Jakarta - <p>Jika sepakbola memang bukan perkara bola panjang atau bola pendek, maka sudah sepantasnya sepakbola juga tidak mempersoalkan tinggi atau pendeknya seorang pemain.<br /><br />Agaknya, kata “pendek” sering dilekati dengan makna yang kurang baik. Misalnya, pada frase “umur pendek”. Kita tidak akan pernah mengucapkan “semoga pendek umur” kepada orang-orang kesayangan saat ia berulang tahun. Begitu pula pada frase “ingatan yang pendek”, yang sering diartikan sebagai kecenderungan untuk melupakan hal-hal yang seharusnya tetap diingat sampai kapanpun. Atau dalam frase “pendek akal”, yang berarti orang yang tidak mau mempertimbangkan baik dan buruknya suatu keputusan dengan sebaik-baiknya.<br /><br />Dilihat dari makna denotasinya, kata “pendek” juga memberikan pandangan yang kurang baik. Postur badan tinggi tampaknya menjadi idaman banyak orang. Buktinya, yang beredar di pasaran adalah adalah obat atau metode peninggi badan dan bukan sebaliknya. Seumur hidup, rasanya saya juga belum pernah melihat lowongan pekerjaan dengan syarat tinggi badan kurang dari – katakanlah – 160 cm.<br /><br />Sepakbola juga sering meributkan soal tinggi atau pendeknya seorang pesekbola. Kita bisa berdalih bahwa sepakbola tidak terlalu mempersoalkan tinggi badan. Namun rasanya dalih tadi lenyap seketika saat perkara “postur tubuh” dikambinghitamkan atas sebuah kekalahan. Barangkali maksudnya baik, untuk meyakinkan penikmat dan penyaksi sepakbola tanah air kalau tidak ada yang salah dengan kemampuan, teknik dan mental. Masalahnya cuma satu: kurang tinggi, badan kurang tegap. Dan kalau sudah menyangkut masalah ukuran fisik, siapa yang bisa disalahkan? Pelatih fisik kesebelasan? Orangtua yang melahirkan? Atau Tuhan yang menciptakan?<br /><br />Membincang tinggi atau pendeknya seorang pesepakbola mirip dengan membicarakan hal yang tak pasti. Tak ada ukuran yang benar-benar mematok angka berapa sehingga pesepakbola dapat disebut berbadan tinggi ataupun pendek. Barangkali, satu-satunya ukuran yang bisa digunakan adalah riset-riset yang dilakukan oleh sejumlah lembaga seperti <em>The International Centre for Sports Studies</em> (CIES).<br /><br />Hasil penelitian lembaga yang berafiliasi dengan University of Neuchatel di Swiss ini menjelaskan bahwa, jika dirata-ratakan, tinggi badan pesepakbola di 5 liga terbesar Eropa (Prancis, Jerman, Italia, Inggris dan Spanyol) pada musim 2013/2014 mencapai 181,98 cm. Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan musim 2010/2011 yang mencapai angka 182,11 cm dan 182,19 cm di musim 2011/2012.<br /><br />Menjelang final Liga Champions hari Sabtu (6/6) depan, saya diingatkan tentang beberapa pesepakbola bertubuh pendek (jika pendek mengacu kepada hasil penelitian di atas) yang direncanakan ikut berlaga. Sebut saja Lionel Messi (170 cm), Xavi Hernandez (170 cm), Andres Iniesta (170 cm) ataupun Carlos Tevez (173 cm). Bentuk fisik yang agaknya juga bisa mengingatkan kita kepada pesepakbola-pesepakbola masa lampau seperti Diego Maradona (165 cm), Ariel Ortega (170 cm) ataupun Michael Owen (173 cm).<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/about-the-game/CT.jpg" alt="" width="460" height="306" /><br /><br />Jika badan yang tinggi menjadi salah satu tolak ukur kesempurnaan fisik, maka tak heran bila orang-orang bertubuh pendek sering dijadikan sebagai lelucon. Namun lewat keberadaan pesepakbola-pesepakbola bertubuh pendek, kecenderungan seperti ini ingin dihancurkan dengan perayaan kecil-kecilan dalam tulisan-tulisan berjudul seperti “10 Amazing Short Soccer Players” ataupun “Top 5 Short Footballers”. <br /><br />Barangkali, asumsi orang-orang pendek yang identik dengan orang-orang menyedihkan ingin diganti dengan cerita tentang orang-orang pendek yang menjungkirbalikkan “ketidakberdayaan” tadi. Dengan keberadaan mereka, kita dihadapkan pada dongeng yang bercerita tentang bagaimana seorang penjaga gawang dengan tinggi 193 cm dikalahkan orang yang dalam dunia sepakbola bisa dikategorikan berbadan kerdil. Cerita-cerita yang sebenarnya tidak mempedulikan kemampuan bersepakbola, tetapi lebih kepada dongeng yang menyoal anatomi.<br /><br />Namun, yang perlu digarisbawahi, apapun yang disublimasikan ke dalam sebuah dongeng, semuanya adalah kebohongan.<br /><br />Maradona tidak menjebol gawang Peter Shilton dengan tubuh cebolnya. Selain dengan gol tangan Tuhan, ia mencetak gol dengan berlari sendirian membawa bola sejauh kira-kira 60 meter sambil melewati 5 orang pemain Inggris. Messi yang hanya lebih tinggi 5 cm dibandingkan Maradona juga tidak menjebol gawang Bayern karena tubuhnya tak sempurna jika dibandingkan dengan postur pemain lawan. Ia mengalahkan Manuel Neuer dengan sepakan keras dari luar kotak penalti dan aksi <em>solo-run </em>yang membikin Jerome Boateng terjungkal.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/about-the-game/messi-bayern.jpg" alt="" width="460" height="306" /><br /><br />Seandainya Maradona ataupun Messi tidak bertubuh pendek, jika mereka berdua tetap berhasil mencetak gol seperti tadi berikut rekor-rekor lainnya, nama mereka tetap akan ada di daftar pesepakbola kelas atas. Dan sebaliknya, jika Xavi terlalu terpaku kepada tubuh besar lawan-lawannya sehingga tidak pernah bisa menyajikan umpan-umpan brilian kepada para penyerang agaknya sependek apapun ia, para penggila Barcelona tidak akan bersusah-susah mempersembahkan koreo pada pertandingan perpisahannya.<br /><br />Sepakbola memang sering dijadikan sebagai dongeng tentang berbagai kemustahilan. Tentang orang-orang yang tadinya diremehkan namun sanggup mengalahkan mereka yang kerap dijagokan. Namun, jika sepakbola juga bercerita tentang kemenangan dan kekalahan, maka seorang pesepakbola tidak pernah kalah karena tinggi badan dan tidak pernah menang karena postur tubuh.<br /><br /><img src="https://akcdn.detik.net.id/albums/about-the-game/maradona86.jpg" alt="" width="460" height="314" /><br /><br />====<br /> <br />* Akun twitter penulis: @marinisaragih dari @panditfootball<br /><br /></p> (a2s/raw)