Leverkusen saat ini di antaranya adalah Stefan Kiessling, Sidney Sam, Lars Bender, Heung Min Son, dan sang kapten Simon Rolfes tetap mampu membuat Leverkusen tetap di atas.

    Menutup paruh kompetisi, Leverkusen menempati posisi dua dengan 47 poin, hanya terpaut 7 poin dengan Bayern di puncak klasemen.

    Apa yang dicapai tentu berbeda dari prediksi banyak orang. Mundurnya Sascha Lewandowski dari jajaran kepelatihan di awal musim yang membuat keraguan itu muncul. Sudah jadi rahasia umum bahwa otak taktikal Leverkusen berada di Sascha, bukan Sammy Hyypia, pelatih Leverkusen saat ini.

    Kepergian Sascha, sejatinya membuat Hyypia lebih leluasa. Dalam soal taktik, Hyypia lebih gemar memakai 4-3-3 atau 4-3-2-1 ketimbang 4-1-4-1 yang jadi pattern Leverkusen sebelumnya. Sepanjang kariernya sebagai seorang bek, Hyypia dikenal sebagai bek yang solid, handal dan tenang. Dan itulah yang diterapkan Leverkusen saat ini.

    "Penyerangan terbaik adalah bertahan," mungkin itu jadi pameo yang dipegang teguh Hyypia.

    Trio lini tengah kapten Simon Rolfes, Lars Bender, dan Gonzalo Castro atau Stefan Reinartz perannya lebih cenderung bertahan ketimbang menyerang. Imbasnya, dalam soal kebobolan Leverkusen nebeng di peringkat dua tim yang paling sedikit kebobolan. Hanya ada 16 gol dalam 17 laga yang bersarang di gawang mereka. Catatan ini lebih baik ketimbang Dortmund yang sudah kebobolan 20 gol.

    Hubungan Pep Guardiola dan Bayern memang sedang manis-manisnya. Mereka berada di atas angin dengan rekor memasukan dan kemasukan mereka yang terbaik saat ini: memasukkan 42 gol dan hanya kebobolan 8 gol. Muenchen memang fantastis tapi bukan berarti tidak punya saingan. Leverkusen di musim ini akan selalu memposisikan sebagai saingan terberat Muenchen.

    Ambisi Selatan Menghadang si Banteng Hitam

    Supremasi klub-klub Italia utara terhadap Italia selatan memang tak terkira rakusnya. Hampir 90% gelar juara Serie-A selama 109 tahun lari ke klub-klub Italia Utara. Dan hampir 70% di antaranya hanya bergilir di dua kota: Milan dan Turin --dua kota besar kebanggan orang Italia Utara-- kota kaya pusat industri, seni, mode, budaya dan para pemikir.

    Kejayaan utara itu beda jauh dengan stereotipe orang selatan yang bodoh, payah, miskin, kolot, dan tak berotak. Sesederhana itu orang selatan dilecehkan. Dalam sepakbola, disparitas itu nyata adanya. Dalam waktu kurun 20 tahun terakhir, sang juara Serie A toh hanya berputar-putar di sekitar Juventus, AC Milan, dan Inter Milan saja.

    Lazio dan AS Roma (bisa dianggap perwakilan klub selatan) sempat mencicip sedikit, tapi itu terjadi 11 tahun lalu. Jeda waktu yang teramat lama.
    Di rentan lima musim ke belakang, Roma dan Napoli sempat jadi pesaing tangguh, membuktikan adanya perlawanan atas orang utara. Hasilnya? Tetap nihil.

    Di musim ini, asa itu kembali terbuka lebar. Start buruk Inter Milan di awal musim dan performa anjlok AC Milan, jadi modal bagus Roma dan Napoli untuk kembali menjauhkan Juventus dari ambisinya untuk menjuarai Serie A tiga musim berturut-turut.

    Roma berada di garda terdepan untuk mengubur impian Juve itu. Dunia dikejutkan lewat 11 kemenangan beruntun AS Roma di awal musim. Juve pun sempat dibuat terkesiap sekejap. Sayang, ketergantungan Rudi Garcia dalam mengandalkan Francesco Totti dan Gervinho jadi bumerang yang membuat posisi mereka disalip. Juve terlihat lebih siap dalam pengalaman dan soal mental juara.

    Di tiga musim terakhir, Napoli sendiri tampil bak seperti penyakit kolera yang menakutkan Italia di penghujung abad 19. Mereka seolah menemukan ruh spirit zaman keemasan era Maradona dulu. Tapi, tentu ruh itu belum 100% masuk dalam jiwa mereka jika belum merengkuh gelar sebagai scudetto.
    Beban itu ada di pundak Rafa Benitez. Tersingkir dari Liga Champion dan terdampar pada kompetisi sekelas Liga Eropa, membuat pupil mata Benitez terhadap kompetisi Serie-A mungkin akan agak terbuka lebih lebar.

    Patut ditunggu keseriusan AS Roma dan Napoli dalam mengejar Juve. Harapan orang-orang selatan kini ada dalam perjuangan mereka. AS Roma sendiri dapat giliran untuk menahan Juventus di laga serie A minggu ini. Sang Serigala kini sudah mampu tampil prima. Kemenangan mutlak akan menahan si banteng hitam yang kini berlari kencang.

    Jika kalah, mau tak mau mereka harus berberat hati melenggangkan sang jawara lama tetap angkuh sebagai tampuk penguasa. "Jika Juventus sanggup mendapatkan tiga poin dari AS Roma, maka Liga Italia akan menjadi membosankan," kata Marcelo Lippi baru-baru ini.

    Italia butuh juara baru agar orang tak jemu dengan sang jawara yang itu-itu saja. Kehadiran jawara baru mungkin akan menarik perhatian orang pada sepak bola Italia yang kini mulai ditinggalkan.

    Mendepak Madrid dan Jadi Penantang Barca

    Tak butuh uang banyak untuk menahan laju Barcelona. Apa yang dilakukan Real Madrid jor-joran di bursa transfer tengah tahun lalu pun seolah jadi sebuah kesia-siaan. Hanya butuh seorang Diego Simeone dan sedikit keberuntungan untuk menjadi pesaing Barca. Setidaknya itulah yang coba dilakukan Atletico Madrid saat ini.

    Banyak orang yang sudah tidak menganggap Real Madrid, karena toh persaingan juara La Liga hanya menyisakan antara Barcelona dan Atletico Madrid. Anggapan ini tentu saja naif, mengingat kompetisi masih akan berlangsung separuh lagi. Tapi, jika mengingat pembelajaran soal arti bermain konsisten, wajar jika Real dicoret dari daftar calon juara.

    Berbeda dengan kakak sekotanya, grafik penampilan Atletico terus menanjak tajam. Di klasemen, poin mereka sama dengan Barca: sama-sama menang 15 kali, imbang 1 kali dan kalah 1 kali dengan koleksi 46 poin. Atletico hanya kalah selisih gol.

    Dalam soal gol ini, sebenarnya Atletico sama ganasnya seperti Barcelona atau Real Madrid: menciptakan 46 gol dalam 17 pertandingan. Hal itu tak lain adalah buah kecerdikan Simeone yang memanfaatkan tenaga seadanya di lini depan mereka.

    Ditinggal Radamel "El Tigre" Falcao ke AS Monaco, Simeone mampu menciptakan predator lainnya lewat Diego Costa. Total 19 gol sudah Costa ciptakan dan menjadikannya top skor sementara. Berkat Simeone juga, David Villa yang jadi buangan di Catalan nasibnya kini mengalami perbaikan. Delapan gol telah ia lesakkan untuk Los Rojiblancos.

    Gelar Liga Eropa, Piala Super Eropa dan Copa Del Rey telah direngkuh Simeone bersama Atletico dalam dua musim terakhir. Jalan untuk menyabet gelar Liga Champios dan La Liga kini terbuka lebar.

    Jika Liga Champions terlalu berat, La Liga mungkin bisa mudah. Tapi dengan syarat utama. Mereka bukan lagi harus mendepak Real Madrid, tapi mesti mengalahkan Barcelona sang pemuncak klasemen pertengahan Januari nanti.

    Mampukah, Simeone?

    Berharap Inggris Jilid Dua

    Di Inggris, tempat tanah air (industri) sepakbola, perlahan tapi pasti dominasi tim-tim besar mulai sedikit pupus. Kuasa uang para taipan membuat banyak penantang-penantang baru berlomba menguasai liga yang konon katanya terbaik sejagat itu. Jawara-jawara baru muncul: Chelsea dan Manchester City misalnya.

    Klub mana yang tak senang melihat Manchester United jatuh bangun terseok-seok di musim ini? Tentu banyak riak kegembiraan dari fans-fans klub di sana, kecuali mungkin fans MU itu sendiri. Ini karena selama beberapa tahun terakhir tak ada yang mampu menghadang "Si Setan Merah" dalam soal urusan gelar.

    Di Inggris, MU-lah puncak tonggak kesombongan itu. Lantas saat tonggak itu rapuh, lapuk dan ambruk, orang bersuka cita merayakannya.
    Ditambah lagi kinerja Arsenal, Liverpool yang terlalu lama puasa gelar, Chelsea, Manchester City, dan Tottenham Hotspur semakin meningkat.

    Banyaknya kandidat juara membuat banjirnya laga big match dan presentase kemenangan tiap pertandingan akan sulit ditebak. Akhirnya hitung-hitungan para cenayang dan matematikawan akan makin membingungkan.

    Di balik itu semua, ada fans yang bersorak karena liga Inggris mulai semakin seru. Lantas kapankah kompetisi di Jerman, Italia dan Spanyol bisa menyusul Inggris?

     



    ====

    *akun Twitter penulis: @aqfiazfan dari @panditfootball

    (roz/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game