Mengelola Sepakbola Indonesia dengan Akal Sehat

Jika PSSI sudah bisa menghukum sebuah kota, mungkin kelak suatu saat PSSI juga bisa menjadi juri Piala Adipura.
Seperti dilaporkan detikSport tadi malam, Komisi Disiplin PSSI merespons insiden terbunuhnya suporter Persis Solo dengan cepat. Melalui Hinca Panjaitan, pejabat PSSI urusan "tilang-menilang", PSSI menegaskan bahwa semua laga sepakbola yang berada di bawah yuridiksi PSSI tak boleh digelar di Solo hingga enam bulan ke depan.
Alasannya: faktor keamanan. Dalam argumentasinya, sebagaimana terbaca dalam laporan detikSport, Hinca menyebut bahwa kematian dua suporter dalam satu pekan terakhir dan dalam jarak yang berdekatan sebagai alasan utama.
Untuk dicatat, seorang suporter Persis Solo, Joko Riyanto, tewas di Stadion Manahan setelah berlangsungnya laga antara Persis Solo vs Martapura FC di Stadion Manahan (22/10/2014). Sebelumnya, seorang suporter PSCS Cilacap, Muhammad Ikhwanuddin, tewas di Sleman, usai mendukung kesebelasannya bertanding di Solo.
Agaknya, inilah yang membuat Hinca berargumentasi begini: "Beberapa pertandingan yang akhirnya menimbulkan korban jiwa di Solo modusnya hampir sama dengan yang di Sleman. Modusnya itu adalah kebencian yang dibangun sehingga menimbulkan korban jiwa."
Argumentasi ini ringkih karena beberapa pertimbangan.
Pertama, bagaimana bisa sebuah kota dihukum untuk kejadian yang tidak terjadi di kota tersebut? Apalagi pelakunya juga belum jelas, apakah warga Solo (suporter Persis) atau bukan. Beberapa berita bahkan sudah berani menyebutkan kalau pelakunya adalah suporter PSS Sleman.
Okelah jika kejadian di Stadion Manahan itu masuk ke dalam hitungan, tapi logika macam apa, sih, yang dipakai jika kejadian di Sleman (dan pelakunya pun sejauh ini bukan orang Solo atau suporter Persis Solo) pun dibebankan pada Solo?
Kedua, bahkan jika pun kedua insiden yang memakan korban jiwa itu pun memang terjadi di Solo dan nyata-nyata dilakukan oleh suporter Persis Solo sekali pun, menghukum Kota Solo tetap saja adalah keputusan yang ganjil dan aneh.
Bisakah anda bayangkan London dihukum tidak boleh menggelar sepakbola selama berbulan-bulan karena ada suporter (misalnya) Arsenal yang tewas di White Hart Lane? Bayangkan juga jika Manchester tak boleh mementaskan sepakbola selama berbulan-bulan karena ada suporter Oldham Athletic tewas di halaman Boundary Park Stadium?
Sebuah kota atau suatu wilayah administratif tidak pernah menjadi yuridiksi federasi sepakbola. Federasi tingkat kota atau provinsi (penggurus cabang PSSI atau pengurus provinsi PSSI) baru berada di bawah yuridiksi PSSI. Kotanya atau provinsinya, sih, jelas tidak.
Hinca Panjaitan (kiri)
Saya kira PSSI, juga Hinca, tahu benar hal ini (setidaknya kita bisa berprasangka baik mereka sudah tahu). Itulah sebabnya, tiap kali ada insiden di stadion, bahkan walau pun insiden itu menewaskan suporter sekali pun, seingat saya, tidak terdengar sebelumnya kalau PSSI menghukum sebuah kota.
Saat Rangga Cipta Nugraha, seorang bobotoh, tewas dikeroyok oleh suporter Persija di Stadion Gelora Bung Karno pada 2012 silam, PSSI tidak menghukum Jakarta. Saat Jupita, seorang suporter Persib Bantul, tewas karena bentrokan suporter di Stadion Sultan Agung, Bantul, pada Februari 2014 lalu, juga tidak ada hukuman untuk Bantul.
Untuk semua insiden-insiden macam itu, biasanya, PSSI menghukum klub yang bersangkutan dengan menggelar laga di kota lain atau dihukum menggelar laga tanpa penonton (plus berikut, tentu saja, apalagi kalau bukan, sejumlah denda dalam mata uang rupiah). Inilah yang dialami oleh PSS Sleman, yang mesti menggelar laga kandang melawan Persiwa Wamena, di Kuningan, sebagai hukuman atas tewasnya suporter PSCS Cilacap.
Bahwa dengan dilarangnya Solo menggelar pertandingan sepakbola dengan sendirinya juga "menghukum" Persis Solo dan suporternya (yang terpaksa harus mengeluarkan biaya tambahan karena mesti bermain kandang di luar kota), itu memang niscaya.
Tapi, PSSI tak bisa sekenanya mendalilkan sebuah hukuman tanpa argumentasi yang masuk akal, bisa diterima akal sehat, tertib dalam logika dan rapi secara "administrasi" pengetahuan. Ini penting agar hukuman atau keputusan yang diambil punya kewibawaan agar tidak gampang dijadikan bahan lelucon yang sebenarnya sama sekali tidak lucu.
Sayangnya inilah justru yang tampak, misalnya, pada argumentasi Hinca soal rasisme.
Saat berkunjung ke Malang beberapa hari lalu, sejumlah wartawan menanyakan berbagai soal pada Hinca, khususnya terkait sisik melik tuggasnya sebaai Ketua Komisi Disiplin PSSI. Salah satu yang ditanyakan adalah soal rasisme. Apa kata Hinca soal rasisme? Begini jawabannya: "Rasis adalah perkataan ataupun ucapan yang bisa disuarakan lewat lagu-lagu yang membuat lawan merasa tidak nyaman di lapangan," kata Hinca, sebagaimana terbaca dalam laman wearemania.net.
Saya tidak percaya Ketua Komdis PSSI bisa menyodorkan definisi atau pengertian yang saking ringkihnya jadi terasa mengelikan sekaligus menyedihkan. Bayangkan saja apa reaksi yang akan diberikan oleh para penulis dan editor The Guardian atau Le Monde jika Liverpool dihukum denan delik rasisme karena membuat Cristiano Ronaldo tidak nyaman di lapangan akibat siulan, boo, dan sorakan meledek tiap kali dia menerima atau membawa bola.
Apa batasannya "membuat lawan merasa tidak nyaman di lapangan"? Apa kaitannya sekadar bersiul, meledek dan bersorak terhadap pemain/tim lawan dengan perkara ras?
Duduk perkaranya sederhana saja: tindakan/ucapan rasisme sudah pasti bernada offensif, tapi tak semua hal ofensif sebagai rasisme.
Rudi Garcia, pelatih AS Roma, langsung diusir wasit saat mengeluarkan gesture memainkan biola di laga melawan Juventus. Pekan lalu Cavani langsung diusir saat merayakan gol dengan memperlihatkan gesture seorang sniper. Dua tindakan itu dianggap ofensif, setidaknya oleh wasit yang saat itu memimpin, tapi tak ada yang menyebut tindakan itu sebagai rasisme.
Menggelikan juga argumentasi Hinca yang menyebut bahwa lagu-lagu ofensif para Aremania terhadap Bonek tidak bisa disebut rasis hanya karena tidak ada Bonek/Persebaya di lapangan karena Arema memang sedang tak bertanding dengan kesebelasan dari Persebaya. Sejak kapan suatu tindakan/ucapan baru bisa disebut rasis jika objek yang diserang berada di tempat dan waktu yang sama dengan munculnya tindakan/ucapan rasis itu?
Ini memperlihatkan wawasan dan pemahaman sejarah yang sempit. Pengertian rasisme ala Hinca ini berantakan "administrasi" pengetahuannya, kelewatan sumir dalam cakupannya, juga terlalu "karet" untuk ditafsirkan.
Ini perlu diarisbawahi sekali lagi karena bukan sekali ini saja Hinca mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang ganjil dan tidak tertib "administrasi" pengetahuannya. Misalnya, soal flare.
Bagi Hinca, flare dan sejenisnya adalah kejahatan internasional (international crime). Alasannya: (1) karena hal ini sudah dilarang keras oleh FIFA dalam aturannya; (2) bahan yang digunakan sangat berbahaya bagi orang di sekitarnya; (3) karena tim nasional Indonesia pernah dua kali terkena hukuman karena ada flare yang dinyalakan di SUGBK.
Saya tidak tahu kenapa Hinca, yang merupakan seorang Doktor di bidang hukum, bisa dengan begitu mudah dan karetnya menggunakan istilah-istilah yang punya pengertian spesifik dalam nomenklatur hukum.
Sejak kapan flare dianggap sebagai "kejahatan internasional"? Sejak kapan pelaku pengguna flare diseret ke International Criminal Court di Den Haag? Sejak kapan ultras atau hooligans atau barras brava yang melemparkan smoke bomb atau menyalakan flare disetarakan seperti pembantai etnis macam Radovan Karadzic?
Argumentasinya bagaimana menyalakan flare disetarakan dengan pembantaian etnis (genocide), menyerang dengan senjata biologi (war crimes), perbudakan seksual (crime against humanity) atau menduduki sebuah wilayah merdeka (crime of agression)?
Mencuri barang orang lain, di negara mana pun, akan diangap sebagai tindakan kriminal. Tapi bukan karena dianggap kriminal di semua negara maka mencuri dengan begitu entengnya dilabeli "kejahatan internasional".
Tidak semua tindakan pidana bisa dibawa ke Den Haag, bung!
Saya mencemaskan hal ini karena jika dibiarkan maka kesalahpahaman dan kekeliruan berpikir ini (yang agaknya berpangkal dari keengganan berpikir mendalam dan menganggap enteng akal sehat publik) akan diamini begitu saja dan lantas bertahan lama dalam alam pikir para pelaku dan penikmat sepakbola di Indonesia.
Menyedihkan jika hal yang salah dan keliru ini lantas menjelma menjadi semacam "pengetahuan umum".
Dan yang lebih berbahaya adalah jika cara berpikir yang serampangan dan gampangan ini terjadi pada penegak hukum dan pengampu urusan tilang-menilang (Komisi Disiplin adalah lembaga penegak hukum di federasi sepakbola PSSI). Hukum bisa menjadi hal yang begitu arbitrer, kelewat mana-suka, dan terlalu mudah dibengkok-luruskan begitu saja.
Definisi yang terlalu lemah dan tafsir yang kelewat nggladrahisme (melebar ke mana-mana) ini membuat siapa pun (klub, pemain, suporter) menjadi ringkih posisinya. Mereka amat mudah didakwa, rentan menerima hukuman, dan harus siap setiap saat merogoh kocek dalam-dalam untuk membayar denda.
Sepakbola memang permainan fisik, namanya juga olahraga. Tapi sepakbola yang baik harus dikelola dengan akal sehat. Dalam kasus sepakbola Indonesia, akalnya mungkin tak perlu sehat-sehat amat, tapi setidaknya digunakan. Eman-eman kalau tak dipakai.
====
*penulis adalah Chief Editor @panditfootball. Beredar di dunia maya dengan akun @zenrs. Tulisan ini bersifat opini pribadi, bukan pandangan redaksi.
*Foto-foto: dok. detikFoto