Piala Dunia U-20
Serbia: Dari Konflik Bersenjata hingga Final Piala Dunia U-20

Serbia U-20 akhirnya lolos ke babak final Piala Dunia U-20 2015. Sangat luar biasa membayangkan bagaimana remaja-remaja Serbia, yang dilahirkan di tengah situasi peperangan yang berdarah di wilayah Balkan, kini berhasil menggapai salah satu tangga tertinggi dalam sepakbola kelompok umur.
Serbia melaju ke babak final usai mengalahkan Mali U-20 dalam sebuah laga yang sengit Mereka unggul lebih dulu melalui sepakan Andrija Zivkovic di menit keempat. Mali membalas gol tersebut pada menit ke-39 berkat tendangan jarak jauh Youssouf Kone.
Di babak II, laga berjalan lebih sengit lagi. Serbia yang diasuh Veljko Paunovic terus menggempur Mali, namun wakil Afrika itu bertahan dengan sangat baik. Mali bahkan sanggup mengirimkan beberapa kali serangan balik berbahaya.
Di babak perpanjangan waktu, barulah Serbia berhasil menjebol gawang Mali. Si Elang Muda (The Young Eagles), julukan Serbia U-20, memastikan lolos ke babak final setelah Ivan Saponjic menjadi pahlawan kemenangan berkat golnya yang dicetak pada menit ke-101.
Serbia U-20 pun lolos ke babak final Piala Dunia U-20 yang berlangsung di Selandia Baru ini. Mereka kini berpeluang mengulang kejayaan masa silam, ketika Serbia masih bernaung di bawah bendera Yugoslavia, yang berhasil menjadi juara dunia U-20 pada 1987 silam.
Tapi, untuk meraih kembali kesuksesan macam itu, Predrag Rajkovic dkk., mesti mengalahkan salah satu kandidat kuat yakni Brasil U-20. Di laga semifinal, Brasil berhasil mencukur Senegal dengan skor 5-0. Mereka sangat dominan dan bahkan sudah unggul tiga gol ketika pertandingan baru berjalan 19 menit.
Bukan tugas mudah untuk mengalahkan Brasil. Apa pun hasilnya nanti, mereka sudah mencapai laga puncak; prestasi yang bukan main-main. Apalagi mereka sebelumnya berhasil mengalahkan beberapa negara kuat lain, seperti Uruguay dan Meksiko. Sebuah perjalanan sulit yang menegaskan bahwa pencapaian mereka bukanlah kebetulan semata.
Pelatih Paunovic membangun kesolidan terutama sektor pertahanan pada formasi 4-2-3-1 racikannya. Dirinya menugaskan kepada para anak asuhnya agar tidak lelah memenangkan bola terutama kepada poros gandanya yang ditugaskan kepada Sasa Zdjelar dan Nemanja Maksimovic sebagai gelandang perebut bola (ball-winning midifielder).
Menyolidkan kekuatan duel perebutan bola di lini tengah memudahkan para bek Serbia U-20 meladeni ancaman lawan sehingga memudahkan melakukan serangan balik cepat. Dari enam pertandingan terakhir Rajkovic dkk. cuma kebobolan tiga gol saja.
Pembangunan Sepakbola Dini dalam Situasi Perang Etnis
pasukan Elang Muda ini rata-rata merupakan kelahiran 1995 sampai 1997. Kurun itu akan dikenang sebagai salah satu periode paling berdarah dalam sejarah Serbia.
Tapi, bukan Serbia namanya jika tidak bersentuhan dengan konflik. Bahkan kesebelasan senior mereka pun dilahirkan ketika di antara Perang Dunia I dan II. Di bawah naungan nama Jugoslovenski Nogometni Savez yang didirikan pada 1919 di Zagreb, etnis Serbia sudah mengenal sepakbola saat itu juga. Ketika itu mereka masih bergabung dengan Kroasia dan Slovenia.
Begitu juga dengan generasi Rajkovic sekarang. Mereka lahir dan tumbuh di tengah perang etnis Yugoslavia yang berlangsung dari 1991 sampai 2001. Isu-isu kebebasan dan kemerdekaan beragam etnis di Balkan, dari etnis Slovenes, Croats, Kosovar, Albanians, Bosniaks dan Macedonians, menjadi pemicu utama ledakan konflik berdarah di wilayah Balkan.
Jelang Piala Dunia 1990 pun hawa perang sudah mulai mengemuka. Kala itu, banyak etnis Kroasia di Zagreb mencemooh kesebelasan negara Yugoslavia dan lagu kebangsaannya.
Ya, etnis-etnis di wilayah Balkan, yang dulu bergabung di bawah bendera Yugoslavia, memang terkenal dengan kebanggaan yang kokoh kepada asal-usulnya. Etnis merupakan salah satu kunci dan pintu utama untuk memahami konflik yang berdarah-darah di wilayah Balkan.
Dalam situasi itulah pemain-pemain Serbia U-20 yang sedang menatap final Piala Dunia U-20 ini dilahirkan. Dan mereka berhasil sejauh ini.
Lalu bagaimana mereka belajar sepakbola di tengah konflik macam itu?
Para pesepakbola Serbia sudah menggeluti olahraga tersebut sejak dini. Mereka bermain sepakbola di mana pun, di jalanan, di halaman sekolah atau lapangan-lapangan dan ruang publik mana pun yang tersedia. Pada era konflik, anak-anak Serbia bermain sepakbola dengan memanfaatkan fasilitas seadanya. Terkadang di jalanan, ladang, di sesela antara bangunan-bangunan. Rata-rata mereka baru mengenal sepakbola secara metodis dan sistematis pada usia delapan tahun dengan bergabung ke berbagai akademi.
Beberapa pemain Serbia U-20 mengenang momen-momen mereka bermain sepakbola di masa kecil sebagai pembebasan dari keseharian yang menekan. Tiap kali bermain sepakbola, mereka bisa mendapatkan kebebasan berpikir untuk bermain dan menunjukkan potensinya tanpa tekanan.
Kecenderungan lainnya ialah para pemain berbakat di Serbia, menariknya, justru tidak gampang dibiarkan pergi meninggalkan Serbia untuk merumput ke liga-liga lain – apalagi dalam usia yang masih terbilang muda. Mereka menganggap akademi lokal lebih penting dan lebih baik ketimbang yang ada di luaran sana. Keyakinan dan kepercayaan diri itu tak berkurang kendati beberapa kali perekonomian Serbia memburuk. Tidak heran jika jarang pesepakbola muda Serbia sudah bergabung di akademi sepakbola kesebelasan Eropa lainnya.
Barangkali ini tidak bisa dilepaskan dari kebanggaan nasional yang begitu kuat bercokol di dada dan pikiran orang-orang Serbia. Ini sebenarnya bukan monopoli Serbia, tapi kecenderungan umum di negara-negara eks-Yugoslavia. Kebanyakan mereka memang menaruh tinggi-tinggi kebanggaan nasional, yang kadang sampai taraf chauvinistik dan ultra-nasionalis. Ini pula yang sesungguhnya kerap menjadi faktor utama meledaknya konflik-konflik antar etnis di wilayah Balkan.
"Saat itu kondisinya berbeda," terang Momcilo Vukotic, salah satu pelatih akademi FK Partizan Youth School, ketika bercerita kepada ESPN FC. "Saat itu Yugoslavia masih besar. Liganya pun jauh lebih kuat, fans kita lebih banyak, lebih banyak pemain, lebih banyak segalanya," sambungnya.
Selain itu Asosiasi Sepakbola Serbia (FSS) juga membuat sebuah proyek bernama "My School My Club" yang merupakan implementasi dukungan Departemen Pendidikan UEFA, Kantor Nasional Presiden Republik Serbia dan media partner lainnya. Proyek tersebut menunjukkan tujaun FSS untuk membantu pengembangan sekolah olahraga melalui pembentukan dan pendaftaran gratis sejumlah kesebelasan sekolah, baik untuk siswa laki-laki maupun perempuan.
Di Serbia pendidikan terbuka untuk sekitar 600 ribu anak sekolah dasar yang dilayani oleh sekitar 3.500 sekolah. Sekolah-sekolah itulah yang menjadi target program "My School My Club" yang dikembangkan oleh FSS. Proyek itu didasari oleh argumentasi bahwa sekolah dianggap sebagai lingkungan tempat anak-anak menghabiskan waktu paling banyak selain di rumah.
Dukungan juga diberikan mencakupi peralatan-peralatan olahraga. Selain itu FSS memberikan program tambahan bagi sekolah-sekolah yang menjadikan sepakbola sebagai olahraga pilihan di kelas pendidikan jasmani atau yang menyediakan kegiatan ekstrakulikuler khusus untuk sepakbola.
Akademi Kepelatihan Serbia
Pada Oktober 2002 didirikan Akademi Kepelatihan Serbia. Kala itu mereka masih bergabung dalam bendera negara Serbia-Montenegro. Akademi kepelatihan FSS inilah yang menjadi tulang punggung pengembangan sepakbola di Serbia. Melalui Akademi Kepelatihan inilah pendidikan pelatih sepakbola untuk semua kategori usia pemain sepakbola dilakukan.
Kepelatihan di FSS sepanjang sejarahnya telah mengalami beberapa transformasi. Seperti sudah disinggung tadi, Serbia sempat bergabung bersama Montenegro sebelum memisahkan diri pada 2006. Setelah berpisah dari Montenegro, FSS bisa lebih fokus mengembangkan sepakbola di Serbia.
Mereka mengeluarkan tiga lisensi pembinaan yakni "B", "A," dan "Pro". Setiap pemegang lisensi tersebut memungkinan untuk bekerja di dunia kepelatihan sepakbola dengan kategori tertentu: "B" untuk melatih pemain muda, "A" untuk melatih di level senior sepakbola amatir dan "Pro" untuk sepakbola profesional.
Jebolan lisensi B dan A kemudian mendapatkan pendidikan lanjutan dari 22 pelatih profesional yang berasal dari berbagai negara, menyesuaikan dengan program kerjasama FSS dengan federasi negara lain. Dari mulai instruktur dari Ceko, Italia, Spanyol, Rusia dan Bulgaria. Mereka secara berkala juga dipertemukan dengan pelatih-pelatih kaliber dunia yang sengaja didatangkan untuk meningkatkan kemampuan pelatih lokal, dari Marcello Lippi, Alberto Zacheroni, Walter Zenga, Roberto Mancini, serta ahli kebugaran seperti Valter Di Salvo.
Selain itu, Akademi Kepelatihan Serbia juga memberikan pelatihan tambahan dalam berbagai disiplin ilmu. Mereka secara berkala diundang untuk mengikuti kelas-kelas yang menawarkan pengetahuan dasar di bidang sosiologi olahraga, paedagogi (ilmu pendidikan), psikologi, hingga ilmu-ilmu sains seperti fisiologi, anatomi, kedokteran olahraga, hingga dasar-dasar ilmu komputer.
Hasilnya kini bisa dirasakan oleh Sinisa Mihajlovic yang baru ditunjuk melatih AC Milan setelah sukses mengantarkan Sampdoria menembus Liga Eropa musim depan.
Partizan Belgrade Sebagai Pencetak Pemain Berkualitas
Red Star Belgrade mungkin memang kesebelasan tersukses dari segi prestasi/trofi di era Yugoslavia. Namun Partizan juga merupakan contoh terbaik dalam hal mencetak pemain profesional berkualitas.
Pengembangan pemain muda di Serbia banyak mengambil inspirasi dari model pembinaan yang dipraktikkan oleh FK Partizan Youth School, akademi pesepakbola muda Partizan Belgrade. Selain itu Partizan Youh School juga dikenal jago dalam membentuk kepribadian serta meningkatkan semangat olahraga dan loyalitas. Sekitar 400 anak-anak diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia yakni U-17, U-16, U-15 dan U-14, sedangkan U-13 dan U-12 bersaing di tingkat Asosiasi Sepakbola Kota Belgrade.
Dari sistem pendidikan sepakbola seperti itulah lahir pemain-pemain seperti Matija Nastasic (Schalke 04), Stevan Jovetic (Manchester City, Adem Ljajic (AS Roma) Stefan Savic (Fiorentina), Milos Jojic (Borussia Dortmund) dan masih banyak lagi, termasuk Aleksandar Mitrovic yang kini tengah naik daun dan menjadi incaran kesebelasan-kesebelasan top Eropa.
Bahkan semua pencetak gol Serbia U-20 ke gawang Mali di semifinal Piala Dunia U-20 pun merupakan pemain akademi Partizan yakni Zivkovic dan Saponjik. Itu belum menghitung pemain-pemain binaan Partizan lain seperti Miladin Stevanovic yang menjadi bek tengah utama. Bersama OFK Beogard, Partizan memang menjadi penyumbang terbanyak dalam skuat Serbia U-20 di Piala Dunia U-20 kali ini.
Partizan pada dasarnya mencetak pemain kemudian menjualnya untuk memenuhi kebutuhan ekonomi kesebelasan. Apalagi kepergian pemain dianggap lumrah karena sejak usia dini mereka terus menerus bermain untuk akademi dalam negeri.
"Mereka telah berada di klub selama bertahun-tahun. Langkah pertama mereka berada di akademi Partizan dan kemudian jika mereka pergi, itu semua kembali kepada pelatih," jelas Vukotic.
Organisasi pembentukan pemain muda di Serbia tergolong sudah sangat tertata. Sama seperti para ultras garis kerasnya yang mampu mengorganisir pergerakan anggotanya sampai mampu berdiplomasi dengan pihak pejabat kesebelasan.
Sepakbola Serbia tumbuh dengan lingkungan yang keras, para pemain Serbia U-20 bahkan lahir dalam situasi konflik yang berdarah. Mereka kemudian tumbuh dalam atmosfir sepakbola yang juga keras dan galak. Sejak muda mereka terbiasa berhadapan dengan para pendukung yang ganas, galak dan tanpa tedeng aling-aling dalam mendukung kesebelasan sendiri dan meneror kesebelasan lawan.
Inilah barangkali yang bisa menjelaskan kenapa Serbia bisa mencapai final Piala Dunia U-20.
===
*penulis biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @RandyNteng.
*Foto-foto: Getty Images.