Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Sejarah Tata Kelola Sepakbola Brasil yang Tidak Panjang

    Abimanyu Bimantoro - detikSport
    Jakarta -

    Sepakbola memberikan harapan besar kepada masyarakat Brasil yang banyak dilanda kemiskinan. Kesuksesan banyak pemain-pemain Brasil mengubah hidup mereka yang sulit di Brasil menjadi bergelimang harta setelah berkarier di sepakbola membuat banyak anak-anak Brasil bermimpi mengikuti jejak mereka.

    Namun sayangnya, tidak semua anak-anak brasil mampu mewujudkan impiannya. Sebab, sebagian besar kisah sukses pemain sepakbola Brasil berasal dari mereka yang berkarier di luar Brasil. Sedangkan sebagian besar pemain Brasil yang berkarier di negara mereka sendiri justru mengalami berbagai masalah, terutama dalam hal finansial.

    Tata kelola yang kurang baik membuat sebagian besar klub-klub Brasil mengalami masalah finansial. Hal ini tentu menjadi ironi tersendiri, mengingat Brasil adalah negeri sepakbola. Pemain sepakbola asal Brasil dikenal sebagai pemain dengan permainan atraktif yang bisa menghibur semua orang. Namun mengapa klub-klub yang berada di negara tersebut justru mengalami permasalahan untuk mencari pemasukan dalam menjalankan aktivitas mereka?

    Jika kita lihat ke belakang, meski sudah lama memainkan sepakbola, tata kelola sepakbola adalah hal yang baru bagi Brasil. Hingga memasuki tahun 90-an, ketika negara-negara Eropa sudah mulai mencari model tata kelola yang paling tepat terhadap sepakbola, Brasil masih belum memiliki apapun yang mengatur sepakbola mereka. Bagi mereka ketika itu, yang terpenting adalah bagaimana memenangkan pertandingan di lapangan. Tidak banyak yang memikirkan bagaimana mendapatkan keuntungan dari penyelenggaraan pertandingan.

    Mereka akhirnya baru memiliki aturan mengenai hal ini ketika tahun 1993. Ketika itu, salah satu mantan pemain nasional mereka, Zico, ditunjuk untuk menjabat menteri olahraga. Di situ Zico membuat sebuah aturan yang mulai mengarahkan tata kelola olahraga Brasil, termasuk sepakbola. Peraturan ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Zico Law’, dan menjadi model tata kelola olahraga pertama di Brasil.

    Secara garis besar, peraturan ini mulai mengajak klub-klub sepakbola di Brasil untuk mulai mengelola klub mereka sebagai sebuah usaha bisnis. Sebelumnya, klub-klub sepakbola Brasil memang hanya fokus pada prestasi. Hampir semua pemasukan yang mereka dapat, dialokasikan ke bidang-bidang yang bisa meningkatkan performa tim mereka seperti tenaga pelatih, tenaga medis, fasilitas latihan, dan yang lainnya.

    Dengan melakukan hal ini, klub-klub Brasil memang berhasil melahirkan pemain-pemain berkualitas dunia. Pemain-pemain tersebut kemudian bisa dijual ke klub-klub Eropa dengan harga yang tinggi. Dari penjualan pemain-pemain inilah mereka mendapatkan pemasukan utama untuk membiayai semua kegiatan mereka dalam satu musim.

    Namun ternyata, pemasukan yang mereka dapat dari hasil penjualan pemain tersebut, sebagian besar habis untuk membayar utang dan tunggakan gaji kepada para pemain. Dan jika masih tersisa, mereka kembali mengalokasikan dana tersebut untuk biaya membina pemain-pemain lainnya. Soalnya, sebagian besar klub Brasil memang tidak memiliki sumber pemasukan lain selain dari penjualan pemain.

    Zico melihat ada yang salah dengan model tata kelola seperti ini. Klub-klub Brasil yang terlalu bergantung pada pemasukan dari penjualan pemain akan sangat berisiko mengalami masalah finansial. Dan apa yang dikhawatirkan Zico sebenarnya sempat terjadi ketika Eropa sedang mengalami krisis di tahun 2000. Ketika itu, sulit bagi klub-klub Brasil untuk menjual para pemainnya ke klub-klub Eropa yang sedang kesulitan keuangan. Hasilnya, pemasukan yang mereka raih ketika itu pun menurun drastis.

    Karena itulah Zico Law memberikan arahan kepada klub-klub Brasil untuk lebih memperhatikan tata kelola bisnis mereka. Nama besar klub-klub Brasil seharusnya bisa dijadikan sebuah brand yang mampu mendatangkan banyak pemasukan. Dengan begitu, klub-klub Brasil tidak terlalu bergantung pada pemasukan dari penjualan pemain.

    Zico menyarankan agar klub-klub Brasil bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan agar mereka bekerja sama dan mengelola klub mereka. Namun, hasil dari penerapan Zico Law pun dianggap tidak terlalu berhasil. Belum adanya arahan yang jelas mengani hal ini membuat kerjasama yang terjalin antara klub sepakbola dan perusahaan berjalan kurang efektif. Satu-satunya klub Serie A Brasileiro yang dianggap berhasil menerapkan Zico Law adalah Palmeiras.

    Ketika itu, Palmeiras menjalin kerja sama dengan perusahaan asal Italia, Parmalat. Parmalat membantu Palmeiras dalam mengatur bisnis yang mereka lakukan, terutama bisnis di luar sepakbola. Mereka juga membantu untuk membuat sistem penggajian yang efektif terhadap semua staf dan pemain untuk membuat pengeluaran lebih efisien. Hasilnya, kerja sama yang berlangsung selama 8 tahun hingga Desember 2000 ini, menghasilkan keuntungan hingga $150 juta bagi Palmeiras.



    Palmeiras kemudian menjadi contoh bagi klub-klub lain untuk memperbaiki tata kelola mereka. Hanya saja, memang masih sulit bagi klub-klub lain untuk mengikuti jejak kesuksesan Palmeiras. Untuk itu, pemerintah Brasil mencoba memperbaiki peraturan yang mereka miliki.

    Kali itu legenda sepakbola Brasil lainnya, Pele, tengah menjabat sebagai Menteri Olahraga Brasil. Pele kemudian merancang satu kebijakan yang merevisi Zico Law. Kebijakan yang dibuat tahun 1998 ini kemudian dikenal sebagai Pele Law.

    Pada intinya, apa yang diarahkan pada Pele Law sejalan dengan Zico Law. Hanya saja, beberapa poin yang dianggap belum dijelaskan pada ZicoLaw dijelaskan secara lebih rinci pada Pele Law. Tidak berbeda dengan Zico Law, Pele Law pun mengarahkan klub-klub Brasil untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan.

    Yang membedakan adalah, selain mengarahkan untuk bekerja sama dengan perusahaan, Pele Law juga mengarahkan setiap klub untuk tidak bergantung kepada perusahaan. Setiap klub juga harus membangun struktur yang kuat dan profesional dalam diri mereka sendiri. Dengan begitu, setiap unit bisnis yang mereka bangun bersama perusahaan bisa menghasilkan keuntungan bagi klub.

    Salah satu klub yang berhasil dalam mengimplementasikan Pele Law adalah Clube Atletico Paranaense (Atletico-PR). Meski tidak berada di dua kota terbesar Brasil, Sao Paulo dan Rio de Janeiro, Atletico-PR berhasil menjalankan bisnisnya yang bahkan lebih sukses dari klub-klub yang berada di dua kota besar tersebut.

    Bersama dengan munculnya peraturan baru di Brasil, Atletico-PR bekerja sama dengan perusahaan konsultan, Delloitte Touche Tomatsu, untuk merancang struktur baru menuju klub yang lebih profesional. Mereka membuat satu visi jangka panjang yang memperbaiki tata kelola klub menjadi lebih efektif. Satu hal terpenting yang mereka lakukan adalah meningkatkan nilai jual brand mereka sebagai sebuah klub sepakbola.

    Langkah selanjutnya yang dilakukan Atletico-PR adalah membangun stadion dan pusat pelatihan baru yang lebih modern. Hal ini dinilai akan berguna untuk menarik lebih banyak pendukung mereka. Stadion Baixada milik mereka diubah menjadi stadion modern berkapasitas 32.000 penonton. Bahkan stadion ini kemudian menjadi standar stadion di Brasil yang mendapatkan lisensi dari FIFA. Mereka juga membangun pusat pelatihan modern dengan fasilitas yang sangat lengkap.



    Hasilnya, pemasukan Atletico-PR dari tahun 1998 hingga 2001 meningkat hingga 130% dari sebelumnya. Peningkatan ini menempatkan mereka menjadi klub dengan pemasukan tertinggi di Brasil ketika itu.

    Tidak hanya itu, perkembangan selanjutnya pun membuat mereka menjadi klub yang memiliki basis suporter terbesar di wilayah Parana State. Yang menjadi kelebihan mereka adalah lebih dari 50% suporter mereka berasal dari masyarakat kelas atas di Brasil. Hal ini membuat daya beli suporter Atletico-PR lebih tinggi ketimbang klub-klub Brasil lainnya. Produk-produk yang mereka keluarkan pun akhirnya lebih mudah dijangkau oleh suporter-suporter mereka.

    Pele Law pun dianggap masih belum sempurna. Dalam perkembangannya Pele Law beberapa kali mengalami perubahan untuk mendapatkan sistem tata kelola yang lebih baik. Dan hingga kini, Brasil pun masih terus mencoba memperbaiki tata kelola mereka, agar bisa mampu mengembangkan bisnis sepakbola di negara mereka, seperti yang terjadi di negara-negara Eropa.

    Hanya saja, memang banyak hambatan yang harus dihadapi Brasil. Dari mulai permasalahan politik, kondisi masyarakat, dan beberapa faktor di luar sepakbola yang sedikit banyak menghambat perkembangan industri sepakbola di Brasil.

    Namun setidaknya, meski masih terbilang baru, Brasil sudah mulai mencoba untuk membangun industri sepakbola mereka. Mereka sadar bahwa sepakbola bukan sekadar menghasilkan banyak pemain berkualitas dan memenangkan kompetisi. Namun membangun tata kelola yang baik untuk bisa menjalankan semua operasional dengan lancar tentu juga penting untuk diperhatikan.

    Seperti yang dikatakan oleh Simon Kuper dan Stefan Szimanski dalam buku Soccernomics, “bukan menghasilkan prestasi untuk mendatangkan keuntungan yang banyak, namun cari dulu pemasukan yang besar, prestasi akan datang kemudian.”

    ====

    * Penulis adalah anggota redaks @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @aabimanyuu

    (krs/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game