Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Kartu Nama Leroy Fer

    Marini Saragih - detikSport
    AFP AFP
    Jakarta -

    Namanya Leroy Fer. Saya jarang mendengar namanya disebut media, tak hafal bentuk wajah apalagi sejarah hidupnya.

    Ia memang pemain tim nasional Belanda, dipanggil Louis van Gaal untuk Piala Dunia 2014, dan sempat mencetak gol penting ke gawang Chile. Namun ia tak bermain untuk kesebelasan besar, dan barangkali itulah uniknya: hanya bermain di Norwich dan Queens Park Rangers, setelah mengenyam pendidikan sepakbola di Feyenord, ia toh tetap dibawa Van Gaal ke Piala Dunia 2014.

    Beginilah saya bertemu dengannya pertama kali: Di dalam ruangan pribadi yang menjadi bagian dari sebuah bar berkonsep tahun 1920-an, seorang pria berkulit hitam yang tentu saja tingginya membikin saya minder, tertawa-tawa menikmati gurauan tentang sponsor kesebelasan yang diperkuatnya dan sponsor perjalanannya ke Indonesia kali ini.

    Saya tertawa, kami tertawa. Kelakar yang memperlihatkan ia punya selera humor yang cukup, termasuk menertawakan dirinya sendiri.

    Dia tidak banyak bercerita tentang kesebelasan yang dibelanya, apalagi ambisi-ambisinya bersama tim nasional. Seingat saya, kami yang ada di dalam ruangan itu malah terbahak-bahak karena seorang teman menyinggung kembali apa yang dilakukan Leroy di hari pernikahannya.

    Sudah menjadi kebiasaan jika yang empunya hajat akan mempertontonkan tarian pertama mereka sebagai suami istri. Namun di hari yang katanya sakral itu, Leroy dan istrinya – Xenia – menghentak lantai dansa dengan iringan lagu “Loyal” milik Chris Brown. Setahu saya, Drake – rapper yang menjadi favorit Leroy juga pernah menyanyikan lagu ini pada perhelatan Summer Jam 2014.

    “Got a white girl with some fake titties. I took her to The Bay with me. Eyes closed smoking marijuana. Rolling up that Bob Marley, I’m a rasta.”

    Pernah mendengar lagu itu?

    Leroy mengenang peristiwa itu dengan begitu senang. Dengan bangga ia bilang kalau dirinya menari jauh lebih baik daripada istrinya di sepanjang sesi tersebut. Kami yang sudah menyaksikan rekamannya juga tak bisa membantah.

    Sementara si istri tidak mau setuju begitu saja. Perempuan yang sedang mengandung sekitar 21 minggu itu membela diri. Ia mengeluhkan gaun pernikahan yang membikinnya tak bisa bergerak leluasa kala itu. Ya, perempuan memang tak mau kalah. Sejarah banyak mencatat hal itu.

    Namun di atas segalanya, ada satu kejanggalan menarik yang saya sadari menjelang sesi temu akrab Leroy Fer dengan para penggemarnya kemarin. Selesai makan siang dan menjelang dimulainya sesi temu akrab, saya mengikuti Leroy berjalan di koridor yang menghubungkan gedung utama dengan tempat acara digelar.

    Tidak ada pengawalan, tidak ada jepretan kamera dan decak kagum penggemar yang membabi buta (seingat saya, hanya ada satu penggemar yang meminta foto bersama dalam perjalanannya tadi), bahkan tak ada iring-iringan panitia. Waktu itu, bersama istri dan dua orang temannya, Leroy berjalan santai. Ia sesekali melepaskan rangkulannya, lalu bercanda sambil mengelus perut si istri yang sudah membesar. Di mata saya, Leroy Fer berjalan sebagai pesepakbola yang tidak menolak ketidakterkenalannya.

    Pada menit-menit yang memang terlihat remeh ini, anggapan-anggapan yang selalu saya rawat tentang keberadaan ideal seorang pesepakbola hadir satu per satu. Saya selalu membayangkan arak-arakan yang heboh, elu-elu yang meriah dan ketiadaan remeh-temeh tiap kali seorang pesepakbola melangkah. Rasanya tidak berlebihan, karena atas segala upaya dan kenikmatan yang mereka suguhkan di atas lapangan hijau itu – mereka memang pantas menerima popularitas setinggi langit.

    Mengamati dan berbincang dengan Leroy Fer mengingatkan saya akan esai Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Kartu Nama”. Esai ini dipublikasikan di majalah “Djakarta!” sekitar tahun 2008. Ia bercerita tentang kebiasaan manusia modern yang gemar membagikan kartu nama atas dasar profesionalisme.

    Pada awalnya, membagikan kartu nama sama dengan berbicara: “Kalau mau bekerja sama, Anda tahu bagaimana caranya menghubungi saya.” Kartu nama itu ibarat kunci yang bisa membuka peluang bisnis. Membagi atau bertukar kartu nama berarti memiliki orang-orang yang bisa dimanfaatkan sesuai kebutuhan.

    Namun belakangan, kartu nama punya fungsi lain walaupun tak sepenuhnya meninggalkan fungsi yang lama. Kartu nama yang berguna adalah kartu nama yang bisa membuka peluang. Dan atas tujuannya yang seperti ini, kartu nama harus bisa meyakinkan kalau si empunya memang orang yang tepat untuk diajak bekerja sama.

    Pada dasarnya ada dua golongan besar kartu nama. Yang pertama yang bentuknya sederhana. Sekadar mencantumkan nama, profesi dan nomor telepon yang bisa dihubungi. Semacam kartu nama tak niat yang biasanya dimiliki oleh tukang ledeng, tukang listrik dan tukang-tukang lain yang kerap dipandang sebelah mata.
     
    Jenis yang kedua adalah kartu nama yang dibuat rumit. Biasanya di bawah nama pemilik, kita akan melihat entah profesi entah jabatan yang ditulis dalam istilah-istilah rumit. Kartu nama jenis ini didesain begitu rupa, mengusung konsep futuristik, minimalis dan nama-nama tak sederhana lainnya. Kartu jenis pertama mempersetankan hal-hal demikian. Yang paling penting orang lain tahu kalau di sekitar mereka ada tukang ledeng atau listrik yang bisa diandalkan kapanpun.

    Di bulan-bulan pertama memiliki kartu nama, saya gemar membaginya kepada siapapun – termasuk orang-orang yang sebenarnya tak ada hubungannya dengan pekerjaan saya. Tujuannya bukan untuk urusan pekerjaan, tetapi menunjukkan bagaimana saya ingin dilihat oleh orang lain. Saya tidak peduli orang-orang yang saya bagikan kartu nama tadi akan menghubungi atau tidak, yang penting orang-orang tersebut akan terkesan dengan jabatan mentereng sesuai dengan apa yang akan mereka temukan di bawah nama.

    Lantas, segala hal yang saya temukan saat berbincang dan mengamati Leroy Fer yang tadinya saya anggap sebagai kekonyolan, justru berhasil menertawakan saya. Jika diibaratkan sebagai orang yang membagikan kartu nama, maka hari itu saya akan menerima kartu nama dengan tulisan Leroy Fer: Pesepakbola yang Tidak Terkenal.

    Membacanya membikin saya tertawa dan tersindir. Saya dan entah berapa orang dari kalian memang ingin terlihat hebat. Masalahnya kualitas urusan belakangan, yang penting terlihat hebat. Yang utama, saat orang-orang yang menatap dan memegang kartu nama itu, mereka akan menganggap si pemilik kartu nama sebagai orang yang benar-benar hebat. Kalaupun sebetulnya belum hebat, rasanya tidak akan menjadi masalah. Siapa juga yang bakal tahu? Kalaupun ada ancaman akan segera ketahuan, toh masih ada banyak waktu dan kesempatan untuk benar-benar menjadi hebat. Ah, perjuangan yang patut dipuji!

    Waktu itu sekitar pukul 6 sore, setelah berjabat tangan dan mengucapkan terima kasih untuk beberapa jam yang menyenangkan – saya mengira-ngira ada berapa kartu nama yang tersisa di dalam tas saya. Lumayan banyak – tapi untuk kali ini, biarlah kartu-kartu tadi saya simpan dulu.



    ====

    * Akun twitter penulis: @marinisaragih dari @panditfootball

    (a2s/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game