Scent of Guy Roux

Tantangan terbesar untuk menjadi seorang pelatih bukanlah tentang mendapatkan gelar juara, tetapi bagaimana mengurus tiga puluhan-an orang yang jelas usianya tak lagi kanak-kanak.
Dan selama 44 tahun, itulah yang dilakukan Guy Roux.
Guy Roux adalah keunikan di ranah sepakbola. Dulu, pada 1961, saat masih berusia 22 tahun, ia mengajukan lamaran sebagai pelatih ke satu-satunya kesebelasan yang ia bela sejak tahun 1952, AJ Auxerre. Seharusnya namanya melambung seketika karena ia menjadi pelatih termuda yang pernah ada.
22 tahun, memutuskan gantung sepatu dan menjadi pelatih. Seharusnya sejumlah media terbit dengan kepala berita demikian. Tapi apa boleh bikin, Roux muda masih kalah pamor dengan para pesohor dunia.
Pengangkatan presiden John F. Kennedy, Yuri Gagarin yang berhasil mendarat di bulan, serta Ernest Hemmingway yang memutuskan untuk menghabisi nyawanya sendiri jelas lebih menarik untuk diberitakan ketimbang pengangkatan Guy Roux sebagai pelatih Auxerre yang kala itu bisa diibaratkan sebagai kesebelasan level kecamatan.
Jean-Claude Hemel, mantan presiden Auxerre yang pada 1961 menjadi salah satu direktur Auxerre, menceritakan isi surat lamaran pekerjaan Guy Roux. Dalam surat lamarannya, ia menegaskan bersedia melakukan apapun untuk memberikan yang terbaik, termasuk jika sewaktu-waktu pihak manajemen memintanya menebang pohon supaya Auxerre bisa bertahan hidup. Gaji yang diinginkannya pun relatif murah, hanya 600 franc per bulan. Gaji dengan jumlah yang menyedihkan tersebut mau tak mau juga memaksanya mengambil jalan tengah. Ia bekerja sampingan sebagai jurnalis.
Salah satu hal yang menjadi daya tarik Guy Roux adalah kemampuannya untuk mengurus rumah tangga kesebelasan. Komitmennya untuk bekerja dengan gaji yang terbilang minim rasanya menjadi bukti kalau ia tak mengingkari janji yang dibuatnya sendiri dalam surat lamaran pekerjaannya. Di surat itu ia berkata bahwa ia berjanji akan tetap memelihara neraca perusahaan agar tetap seimbang. Pendeknya, ia berjanji, sebagai pelatih akan tetap mempertimbangkan kesehatan keuangan Auxerre.
Janji Roux bukan omong kosong ataupun pemanis surat lamaran pekerjaan belaka. Ia lagi-lagi membuktikannya. Salah satu cara yang digunakan untuk membantu menghemat keuangan dengan tetap mengusahakan semua kebutuhan tercukupi adalah dengan mengajak warga Auxerre ikut berpartisipasi terkait pemeliharaan klub.
Misalnya, penduduk Auxerre yang memiliki usaha peternakan dimintanya menyumbangkan kotoran ternak (terutama kambing) agar bisa digunakan untuk pemeliharaan (pemupukan) rumput stadion. Sementara itu, istri-istri para pemain dimintanya berpartisipasi. Rompi-rompi latihan yang digunakan para pemain adalah buatan para istri. Mereka menjahitnya sendiri agar klub bisa mengurangi pembelian perlengkapan pemain.
Guy Roux sendiri, walaupun menjabat sebagai pelatih, tak hanya sibuk di lapangan. Pada malam hari seusai latihan, ia akan melanjutkan pekerjaannya sebagai operator switchboard klub. Tujuannya jelas, agar klub tidak harus menambah biaya gaji untuk pos-pos pengeluaran yang sebenarnya belum perlu-perlu amat.
Bagaimana Guy roux menjaga para pemainnya pun terbilang unik. Guy Roux ibarat ayah yang sebenarnya selalu mengawasi anaknya 24 jam sehari secara diam-diam. Ia tahu kapan anak-anaknya berjingkat-jingkat keluar rumah untuk menghadiri acara minum-minum. Ia hafal pula gelagat anaknya yang berlagak pamit tidur padahal sebenarnya sedang bersiap-siap untuk menghadiri pesta ala pemuda.
Sebelum menjadi bagian dari skuat Marseille pada tahun 1990, Basile Boli mengawali karirnya bersama Auxerre sejak musim 1983. Menurut Guy Roux, pada dasarnya Boli bukanlah pemain bandel yang gemar membikin ulah di sana-sini. Menurutnya, Boli hanya sedikit liar.
Boli sering diam-diam meninggalkan asrama Auxerre pada malam hari. Ia memanjat pagar akademi dan berkeliling kota dengan mengendarai skuter (di Prancis dikenal sebagai moped). Ia tak pergi ke tempat-tempat hiburan malam.
Namun kecenderungan Boli yang seperti ini tentunya meresahkan Guy Roux. Bagaimana jika Boli cedera karena kurang berhati-hati memanjat pagar? Bagaimana pula jika ia mengalami kecelakaan karena memacu skuternya dengan kencang?
Tak mau ambil risiko, Guy Roux punya langkah cerdik. Entah bagaimana kronologisnya, namun yang jelas pada suatu malam, Boli menemukan skuternya dirantai pada pagar. Hanya Roux yang memegang kuncinya. Sejak saat itu, tak ada lagi cerita tentang Boli yang keluyuran diam-diam. Lucunya, atas tindakannya ini Guy Roux sampai menerima surat dari Afrika yang isinya semacam petisi bernama Kampanye Pembebasan Skuter Basile.
Dalam sebuah wawancara Eric Cantona pernah menjelaskan kalau buat para pemain muda, Guy Roux itu ibarat ayah. Ayah yang baik, sangat memperhatikan anak-anaknya, tetapi terkadang caranya membikin sebal. Untuk diketahui, sama seperti Boli, Cantona juga mengawali karirnya pada tahun 1983 di Auxerre di bawah kepelatihan Guy Roux.
Tak heran Cantona terkadang juga bisa menganggap Guy Roux menyebalkan. Bagaimana tidak, Guy Roux selalu bisa mengetahui jika anak asuhnya meninggalkan kota Auxerre. Konon, ia meminta bantuan penjaga gerbang tol untuk mengamati dan melaporkan jika ada anak asuhnya yang keluar kota. Begitu pun sebelum sesi latihan. Sekitar pukul 7 pagi, Guy Roux sering memastikan apakah anak asuhnya tadi keluyuran sampai pagi atau tidak. Caranya sederhana, ia cukup memegang lampu depan dan kap mesin mobil para pemain. Ya, jangan macam-macam dengan Guy Roux.
Bagi Cantona tak ada pelatih yang antusiasmenya terhadap pemain muda melebihi Guy Roux. Dialah yang mengajak Cantona untuk mengikuti semacam camp seleksi pemain Auxerre pertama kali. Menurut Cantona, suasana di camp tersebut lebih mirip dengan liburan musim panas dibandingkan kegiatan seleksi pemain. Roux dan timnya menyediakan semacam tempat mandi berukuran besar yang entah bagaimana caranya menjadi tempat favorit pemuda-pemuda itu untuk bergurau.
Agaknya dari sekian banyak pengalaman sebagai pemuda perantauan yang mengupayakan mimpi dan ambisi sebagai pesepakbola, ada satu kejadian yang tak akan mungkin dilupakan oleh Cantona. Waktu itu sekitar bulan Maret tahun 1985, Cantona berlaga bersama Auxerre menghadapi Cournon-Le Cendre, sebuah kesebelasan yang berasal dari kota pertambangan bernama Auvergne.
Cantona sejak masa mudanya sudah tampil sebagai pemain dengan kemampuan mumpuni. Ia selalu diwaspadai pemain lawan dan sering menjadi sasaran tekel pemain bertahan. Berkali-kali ditekel keras, berkali-kali pula Cantona menahan diri (semua orang paham bagaimana tempramennya Cantona). Namun kesabaran memang ada batasnya. Tekel terakhir yang ia terima membuatnya berang dan bereaksi. Entah apa yang dilakukannya, yang jelas pemain yang menekelnya tersebut tidak dapat melanjutkan pertandingan. Beruntung wasit tidak melihat apa yang Cantona lakukan padanya sehingga ia tak diusir keluar lapangan.
Skuat Cournon tak terima. Sepuluh orang pemain yang tersisa menunggu Cantona (sepertinya) di depan pintu ruang ganti Auxerre. Begitu melihat Cantona, mereka langsung menyerbunya. Cantona tak cuma pria temperamen, ia juga pria ajaib. Sepuluh pemain itu dihajarnya. Suasana ruang ganti mirip tawuran.
Beruntung Roux datang. Ia yang menghentikan perkelahian tersebut. Lucunya, kesepuluh pemain dan Cantona diperintahkannya untuk masuk ke ruang ganti Auxerre. Di sana, mereka bersebelas didudukkan bersama-sama untuk diobati. Kata Cantona, perintah konyol Guy Roux itu menjadikan suasana ruang ganti kembali tenang seperti tak ada kejadian apapun sebelumnya, tapi tentu saja mereka bersebelas duduk dengan rikuh. Ah, that awkward moment.
Cantona, pada kenyataannya memang beringas, tapi Guy Roux dengan segala kekonyolannya menjadi orang yang mampu menjinakkannya. Bahkan dalam sebuah wawancara, Roux pernah mengatakan kalau Legion d'honneur (semacam lencana kehormatan tertinggi dari pemerintahan Perancis) sebaiknya diberikan kepadanya karena berhasil mendidik Cantona.
Auxerre ibarat kesebelasan level kecamatan yang pada akhirnya menjadi juara Prancis. Lewat tangan dingin pelatih yang terkenal dengan kupluk dan track-suit andalannya ini, Auxerre berhasil merebut tempat di level nasional, yang diawali dengan keberhasilan menjuarai Ligue 2 pada musim 1979-1980 yang tentu saja menjadikan mereka berhak menerima promosi ke Ligue 1 pada musim berikutnya.
Setelah itu, Roux benar-benar bisa mengubah klub itu menjadi tim yang disegani di seantero Prancis. Gelar Piala Prancis berhasil ditorehkan pada tahun 1994, 1996, 2003 dan 2005. Klimaksnya adalah ketika Auxerre berhasil menjuarai Ligue 1 di musim 1996-1997. Dan konon, prestasi itu dicapai dengan kondisi finansial dan materi pemain yang pas-pasan.
Jika ditanya apa yang seharusnya dilakukan oleh para pelatih dalam mendidik anak-anak asuhnya, Roux akan menjawabnya dengan dua hal: menjadi contoh dan mencintai para pemain. Roux, selama masa kepemimpinannya berpinsip yang tak bisa ditawar yaitu ia harus berhasil menjadi contoh buat para pemainnya. Jika pelatih mengharuskan mereka untuk disiplin, maka pelatih pun harus menunjukkan bagaimana standar kedisplinan itu sendiri.
Sebagai contoh, kata Roux, karena seluruh pemain harus tiba di lapangan pukul 9 pagi, maka ia harus sudah siap di lapangan sejak pukul 8.30 pagi. Sekali lagi, sudah siap, bukan sekadar sudah datang.
Dan soal mencintai para pemain, Roux juga meyakininya sebagai keharusan yang tak bisa digangggu gugat. Menurutnya, para pemain selalu tahu apakah mereka dicintai para pelatihnya atau sekadar dijadikan mesin penyabet gelar dan pengeruk uang.
Roux yang sejak tahun 2005 memutuskan untuk pensiun melatih Auxerre (ia sempat melatih klub Racing Club de Lens pada tahun 2007, tapi di tengah musim mengundurkan diri dan digantikan oleh Jean Pierre Papin) adalah manusia dengan jalan hidup yang aneh. Keputusan yang diambilnya sejak muda barangkali bukan keputusan yang populer kala itu. Bukan cuma menyoal keputusan untuk melatih klub tanpa nama seperti Auxerre, tetapi juga keputusannya menolak tawaran sebagai pelatih tim nasional Prancis pasca tahun 1993 dengan alasan: ada banyak pemain muda di Auxerre yang harus ia urus dan rawat.
Bulan Juni lalu, Guy Roux dikabarkan harus dilarikan ke rumah sakit untuk menerima perawatan instensif. Kabarnya serangan jantung membuatnya harus ditopang alat pacu jantung. Sebelumnya, sekitar tahun 2001 ia juga harus menjalani operasi by-pass akibat permasalahan pada jantungnya. Setelah segala “keperkasaan” masa mudanya dulu, rasanya kabar-kabar seperti ini menjadikan Roux tak ubahnya seorang yang benar-benar mengalami apa rasanya menjadi tua, menjadi renta.
Bagi sebagian besar orang, menjadi tua adalah ketakutan yang teramat sangat. Masa tua semacam panggung yang mempertontonkan seseorang yang sedang belajar mengakrabi kehilangan. Ia kehilangan kebugaran, kehilangan ingatan satu demi satu, kehilangan teman, kehilangan pekerjaan, bahkan mungkin kehilangan kesenangan. Hidupnya cuma buat mengaduh dan berkalang sepi.
Lihatlah bagaimana dunia menggambarkan betapa mengerikannya menjadi tua. Letkol Frank Slade dalam film Scent of a Woman digambarkan sebagai seorang yang begitu meyakini kalau masa tua tak bersahabat dengannya, sampai-sampai membuatnya ingin bunuh diri di hadapan seorang pemuda usia sekolah menengah yang menjadi pelayannya dalam beberapa hari. Tapi anak muda yang menjadi pelayannya itu pula yang akhirnya menyelamatkan Frank Slade. Interaksinya dengan anak muda itulah yang akhirnya mendorong Frank Slade mengurungkan niatnya mengakhiri masa tua di tengah kebutaan dengan cara bunuh diri. Di akhir film, Frank Slade terlihat mendatangi salah satu cucunya yang sedang bermain.
Kita tidak tahu pasti akan seperti apa akhir perjalanan Guy Roux atau apa saja yang diterimanya dalam masa tuanya. Namun saya pikir, segala pilihan tidak wajar dan tidak populer yang diambil Guy Roux di masa muda akan membuat masa tuanya tidak menjadi terlalu menakutkan. Karena, semengerikan apapun kisah tentang masa tua, di dalamnya akan tetap ada cerita-cerita tentang Eric Basile Boli, Djibril Cisse hingga Eric Cantona yang bisa ia tundukkan dengan senyuman yang hangat.
Seperti Frank Slade yang toh akhirnya bisa bercengkerama dengan cucunya.
=====
* Akun twitter penulis: @marinisaragih dari @panditfootball