Imigran dan Sepakbola (Bagian 1)
Peran Penting Orang Hispanik untuk Sepakbola di Amerika

Saat Barack Obama dicalonkan menjadi presiden, nada-nada sumbang gencar terdengar. Kaum konservatif bertanya-tanya: perlukah kita, Amerika Sang Adidaya, memberi tampuk kepemimpinan pada seorang kulit hitam keturunan Afrika?
Obama, kendati sudah berkewarganegaraan Amerika sejak kecil, tetap saja masih ada yang menganggapnya sebagai "the other", yang-lain, sang-liyan. Keberadaan sang-liyan inilah yang direspons dengan berbagai cara: dari fasisme yang mematikan, rasialisme yang melecehkan, hingga tendensi-tendensi rasialisme yang tersamar.
Bahwa sistem hukum di beberapa negara sudah bisa sedikit mengeliminasi tindakan-tindakan barbar dalam menyikapi sang-liyan, itu memang benar. Tapi di manapun, sang-liyan sudah pasti akan diposisikan berbeda, setidaknya dipersepsikan berbeda. Inilah yang menyebabkan isu macam ini masih akan ada, akan tetap ada dan akan terus ada.
Ini juga berlaku di sepakbola. Sang-liyan masih saja menjadi persoalan. Isu rasialisme adalah contoh paling telanjang. Tapi ada isu yang lebih “sumir”, tapi masih ada di dalam inti persoalan yang sama: isu imigran, keturunan imigran, dalam sepakbola.
Di sepakbola, banyak pemain yang membela sebuah negara bukan di tempatnya dilahirkan. Bisa jadi ia adalah seorang imigran, atau keturunan imigran, bisa pula pemain yang dinaturalisasi karena kehebatannya dianggap dapat mempersembahkan prestasi atau memberi kekuatan yang signifikan.
Di beberapa negara, isu ini masih menjadi perdebatan, tapi di beberapa negara lain isu ini justru sudah dimaksimalkan menjadi batu lompatan meraih prestasi -- misalnya Prancis saat juara dunia 1998 dan juara Eropa 2000 atau Jerman di Piala Dunia 2014.
Hispanik, Latino, dan Timnas Amerika
Sistem perpindahan kewarganegaraan tiap negara tidaklah sama. Ada yang longgar ada pula yang syaratnya membuat jantung berdebar karena demikian pelik dan berliku. Yang jelas, sistem imigrasi bisa dikata menjadi penentu sejauh mana para imigran berkontribusi untuk mengangkat negara yang mereka tinggali.
Hispanik merupakan label untuk etnis yang berhubungan dengan Spanyol seperti penggunaan bahasa ataupun keturunan. Jumlah hispanik di Amerika mencapai 17 persen atau sekitar 53 juta orang. Hispanik merupakan etnis minoritas terbesar di Amerika. Embrio kecintaan Amerika terhadap sepakbola dimulai dari etnis tersebut.
Hispanik erat dengan “Latino”, yang merupakan label bagi mereka yang berasal dari Amerika Selatan. Dua label tersebut kerap dipersatukan karena negara-negara di Amerika Tengah dan Amerika Selatan kebanyakan menggunakan Bahasa Spanyol.
Sebenarnya salah jika menyebut Brasil sebagai Hispanik, karena mereka bicara Bahasa Portugis. Brasil masuk ke dalam Latino. Sementara itu, Argentina adalah Latino juga Hispanik. Mereka bicara Bahasa Spanyol tapi berasal dari Amerika Selatan. Sebagian dari Latino adalah Hispanik, tapi tak semua Hispanik adalah Latino. Umumnya, populasi Hispanik dan Latino tersebar ke wilayah tengah dan pantai barat Amerika.
Di Liga Sepakbola Amerika, MLS, hampir semua klub berbasis di kota atau negara bagian dengan etnis Hispanik dan Latino dalam jumlah besar. California, misalnya. Di negara bagian yang terletak di pantai barat tersebut, terdapat tiga tim asal negara bagian California yang berlaga di MLS: Chivas USA, LA Galaxy, dan San Jose Earthquakes.
Los Angeles yang merupakan markas klub LA Galaxy, memiliki jumlah Hispanik sebesar 1,8 juta orang. Ini sama dengan 48,5 persen dari total keseluruhan ras dan etnis di kota tersebut. Maka, jangan heran jika selama musim kompetisi 2013, sekitar 82 persen kursi stadion terisi penuh.
Masih di negara bagian California, tepatnya di kota San Jose, klub San Jose Earthquakes lebih gila lagi. Sejak musim 2013, stadion selalu penuh dan membludak. Stadion Buck Shaw, kandang San Jose, hanya berkapasitas 10.550 orang. Namun, pada 2013 lalu, penonton yang hadir mencapai 12 ribu. Tahun ini, jumlahnya lebih banyak lagi: 15.233 penonton atau 144 persen dari total kapasitas stadion.
Menurut penelitian Cabletelevision Advertising Bureau, 94 persen pria Hispanik adalah penggemar olahraga, dan 48 persen di antaranya adalah penggemar fanatik. Bahkan, setengah populasi pria Hispanik di Amerika memiliki nama yang sama dengan pesepakbola dan pemain bisbol.
Hampir 59 persen dari populasi tersebut merupakan penonton setia sepakbola. Anehnya, hanya ada tiga orang Hispanik dan Latinos di skuat timnas Amerika yang berlaga di Piala Dunia 2014. Mereka adalah Alejandro Bedoya, Nick Rimando, dan Omar Gonzalez.
Hal ini sempat menjadi perbincangan hangat di media Amerika, mengapa jumlah pemain Hispanik dan Latinos hanya sedikit. Padahal, dua etnis tersebutlah yang merupakan pasar utama sepakbola di Amerika.
Sulitnya Menjadi Warga Negara Amerika
Berdasarkan data dari Keimigrasian Amerika, pada 2011 tercatat ada 40,4 juta imigran yang menetap di Amerika. Dari jumlah tersebut sebanyak 15,5 juta telah mendapat kewarganegaraan, 13,1 juta imigran memiliki izin tinggal, dan 11,1 juta lainnya merupakan imigran gelap.
Amerika menerapkan sistem ketat dalam sistem imigrasi mereka. Jangankan menjadi warga negara, untuk mendapatkan visa kunjungan saja, pelamar mesti melalui tes ekstra ketat di kedutaan. Hal ini membuat tidak sembarang orang dapat mengajukan diri menjadi warga negara.
Hal ini jelas berpengaruh pada tim sepakbola Amerika. Pasalnya, Federasi Sepakbola Amerika, USSF, memiliki aturan ketat bagi imigran yang ingin membela timnas Amerika. Hanya yang telah mendapat kewarganegaraan-lah yang boleh membela timnas. Izin tinggal saja tidak cukup, apalagi imigran gelap.
Uniknya, Pemerintah Amerika seolah mengakui keberadaan imigran gelap tersebut. Mereka tidak mendeportasi jika ada imigran gelap yang ketahuan. Kebanyakan imigran tersebut tidak melapor sehingga tidak tercatat dan tidak mendapat izin kerja.
Salah satunya adalah Diego Fagundez. Pemuda 19 tahun kelahiran Montevideo, Uruguay ini memiliki masalah soal kewarganegaraan.Fagundez pindah ke Massachusetts pada usia lima tahun. Baru pada 2013 ia mendapatkan green card atau kartu identitas yang menunjukkan bahwa seseorang berhak untuk tinggal dan bekerja secara sah di Amerika. Namun, kartu ini dapat dicabut sewaktu-waktu jika pemegang kartu tersebut melanggar aturan yang berlaku. Artinya, status kewarganegaraan pemegang green card masih belum kuat karena hanya dianggap sebagai bentuk tinggal atau bekerja sementara.
Harapan pun muncul. Fagundez mulai diproyeksikan menjadi gelandang serang masa depan timnas Amerika. Sayangnya, USSF hanya memperbolehkan mereka yang telah memiliki kewarganegaraan untuk masuk skuat timnas.
Karena belum mendapatkan kejelasan status, Fagundez memulai debutnya bukan untuk timnas Amerika, melainkan untuk timnas Uruguay U-20 pada 2012. Ia mesti menunggu setidaknya tiga hingga empat tahun untuk mendapatkan kewarganegaraan Amerika.Fagundez memberi isyarat bahwa ia akan membela timnas yang lebih dahulu memanggilnya. Sebagai catatan, ia baru mendapat kewarganegaraan Amerika pada 2017. Itu pun dengan catatan Fagundez bermain di timnya saat ini New England Revolution, atau tetap bermain di MLS.
Kegundahan sebenarnya adalah bagaimana jika Fagundez direkrut tim Eropa? Jelas, ia akan gagal mendapatkan kewarganegaraan karena harus secara berturut-turut tinggal di Amerika, tanpa interupsi.
Sementara itu, Uruguay mulai gencar mencari talenta baru selepas kegagalan mereka di Piala Dunia 2014. Uruguay hanya mencapai babak 16 besar setelah dikalahkan Kolombia.
Eropa-Sentris
Sedikitnya jumlah Hispanik dan Latino di Amerika, tak lepas dari paradigma bahwa seorang yang berasal dari selatan dengan kulit berwarna, memiliki derajat yang lebih rendah ketimbang mereka yang “asli” dan berkulit putih.
Sejumlah media menyebut minimnya pemain Hispanik di timnas karena adanya pandangan bahwa seorang panutan mesti berasal dari kalangan berpendidikan.
Argumen tersebut mudah dipatahkan karena saat ini presentase Hispanik yang masuk kuliah terus meningkat. Organisasi riset PewHispanic mencatat pada 2000 silam, jumlah Hispanik yang langsung masuk kuliah setelah lulus SMA sekitar 49 persen. Jumlah ini meningkat drastis pada 2012 menjadi 69 persen.
Soal kualitas pendidikan, Hispanik dan Latinos tak kalah. Mereka adalah etnis kedua dan ketiga terbesar penyumbang mahasiswa di sejumlah universitas ternama di Amerika Serikat, atau yang lebih dikenal dengan Ivy League.
Argumen kedua menyebut adanya pandangan bahwa perlakuan terhadap imigran Eropa jauh lebih baik ketimbang imigran Hispanik dan Latinos. Hal ini juga berpengaruh soal pos di timnas.
Tiga Hispanik dan Latinos yang membela skuat Amerika, semuanya lahir di Amerika. Tidak ada dari mereka yang lahir di luar negeri. Alejandro Bedoya lahir di New Jersey, Omar Gonzalez di Texas, dan Nick Rimando di California. Tidak ada satupun dari mereka yang merupakan imigran generasi pertama.
Dari 23 pemain yang dibawa Juergenn Klinsmann ke Brasil, ada lima pemain yang lahir di Eropa: John Brooks lahir di Berlin, Jermaine Jones dan Timothy Candler di Frankfrut, Mix Diskerud di Oslo, dan Fabian Johnson di Munich.
Maka, cukup aneh melihat populasi Hispanik dan Latinos dalam jumlah besar di Amerika, tapi tidak ada satupun dari penggawa timnas Amerika yang lahir di Semenanjung Iberia dan Amerika Selatan.
Menunggu Dering Telepon dari Klinsmann
Dibandingkan dengan Amerika, sistem keimigrasian Prancis jauh lebih terbuka dan mendukung terhadap perkembangan sepakbola. Tanpa para imigran, Prancis akan berjalan pincang baik pada Piala Dunia 2014 maupun ketika meraih gelar juara pada Piala Dunia 1998.
Mereka memaksimalkan kehadiran imigran—selain untuk membayar pajak—juga untuk memperkuat fondasi sepakbola Prancis itu sendiri.
Sementara di Amerika, Diego Fagundez mulai resah. Di satu sisi ia ingin bermain untuk timnas Amerika, negara yang membesarkannya, di sisi lain ia mesti bersabar—dengan terus bermain di Amerika—hingga 2017, agar status kewarganegaraanya bisa meningkat menjadi permanen.
Jika telepon berdering dan nama “Klinsmann” tertera di layar gawainya, hal tersebut akan menjadi sejarah baru bagi pesepakbolaan Amerika. Mereka akan melanggar aturan federasi yang mengharuskan pemain timnas berstatus kewarganegaraan penuh.
Sementara jika pada akhirnya Oscar Tabarez yang mengajaknya, Amerika dipastikan kehilangan potensi terbaik mereka di sepakbola. Kapan lagi menemukan pemain yang bahkan belum genap 20 tahun tapi sudah mencetak 22 gol di liga?
Apakah Anda juga melihat, Tuan Klinsmann?.
====
* Oleh @panditfootball. Profil lihat di sini.