Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Mengusik (Kepribadian) Pep Guardiola

    - detikSport
    Jakarta - <p>Penggemar drama Korea pada pertengahan tahun ini diberi guncangan oleh <em>Kill Me, Heal Me </em>yang tayang di MBC serta <em>Hyde, Jekyll, and Me</em> yang tayang di SBS.<br /><br />Kedua drama tersebut bercerita tentang seorang pria yang mengalami kepribadian ganda. Tokoh-tokohnya kerap memperlihatkan prilaku yang saling bertentangan. Semuanya menjadi lebih sulit karena mereka pun tidak bisa lagi mengingat apa yang dilakukan oleh kepribadiannya yang lain.<br /><br />**<br /><br />Sampai kapanpun Pep Guardiola akan dikenang sebagai salah satu manajer tersukses dalam sejarah Barcelona. Sepanjang empat musim membesut <em>Blaugrana,</em> Pep mempersembahkan tiga gelar La Liga dan dua gelar Liga Champions.<br /><br />Dari pengalaman tersebut, Pep hapal benar bagaimana rasanya mengangkat trofi tinggi-tinggi. Ia melakukannya dengan percaya diri karena kesebelasan yang dibesutnya meraih gelar-gelar itu dengan penampilan yang superior, dominan dan nyaris tak bisa dihentikan &ndash; sesuatu yang didapatkan dengan permainan menyerang yang atraktif.<br /><br />Empat tahun bersama Barcelona, selama empat tahun itu pula ia melaju hingga ke babaksemifinal Liga Champions. Dua di antaranya mencapai babak final, dan dua lainnya kandas dari tangan Inter Milan dan Chelsea. Uniknya, kekalahan tersebut selalu terjadi di tahun genap: Inter Milan 2010 dan Chelsea 2012.<br /><br />Kekalahan dari Chelsea menjadi momen bagi Pep untuk merenungkan kariernya bersama Barcelona. Ada perasaan yang berkecamuk dalam pikirannya. Barcelona kala itu tengah jaya-jayanya. Sulit bagi siapapun untuk mengalahkan tim yang keranjingan melakukan operan-operan pendek.<br /><br />Pep mengaku kalau kekalahan dari Chelsea dan Real Madrid di liga seperti sebuah katalis dalam proses pengambilan keputusan untuk mundur dari kursi manajerial di Camp Nou. Kekalahan tersebut memang bukan menjadi alasan utama, tapi merupakan puncak kegelisahannya selama di Barcelona.<br /><br /><strong>Membangun Ulang Kesebelasan</strong><br /><br />Usai memutuskan berhenti pada penghujung musim 2011/2012, Pep mengemas pakaian, menyiapkan tas besar, dan mengajak istri serta ketiga anaknya menuju New York. Pep mesti membiasakan diri untuk menghentikan cerita-cerita indah dirinya sebagai pemimpin tersukses dalam sejarah Barcelona.<br /><br />Sembari menyepi, ia mesti memikirkan kesebelasan mana yang kelak akan dilatihnya. Tawaran mengalir dari Chelsea dan Manchester City, dua klub besar dengan dana tak terbatas. Namun, pada Januari 2013, Pep lebih memilih Bayern Munich.<br /><br />Pep, lewat agennya, Josep Maria Orobitg, menegaskan kalau ia memilih Bayern bukan karena nilai kontrak yang lebih besar. &ldquo;Bayern bukanlah kesebelasan yang menawarkan uang lebih besar dari kesebelasan lainnya,&rdquo; kata Maria seperti dikutip BBC, &ldquo;Kesebelasan ini dipilih karena organisasi, potensi yang ia (Pep) lihat serta para pemainnya."<br /><br />Pemilihan Bayern sendiri bukan tanpa alasan. <em>Die Bavarians </em>memiliki skuat yang lengkap di Bundesliga dan sangat mampu bersaing di Eropa. Pep agaknya sulit menurunkan standar &ndash; itulah juga yang dikatakan<em> Sir </em>Alex Ferguson dalam salah satu bagian dari biografinya yang khusus membicarakan tentang Pep dan Barcelona di Liga Champions 2010/2011.<br /><br />&ldquo;Barcelona adalah tim terbaik yang pernah menghadapi Manchester United yang saya arsiteki. Keberanian adalah syarat mutlak untuk menghadapi Barcelona. Mereka adalah kesebelasan terbaik di angkatannya,&rdquo; tulis <em>Sir </em>Alex.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/football/JG06.jpg" alt="" width="460" height="297" /><br /><br />Pemilihan Bayern jelas tepat. Mereka adalah raksasa Jerman yang memiliki materi pemain mumpuni. Dengan skuat seperti ini, tentu tidak sulit bagi Pep untuk berimprovisasi. Ia tinggal menerapkan sedikit perubahan untuk membawa<em> Die Roten</em> menjadi sekuat, atau lebih kuat dari Barcelona yang dibentuknya.<br /><br />Pada musim pertamanya, Pep mempersembahkan gelar Piala Super Eropa, Piala Dunia Antarklub, Bundesliga, dan DFB-Pokal. Namun, Pep gagal membawa Bayern mempertahankan gelar Liga Champions karena dikandaskan Real Madrid di semifinal dengan agregat 0-5.<br /><br />Kekalahan dari Real Madrid tersebut menyadarkan Pep kalau Bayern belumlah sempurna. Lalu, ide gila itu muncul di benaknya.<br /><br /><strong>Tiga Bek</strong><br /><br />Partai final DFB-Pokal 2013/2014 menghadapi Dortmund, Pep memperkenalkan formasi yang (saat itu sudah tampak) akan menjadi formula baru Bayern di musim berikutnya: menggunakan tiga bek. Kala itu, Bayern sukses meredam agresifitas Borussia Dortmund dalam partai ketat yang berakhir untuk kemenangan Bayern 2-0.<br /><br />Kepada media Pep membeberkan rencananya mempertahankan formasi dengan tiga bek tersebut. Pep beralasan formasi tersebut mampu memperkuat pondasi permainan Bayern dan menyetarakan kekuatan di semua lini.<br /><br />Pep kemudian menunjuk Javi Martinez sebagai kunci utama penggunaan formasi tersebut. Martinez bertransformasi dari gelandang bertahan menjadi seorang bek tengah. Martinez menjadi kunci jika Pep ingin mengembalikan formasi empat bek, dengan menurunkan dua <em>wide midfielder</em> dan mengembalikan Martinez sebagai gelandang bertahan.<br /><br />Tidak ada yang salah dengan penggunaan formasi tiga bek. Formasi serupa digunakan Juventus untuk menasbihkan diri sebagai penguasa Liga Italia. Formasi yang sama juga digunakan Louis van Gaal yang (dengan mengejutkan) berhasil membawa Belanda menempati peringkat ketiga Piala Dunia 2014.<br /><br /><strong>Badai Cedera</strong><br /><br />Rencana tinggalah rencana. Perubahan &ldquo;tiki-taka&rdquo; yang ditularkan Pep kepada Bayern tidak bisa dilakukan secara radikal. Musim 2014/2015 belum dimulai, badai cedera sudah menggelayuti Bayern.Hampir separuh dari pemain inti mesti menepi karena cedera. Franck Ribery, Arjen Robben, Bastian Schwensteiger, Rafinha, hingga Thiago Alcantara memulai musim dari kursi tribun. Namun, yang paling membuat Pep terpukul adalah cederanya Javi Martinez.<br /><br />Pep kemudian memutar otak dengan merekrut Mehdi Benatia dan Xabi Alonso. Ia pun mendatangkan Sebastian Rode dan Juan Bernat sebagai pelapis.<br /><br />Benatia dan Alonso mampu beradaptasi dengan pola yang digunakan Pep. Khusus untuk Alonso, ia menjadi &ldquo;Martinez baru&rdquo; meski tidak berposisi sebagai bek tengah. Alonso menjadi sentral permainan saat menghubungkan dari lini belakang ke lini tengah maupun ke lini depan. Alonso mampu menerjemahkan instruksi Pep dengan baik.<br /><br />Permasalahan jelas ada di lini belakang. Dengan pilihan yang terbatas, Pep harus kehilangan Holger Badstuber yang mengalami cedera paha.<br /><br />Namun tetap saja, Alonso bukanlah Martinez yang bisa ditempatkan sebagai bek tengah. Sepanjang musim, Alonso ditempatkan di jajaran gelandang dan berperan sebagai gelandang bertahan yang menyusun serangan dari belakang &ndash; posisi dan peran yang memasyhurkan nama Alonso.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/football/JG05.jpg" alt="" width="460" height="331" /><br /><br />Permasalahan terjadi di lini belakang. Jika Martinez fit, maka ia bisa diapit Jerome Boateng dan Dante di lini pertahanan. Pos wide midfielder dihuni Phillip Lahm dan Rafinha atau David Alaba.<br /><br />Kehadiran Martinez membuat formasi tiga bek Pep menjadi lebih fleksibel. Pep akan lebih mudah mengubah formasi dengan menempatkan kembali Martinez sebagai gelandang bertahan, dan memundurkan Lahm dan Rafinha atau David Alaba.<br /><br /><strong>Kepribadian Pep Guardiola</strong><br /><br />Fase gugur Liga Champions musim ini menghadirkan fakta menarik bagi Bayern. Mereka tidak pernah kalah saat bermain kandang. Sepanjang tiga pertandingan kandang di fase gugur, mereka selalu membalikkan keadaan dengan memberikan kemenangan.<br /><br />Pada babak 16 besar, Bayern ditahan Shakhtar Donestk 0-0, di Lviv, Ukraina. Lewandowski dan kolega kemudian menang besar 6-1 kala melakoni leg kedua di Allianz Arena, seminggu berselang.<br /><br />Hal serupa terjadi saat pada babak perempatfinal. Bayern yang dikandaskan FC Porto 1-3 di Estadio Do Dragao, Porto, membalikan keadaan dengan menang besar 7-0 di Allianz Arena.<br /><br />Pep juga mampu melakukan hal serupa pada babak semifinal. Kekalahan 0-3 di Stadion Camp Nou, berhasil dibalikkan dengan kemenangan 3-2 di Allianz Arena. Meski demikian, kemenangan tersebut tak mampu mengantarkan Bayern hingga babak final Liga Champions musim ini.<br /><br />Ada yang menarik dari tiga kegagalan Bayern meraih kemenangan di kandang lawan. Saat menghadapi Shakhtar, Bayern terlihat begitu frustasi karena kesulitan menembus area pertahanan Shakhtar. Padahal, sebelumnya Bayern sukses menjungkalkan Hamburg SV dengan skor fantastis: 8-0 di Munich.<br /><br />Saat bertandang ke Porto, sorotan pantas ditujukan kepada lini pertahanan Bayern. Tiga gol yang dicetak Porto bermula dari kesalahan bek Bayern yang begitu ceroboh dan mudah kehilangan konsentrasi saat menguasai bola. Padahal, empat hari sebelumnya, pertahanan Bayern begitu kokoh saat mengalahkan Eintracht Frankfurt 3-0 di kandang sendiri.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/football/JG03.jpg" alt="" width="460" height="294" /><br /> <br />Ada yang aneh saat Pep &ldquo;pulang&rdquo; ke Camp Nou. Ia menggunakan formasi dengan tiga bek untuk menghadapi trio Neymar, Luis Suarez, dan Messi, yang dikenal begitu tajam di lini depan. Tentu kita semua sudah tahu bagaimana hasil akhirnya. Barcelona mampu mengandaskan Bayern pada 15 menit terakhir.<br /> <br />Apa yang terjadi pada fase gugur Liga Champions tersebut memperlihatkan ada &ldquo;Pep yang berbeda&rdquo; saat ia bermain kandang-tandang. Saat bermain kandang, Pep terkesan lebih berhati-hati. Dukungan penonton pun ia serap untuk mematangkan taktik yang digunakan. Hal sebaliknya terjadi pada partai tandang. Pep terkesan ceroboh dan mudah meluap-luap emosinya. Anehnya, saat bermain kandang, Pep seolah lupa dengan kekalahan yang diderita di pertandingan tandang. Bayern bermain lepas terutama soal urusan mencetak gol.<br /> <br />***<br /> <br />Dalam drama <em>Hyde, Jekyll, and Me,</em> diceritakan bahwa kepribadian ganda tersebut muncul karena adanya tekanan yang begitu besar terhadap karakter utama. Kepribadian tersebut muncul sebagai &ldquo;orang lain&rdquo; yang berbeda 180 derajat dengan kepribadian karakter utama.<br /> <br />Hal serupa barangkali yang juga terjadi pada Pep. Pria kelahiran 18 Januari 1971 tersebut memang tidak salah memilih Bayern sebagai tempatnya yang baru usai mundur dari Barcelona. Bayern dipandang sebagai kesebelasan yang mampu menduplikasi Barcelona baik dalam gaya bermain, maupun komposisi dan materi pemain.<br /> <br />Sayang Pep agaknya lupa kalau Bayern Munich dalam empat musim sebelum kedatangannya sudah tiga kali berlaga pada partai puncak Liga Champions. Liga Champions adalah ajang pembuktian, bukan cuma kesebelasan, tapi juga kompetisi liga masing-masing negara. Kegagalan Bayern menembus babak final, secara tidak langsung tidak meningkatkan citra positif Bundesliga di Eropa.<br /> <br />Namun, Pep mampu membuktikan jika semua orang berada di belakangnya&mdash;dengan diasosiasikan saat bermain kandang&mdash;maka tekanan itu akan dengan mudah ia lewati.<br /> <br />Tapi sepakbola tak melulu tentang laga kandang. Bukan begitu, Pep?<br /><br /><br />====<br /> <br />* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball<br />* Foto-foto: AFP</p> (Kris Fathoni W/Andi Abdullah Sururi)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game