Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Sepakbola dalam Cengkeraman Ma-fi(f)a

    - detikSport
    Jakarta - <p>Tidak ada yang bisa meruntuhkan rezim FIFA selain Tuhan dan Amerika Serikat. Agar tetap berkuasa, Sepp Blatter, dalam sejumlah pernyataannya, begitu enggan menjejakkan kaki di Amerika.<br /><br />Otoritas Amerika sebelumnya sempat mengancam akan membuka kasus korupsi di FIFA, tapi Blatter tenang-tenang saja. Pria yang telah bekerja di FIFA sejak 1975 tersebut bergeming dan menyatakan dengan tegas kalau investigasi tersebut tidak menyangkut dirinya secara pribadi.<br /><br />Ancaman Amerika nyatanya bukan omong kosong belaka. Rabu (27/5) lalu, sejumlah petinggi FIFA ditangkap di Hotel Baur au Lac Swiss. Mereka ditangkap atas tuduhan&mdash;apalagi kalau bukan&mdash;korupsi.<br /><br />Kepolisian Swiss, yang atas permintaan otoritas Amerika, begitu mudah menangkap para petinggi FIFA yang rencananya akan mengikuti kontes pada 28-29 Mei ini.<br /><br />Otoritas Amerika, lewat Biro Investigasi Federal Amerika Serikat, <strong>FBI, </strong>kabarnya telah menyelidiki kasus korupsi di FIFA sejak 1990-an. Penangkapan yang dilakukan setelah hampir dua dekade ini, dipicu karena keterlibatan warga Amerika, Chuck Blazer, yang diduga mengemplang pajak.<br /><br />Ceritanya, perusahaan Blazer mendapatkan aliran dana mencurigakan dari Ketua Asosiasi Sepakbola Karibia, Jack Warner. Meskipun mengelak kalau itu bukan uang suap, tapi tetap saja Blazer tersangkut kasus pajak.<br /><br />FBI pun menjadikan Blazer sebagai informan dengan mikrofon tersembunyi seperti dalam film mata-mata. Ia digunakan sebagai alat untuk mendapatkan informasi terkait bukti korupsi dan suap.<br /><br />Ini yang kemudian memicu Amerika untuk mengungkap skandal korupsi di FIFA. Selain itu, FIFA juga bukannya kebal hukum. Pemerintah Swiss telah menetapkan bahwa organisasi olahraga internasional yang bermarkas di Swiss harus tunduk pada hukum Swiss.<br /><br /><strong>Tunduknya Negara terhadap FIFA</strong><br /><br />Ada sistem yang membuat sebuah negara berdaulat tunduk pada FIFA. Mereka dibuat tak berdaya dalam mencampuri urusan sepakbola.<br /><br />FIFA membuat sistem di mana bentuk dari tiap asosiasi negara/federasi adalah mandiri dan independen. Ini dilakukan agar secara <em>de facto,</em> asosiasi negara adalah organisasi di luar negara macam <em>Non-Goverment Organization.</em><br /><br />Asosiasi negara pun tidak mendapatkan dana hibah dari negara. Mereka biasanya mendapatkannya dari konfederasi dan FIFA itu sendiri.<br /><br />Ini yang membuat FIFA dengan mudahnya mengancam jika negara mengusik atau mengintervensi asosiasi negara, maka asosiasi negara tersebut akan dibekukan. Bentuknya adalah dengan dikucilkannya negara tersebut oleh asosiasi negara lainnya.<br /><br />Dalam hal ini, FIFA-lah yang menghukum negara. Mereka harus tunduk pada aturan FIFA karena sepakbola adalah olahraga paling populer di dunia. Tidak ada media lain, selain sepakbola dan perang, yang bisa membuat sebuah negara mengklaim dirinya paling adidaya.<br /><br />Negara pun menjauh dan menyerahkan sepenuhnya kepada sistem yang berjalan, yang dituntun lewat kitab suci bernama <em>statuta.</em><br /><br />Bagi sejumlah negara, sistem tersebut kadang tidak 100 persen berlaku. Sejumlah negara, seperti Indonesia, menganggap asosiasi negara dalam hal ini PSSI, hanyalah organisasi yang diberikan amanat oleh negara untuk menjalankan sepakbola.<br /><br />FIFA adalah tingkat teratas dalam struktur organisasi asosiasi negara. Jika ada campur tangan negara, maka sebenarnya bukan asosiasi tersebut yang dihukum, melainkan FIFA yang menghukum negara. Maka, jangan aneh kalau dalam kerangka berpikir anggota asosiasi negara, sepakbola adalah milik FIFA, karena memang begitu adanya.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/about-the-game/leFIFA5.jpg" alt="" width="460" height="307" /><br /><br /><strong>Meredam Negara-Negara Besar</strong><br /><br />Amerika Serikat yang lebih dulu sampai ke bulan, rupanya tak memiliki upaya untuk menjadi juara dunia. Mereka masih kalah oleh Kolombia dalam peringkat FIFA, dan kalah jauh dari Spanyol dan Brasil soal sepakbola.<br /><br />Amerika Serikat adalah negara besar, baik dalam jumlah penduduk, luas wilayah, dan kekuasaan. Mereka punya kapal induk yang bersiaga di Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik. Mereka punya pertahanan udara yang begitu sulit ditembus. Mereka pun punya teknologi yang mungkin jauh lebih canggih dari yang biasa kita saksikan di televisi.<br /><br />Namun di hadapan FIFA, Amerika tak lebih penting dari Zimbabwe ataupun Djibouti. Suara Amerika tak lebih tinggi dari Burgundi. Suara mereka tak lebih besar dari Madagaskar.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/about-the-game/leFIFA6.jpg" alt="" width="460" height="307" /><br /><br />FIFA memiliki sistem di mana satu asosiasi negara hanya diberi satu suara atau istilahnya<em> one man, one vote.</em> Ini yang membuat Blatter tenang-tenang saja walau ia tahu UEFA tidak menyukainya.<br /><br />Meskipun Eropa dikenal karena perkembangan sepakbolanya, tapi daya mereka tak cukup kuat untuk melengserkan Blatter. Inggris yang makmur karena punya negara persemakmuran di mana-mana, tidak lebih nyaring dari Indonesia yang setia mendukung rezim Blatter di FIFA.<br /><br />Kabarnya, sebelum kongres dan pemilihan presiden pada 2011, Presiden UEFA, Michel Platini, meminta semua asosiasi negara Eropa untuk mendukung Blatter. Pasalnya, Blatter berjanji untuk meletakan jabatan dan tidak kembali naik pada pemilihan 2015.<br /><br />Nyatanya, Blatter sudah terlalu tua untuk mengingat hal-hal penting dan signifikan&mdash;Ia kembali maju pada 2015.<br /><br />UEFA pun sulit melakukan protes. Jumlah suara mereka jika dikumpulkan hanya 53 setelah dikurangi Rusia yang pasti mendukung FIFA karena terkait Piala Dunia 2018. Dari perkembangan FIFA agaknya akan mendapatkan dukungan penuh dari (56), Amerika Selatan (10), Asia (47), dan Oceania (11), yang jika dijumlahkan mencapai 124 suara!<br /><br />Dengan ini, negara-negara adikuasa tak pernah bisa benar-benar mengguncang FIFA. Mereka masih melanjutkan gengsi pertarungan di sepakbola. Tidak ada yang mau dibekukan dan dikucilkan dari sepakbola internasional.<br /><br /><strong>Menjadi Rezim yang Tertutup</strong><br /><br />Pada 2011, FIFA dikejutkan dengan hampir lolosnya jurnalis sepakbola Amerika Serikat, Grant Wahl, sebagai calon presiden. FIFA beruntung karena tidak ada satu negara pun yang memberikan dukungan atas pencalonan Wahl, yang merupakan syarat utama untuk bisa maju sebagai calon presiden FIFA.<br /><br />FIFA pun memikirkan strategi baru. Mereka memandang kejadian pada 2011 bisa saja menjadi titik lemah yang bisa meruntuhkan rezim. Maka dibuatlah peraturan baru di mana calon presiden mesti didukung lima asosiasi negara, dan mesti bekerja di asosiasi negara selama lima tahun. Aturan tersebut berlaku untuk pemilihan presiden pada kongres FIFA ke-65, yang digelar di Zurich, Swiss, Jumat (29/5) esok.<br /><br />Dengan ini, mustahil orang-orang yang tidak pernah bersentuhan langsung dengan &ldquo;FIFA&rdquo; bisa maju sebagai presiden. Syarat baru ini jelas akan menguntungkan orang-orang &ldquo;lama&rdquo; untuk kembali menata rezim mereka.<br /><br /><strong>Tanpa Idealisme</strong><br /><br />Organisasi sepakbola saat ini bukan lagi murni bicara soal sepakbola, melainkan pada bisnis yang menghasilkan uang. Kita sudah bisa menebak negara-negara mana yang menolak aksi otoritas Amerika dalam membuka skandal FIFA. Salah satunya adalah Rusia.<br /><br />Rusia punya kepentingan penyelenggaraan Piala Dunia 2018. Jika benar ada korupsi dan suap dalam pemilihan negara Piala Dunia 2018, Rusia pun pastilah terseret ke dalam pusaran arus.<br /><br />Ini ditegaskan Kementrian Luar Negeri Rusia yang menyatakan bahwa permintaan penangkapan tersebut adalah upaya Amerika memaksakan hukum dan peraturannya pada negara asing.<br /><br />Meski bau busuk rezim Blatter sudah terbukti lewat penangkapan, sejumlah negera, termasuk Konfederasi Asia, AFC, tetap berada di sisi Blatter. Mereka begitu setia mendukung Blatter dan menentang penundaan pemilihan presiden yang diajukan oleh UEFA. Keputusan ini terbilang aneh, karena Prince Ali dari Yordania, yang merupakan anggota AFC, adalah satu-satunya penantang Blatter dalam pemilihan nanti.<br /><br />Apa mungkin ada imbalan yang diberikan Blatter jika ia terpilih kembali?<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/about-the-game/leFIFA3.jpg" alt="" width="460" height="307" /><br /><br /><strong>Seperti Operasi-operasi Lainnya</strong><br /><br />Amerika menunjukkan kekuatan militernya setelah tragedi 9/11. Mereka mengobrak-abrik Afghanistan dengan tujuan mencari "senjata pemusnah massal", meskipun kita tahu kalau cinta adalah senjata pemusnah massal terbaik yang pernah ada.<br /><br />Amerika pun berubah menjadi senjata pemusnah massal yang sebenarnya. Tidak ada rasa cinta karena mereka hanya menebar benci. Setelah Afghanistan, giliran Iraq yang diacak-acak. Saddam Hussein pun berakhir di tiang gantung. Amerika pun mencari orang yang paling sulit ditemukan yang pernah ada: Osama bin Laden. Mereka kemudian menemukannya di Pakistan, bahkan katanya, pemerintah Pakistan pun tidak tahu Osama ada di dalam teritori mereka<br /><br />Buat Amerika, seharusnya operasi pencarian bukti dan praktik korupsi di FIFA adalah hal sepele. Terlebih, mereka sudah memiliki data sejak 1990-an, dan memiliki Blazer sebagai informan yang bisa memancing keluar informasi langsung dari mulut mereka yang bersangkutan.<br /><br />Mereka tidak perlu terbang langsung ke Swiss dengan menggunakan F-22 Raptor. Sepucuk surat tugas untuk Pemerintah Swiss, sudah cukup kuat untuk menggedor hotel bintang lima tempat pejabat FIFA tinggal.<br /><br />Amerika tidak cemas karena toh sepakbola bukan hal yang utama di Negeri Adidaya tersebut. Sepakbola cuma olahraga dengan nama aneh: Soccer. <br /><br />Amerika tak takut dengan mengusik FIFA berati dapat memengaruhi Asosiasi Sepakbola Amerika Serikat dan Konfederasi Amerika Utara dan Amerika Tengah, Concacaf. Namun, mereka tak khawatir. Untuk apa khawatir, karena hidup bukan cuma soal sepakbola. Ada hal-hal yang lebih esensial dalam hidup. Tanpa perlu menjadi maestro di sepakbola sekalipun, negara bisa hidup sejahtera. Tiongkok dan Amerika adalah buktinya.<br /><br />Seperti yang sudah penulis tegaskan pada kalimat pertama tulisan ini, memang cuma Tuhan dan Amerika yang bisa menghentikan rezim Blatter di FIFA.<br /><br />Akan berakhir di mana Blatter? Pusara atau Penjara? Sudah cukup bersenang-senangnya,<em> Old Man.</em><br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/about-the-game/leFIFA2.jpg" alt="" width="460" height="307" /> <br />====<br /> <br />* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball<br />** Foto-foto: AFP<br /><br /></p> (Doni Wahyudi/Andi Abdullah Sururi)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game