Aktor-aktor di Balik Transfer Premier League

Bursa transfer selalu menjadi saat yang menyenangkan sekaligus menegangkan bagi para pendukung kesebelasan sepakbola. Mereka yang mengaku cinta namun tidak memiliki kuasa akan terlibat dalam banyak perbincangan, dalam banyak pertukaran pendapat mengenai siapa yang seharusnya datang dan pergi.
Mereka pula yang akan mengutuk manajer tim untuk setiap kepergian pemain kesayangan atau kedatangan pemain yang tidak dibutuhkan. Mereka seringkali salah, karena tidak semua urusan transfer tim Premier League adalah tanggung jawab manajer
The Guardian, dalam sebuah artikel berisi kumpulan keterangan dari penulis-penulis mereka, menjelaskan secara singkat siapa saja yang bertanggung jawab atas transfer pemain di tim-tim Premier League 2015/16, serta informasi yang disajikan, walau singkat, ternyata mencerahkan dan mencengangkan.
Memuja dan mengutuk Arsene Wenger untuk keberhasilan dan kegagalan transfer tidaklah salah. Namun, jangan lakukan itu kepada Jose Mourinho. Juga, jika Anda pendukung Liverpool, sebaiknya Anda banyak-banyak berdoa untuk peningkatan kualitas pengambilan keputusan The Reds di bursa transfer kali ini dan bursa transfer berikutnya.
The Special One yang Bukan Mourinho
Eva Carneiro bukan satu-satunya super woman di Chelsea dan Jose Mourinho – The Special One – bukanlah sosok istimewa. Untuk urusan transfer pemain, ada yang lebih berkuasa dari Mourinho, seorang perempuan berkebangsaan Kanada yang lahir di Rusia, Marina Granovskaia.
Adalah Mourinho, memang, bersama dengan technical director Michael Emenalo, yang menentukan posisi mana yang harus diperkuat. Kecenderungan transfer Chelsea adalah mendatangkan pemain untuk saat ini, di posisi yang paling perlu diperkuat saat ini juga. Chelsea memiliki jaringan pemandu bakat yang tersebar di banyak negara, namun Mourinho dan Emenalo tetap memegang kuasa dalam menentukan kebutuhan tim.
Menurut Dominic Filfield, Mourinho dan Emenalo akan menentukan posisi yang perlu diperkuat di tim utama dan mengidentifikasi target-target potensial, kemudian bekerja sama dengan satu sama lain untuk menyusun sebuah daftar berisi nama-nama yang akan dibawa ke tingkat yang lebih tinggi. Namun setelah mengajukan daftar nama, ke tingkat yang lebih tinggi, Mourinho dan Emenalo hanya bisa berdoa untuk yang terbaik.
Pada akhirnya adalah Roman Abramovich yang akan menentukan pemain mana yang boleh dan tidak boleh bergabung dengan kesebelasannya. Sang pemiliklah yang memegang kuasa untuk menentukan pemain mana yang boleh diusahakan.
Bagaimanapun, tak selalu Mourinho dan Emenalo dapat berbicara langsung dengan Abramovich. Seringkali, komunikasi ketiganya terjadi lewat Marina Granovskaia.
Filfield menyebut Granovskaia sebagai “sosok yang pengaruhnya di Stamford Bridge semakin besar” dan pada dasarnya, adalah Granovskaia yang bertanggung jawab atas semua negosiasi kontak dalam proses keluar masuk pemain, serta negosiasi dan negosiasi ulang kontrak pemain dan pihak manajemen. Tidak heran jika kemudian The Telegraph memberi julukan The Iron Lady atau "Sang Perempuan Besi" kepada Granovskaia.
Granovskaia tidak ragu melakukan apa saja, termasuk membuat Falcao tidak nyaman dengan besaran gaji yang diterimanya, untuk menjaga keseimbangan neraca keuangan Chelsea, sebagaimana dikisahkan oleh Jason Burt dalam artikel berjudul Chelsea's Iron Lady Marina Granovskaia lays down law on transfers. Peran penting Granovskaia tergambar dari fakta bahwa nyaris semua kesepakatan dengan tim saingan dan agen pemain dapat tercapai berkat Granovskaia, yang sudah menjadi kepercayaan Abramovich jauh sebelum sang taipan Rusia menjadi pemilik Chelsea.
Dalam artikel lainnya untuk Telegraph yang berjudul Marina Granovskaia: Chelsea's fixer and the most powerful woman in world football, Jason Burt menungkap bahwa salah satu eks manajer Chelsea yang tidak ingin disebutkan namanya menyebut Granovskaia sebagai bagian terpenting dari “The Gang”: kelompok penasihat terdekat pilihan Abramovich yang berisi Bobby Campbell (eks manajer Chelsea 1988-1991), pemandu bakat Piet de Visser, dan agen pemain Vlado Lemic. Tidak seperti ketiga nama tersebut, Granovskaia tidak memiliki pengalaman praktik bekerja di dunia sepakbola sebelum pindah ke London pada 2003 karena Abramovich mengakuisisi Chelsea. Walau demikian, Granovskaia tetap menjadi penasihat senior paling dipercaya oleh Abramovich.
Beda Kewenangan Van Gaal, Pellegrini, dan Wenger
Jika ada pemain Arsenal atau Manchester United yang tampil buruk dan mengecewakan sepanjang musim, jika para pendukung kecewa karena melihat pemain kesayangan mereka pergi ke kesebelasan saingan (atau kemana pun), tak sulit untuk mencari sosok yang pantas disalahkan selain sang pemain sendiri: Arsene Wenger dan Louis van Gaal. Dengan caranya masing-masing, kedua manajer ini memiliki kewenangan penuh dalam menentukan (setidaknya) keluar masuknya pemain.
Ed Woodward, executive vice-chairman Manchester United, menegaskan bahwa semua pemain baru United di era Van Gaal adalah pilihan sang meneer. Ia menentukan pilihan dan Woodward yang mengurus negosiasinya. Dalam beberapa kasus, bagaimanapun, Van Gaal bisa saja turun sendiri ke lapangan. Memphis Depay bisa saja bergabung dengan Liverpool atau Paris Saint-Germain, menurut Jamie Jackson dari Guardian, jika bukan Van Gaal sendiri yang turun tangan mengurus negosiasi.
Seperti Van Gaal di MU, begitu pula Manuel Pellegrini bersama Manchester City. Pellegrini menentukan pemain-pemain yang ia inginkan dan Txiki Begiristain, sang sporting director, melakukan negosiasi dan menyelesaikan segala urusan transfer yang diperlukan. Walau demikian, bisa saja Pellegrini mendapat pemain yang sebenarnya tidak ia minta karena ada lagi sosok lain yang memiliki pengaruh: chief executive Ferran Soriano.
Sementara itu di Arsenal, Arsene Wenger memiliki kewenangan penuh. Bagaimana tidak, menu makanan yang dimasak para pasangan pemain di kediaman masing-masing saja Wenger yang menentukan. Ia memang bukan arsitek kepala dalam pembangunan Emirates Stadium, namun stadion megah yang kini berfungsi sebagai mesin uang Arsenal tersebut adalah buah pikiran Wenger – Bacalah Arsenal: The Making of a Modern Superclub dan Anda akan tahu bahwa pengaruh Wenger sampai kepada detail-detail kecil yang banyak diabaikan manajer lain. Karenanya tidak mengherankan jika Le Professeur pula yang sepenuhnya menentukan transfer masuk dan keluar di Arsenal.
Menurut informasi yang didapat dari David Hytner, dewan direksi Arsenal telah membentuk sebuah sistem pendukung termasuk menggunakan jasa StatDNA, perusahaan penyedia data dan analisis sepakbola. Namun Wenger selalu lebih percaya kepada penilaiannya sendiri dan penilaian tim pemandu bakatnya dalam menilai pemain-pemain incaran. Sebagaimana kebanyakan kesebelasan Premier League, proses negosiasi transfer Arsenal juga tidak ditangani oleh Wenger sendiri. Ada seorang negosiator yang bertanggung jawab untuk hal ini. Dick Law namanya. Namun bukan berarti Wenger tidak turun ke lapangan untuk meyakinkan pemain incaran. Seringkali Wenger melakukan hal ini terutama, menurut keterangan yang terdapat dalam Arsenal: The Making of a Modern Superclub, sejak David Dein meninggalkan Arsenal. [Baca resensi buku tersebut: Antara Arsenal yang Sebenarnya dan Arsenal-nya Wenger]
Arsenal bahkan dapat mengalahkan Manchester United dalam perburuan Aaron Ramsey pada 2008 lalu karena Wenger sendiri yang datang menjemput Ramsey dan keluarganya di Wales dengan jet pribadi untuk berbincang sembari makan bersama. Situs resmi Manchester United sudah mengumumkan kesepakatan harga perihan transfer Ramsey dengan Cardiff City, klub Ramsey saat itu. Namun berita tersebut ternyata tidak diikuti berita resminya Ramsey menjadi pemain MU. Ramsey, sebagaimana diwartakan oleh The Independent dalam artikel berjudul Aaron Ramsey: ‘Wenger wanted me more than Ferguson’, terkesan oleh usaha Wenger untuk mendapatkannya.
Sedikit catatan, jika Anda penasaran mengenai blunder pemberitaan dalam situs resmi MU, berita yang berjudul Ramsey fee agreed tersebut masih dapat Anda lihat karena masih terpampang di situs resmi Red Devils. Dalam Artikel Mirror berjudul Alex Ferguson admits Arsenal's Aaron Ramsey is 'the one that got away' for Manchester United pun diwartakan bagaimana Sir Alex Ferguson mengakui kekalahannya dalam perburuan Ramsey.
Kekacauan Liverpool dan Tottenham
Liverpool dan Tottenham Hotspur sama-sama selalu gagal memenuhi ambisi juara mereka dalam beberapa tahun belakangan karena alasan yang sama: kekacauan dan inkompetensi dalam urusan transfer. Di Liverpool, kekacauan ini bernama The Transfer Committe, sedangkan di Tottenham namanya Daniel Levy.
“Kami memiliki analis kepala, kepala perekrutan, manajer tim utama, dan saya sendiri,” ujar managing director Liverpool Ian Ayre sebagaimana dikutip dari This is Anfield (Artikel The Liverpool FC Transfer Committee Explained).
“Semua orang ini melakukan proses yang hasil akhirnya sama dengan pekerjaan direktur sepakbola.”
The Transfer Committe ini, menurut Ayre, adalah kombinasi dari gaya lama pencarian bakat dan penilaian pemain dengan analisis statistikal dari para pemain di Eropa dan seluruh dunia.
“Dengan menggabungkan kedua proses ini, didapatkan pandangan yang lebih tajam mengenai siapa yang seharusnya dan siapa yang tidak seharusnya dibawa,” lanjut Ayre. “Yang kami yakini dan terus kami ikuti adalah bahwa dibutuhkan banyak orang dalam proses (transfer) ini.”
Tak perlu panjang lebar menilai hasil kerja mereka. Kini Fenway Sports Group selaku pemilik Liverpool sedang mempertimbangkan pembubaran Transfer Committe. Setidaknya, para pendukung Liverpool boleh merasa lebih beruntung dari para pendukung Tottenham Hotspur.
Di Tottenham, sumber masalahnya bukanlah kelompok elite yang inkompeten, namun lebih buruk lagi: chairman mereka sendiri, Daniel Levy. Hingga kini Levy masih mencari-cari struktur yang baik untuk kesebelasannya dan tampaknya masih belum juga menemukan struktur yang sempurna.
Levy mendatangkan Franco Baldini sebagai sporting director yang tugasnya, pada praktiknya, adalah kepala perekrutan pemain. Namun sejak Mauricio Pochettino ditunjuk sebagai manajer dan ia membawa serta Paul Mitchell dari Spouthampton sebagai kepala perekrutan, hak dan kewajiban Baldini dan Mitchell menjadi tidak jelas.
Apa pula yang dapat diharapkan oleh para pendukung Tottenham Hotspur dari seorang pemimpin yang tidak mampu memimpin? Keberhasilan transfer seperti apa yang didambakan para pendukung Liverpool dari komite inkompeten?
Siapa Bilang Tidak Ada Head Coach di Premier League?
Salah satu ciri khas Premier League adalah para head coach atau pelatih kepala yang mengurus segalanya sehingga status pelatih kepala tidak lagi cocok untuk mereka. Mereka adalah manajer. Mereka yang mengurus segalanya. Namun ternyata masih ada saja pembagian tugas gaya lama yang membuat para manajer, pada praktiknya, tetaplah pelatih kepala. Hal ini dapat ditemukan di dua tim yang saling membenci satu sama lain, Newcastle United dan Sunderland.
Statusnya boleh manajer, namun Steve McClaren secara efektif adalah pelatih kepala yang hanya berurusan dengan lapangan. McClaren hanya tahu melatih dan mempersiapkan para pemain Newcastle, serta menentukan susunan pemain, strategi, dan taktik pertandingan. Ia tidak mengurusi pencarian target transfer karena hal tersebut menjadi tanggung jawab Graham Carr, kepala pemandu bakat merangkap director of football. Proses negosiasi sendiri menjadi tugas dan tanggung jawab Lee Charnley, sang managing director.
Seperti McClaren, Dick Advocaat hanya tahu dan hanya mau tahu urusan lapangan saja. Sporting director Lee Congerton bekerja sendiri mencari dan mendatangkan pemain untuk Sunderland. Namun Congerton masih tetap harus berurusan dengan pihak lain. Congerton harus melaporkan pemain temuannya kepada chief executive Margaret Byrne dan Ellis Short, sang pemilik klub. Jika Short tidak menyetujui harga yang diajukan, tidak akan datang pemain baru ke Sunderland.
Dalam sistem seperti ini, adanya hubungan baik dan kesamaan pandangan antara manajer (status mereka tetap manajer, bagaimanapun) dan director-nya adalah sebuah keharusan. Hubungan Alan Pardew dan Graham Carr tidak begitu baik (Mirror, dalam artikel berjudul Newcastle want Joe Kinnear to end “horrible” power struggle between Alan Pardew and scout Graham Carr, bahkan sempat mengkaim bahwa Joe Kinnear didatangkan sebagai director of football pada 2013 untuk satu tujuan khusus: mengatasi hubungan tidak baik antara Pardew dan Carr), namun McClaren dan Carr jelas berbeda dengan Padrew dan Carr. Ada jaminan untuk Newcastle yang lebih harmonis saat ini. Seharmonis hubungan Advocaat dan Congerton di Sunderland, barangkali.
Hubungan antara Newcastle United dan Sunderland, bagaimanapun, akan tetap sama. Tak ada yang berubah di Tyne-Wear Derby.
Kotak Hitam, Ricky Martin, dan Hubungan Segitiga
Tidak adanya ketentuan mengenai siapa yang bertanggung jawab atas dan seperti apa pembagian tugas dalam tim mengenai transfer membuat setiap kesebelasan memiliki keunikan tersendiri. Seperti Southampton yang memiliki Black Box.
Seperti Black Box pesawat yang menyimpan data mengenai segala hal yang berhubungan dengan pesawat dan penerbangannya, kotak hitam Southampton menyimpan data yang dikumpulkan oleh para analis yang tergabung dalam departemen perekrutan kesebelasan tersebut.
Data-data yang terdapat dalam Black Box tersimpan bukan untuk kebutuhan masa kini, namun untuk masa yang akan datang. Jika seorang pemain di satu posisi pergi, mereka sudah memiliki daftar nama pengganti dan para pemain yang berada dalam daftar tersebut sudah diamati sejak lama.
Jika manajer Ronald Koeman dan executive director Les Reed menginginkan pemain baru, mereka tidak perlu menyebutkan nama pemain incaran. Mereka hanya perlu menyebutkan posisi dan karakteristik yang dicari. Departemen perekrutan akan menyuplai keduanya dengan daftar nama pemain yang cocok. Setelahnya barulah Reed melakukan negosiasi.
Berbeda dengan Southampton, Norwich City memiliki Ricky Martin dalam Football Executive Board mereka. Bukan Ricky Martin sang penyanyi, tentu saja. Namun ia tetap bagian penting dari Football Executive Board yang lahir dari minimnya pengetahuan Neil Adams, eks manajer Norwich, dalam manajemen kesebelasan.
Lahir dari ketidakmampuan Neil Adams adalah sebuah tim berisikan chief executive David McNally, technical director Ricky Martin, dan kepala perekrutan (posisi masih kosong). Negosiasi menjadi tugas McNally namun sejak Neil Adams pergi dan digantikan oleh Alex Neil, keputusan final ada di tangan manajer.
Watford tidak memiliki sistem seperti Southampton dan Norwich, namun mereka memiliki kisah hubungan segitiga yang tidak kalah menarik perhatian. Kepemilikan Watford yang berada di tangan Giampaolo Pozzo membuat kesebelasan promosi ini memiliki hubungan dengan Udinese di Italia dan Granada di Spanyol, dua kesebelasan lain milik Pozzo.
Karena hubungan ini pula urusan rekrutmen pemain Watford berlangsung di Udine di bawah pengawasan Andrea Carnevale. Menariknya, Watford seperti pihak yang dimanfaatkan dalam hubungan segitiga ini. Hanya Watford yang mengirim pemandu bakat ke Piala Eropa U-21. Padahal informasi yang didapat dari pengamatan lapangan ini nantinya akan menjadi milik Udinese dan Granada juga.
====
* Akun twitter penulis: @nurshiddiq dari @panditfootball