Menyaksikan Fantasista di GBK

Meski benar-benar bertajuk laga hiburan, rasanya laga ini tak bisa dilewatkan begitu saja. Alasannya, salah satunya, pada laga ini kita berkesempatan menyaksikan sosok fantasista secara langsung, dengan mata kepala kita sendiri, dalam diri sang kapten sekaligus pangeran Roma, Francesco Totti.
Totti bisa dibilang merupakan satu-satunya fantasista yang bisa beradaptasi dengan sepakbola yang terus berkembang ini. Karena di tempat lain, satu per satu fantasista berguguran dari level tertinggi setelah tak sanggup lagi bersaing di Eropa. Tak seperti Totti yang memasuki musim ke-24 nya bersama Roma.
Memahami Fantasista
Mungkin dari kita banyak yang belum paham benar apa itu fantasista. Banyak juga yang salah mendefinisikan arketipe yang sempat populer belasan bahkan puluhan tahun lalu. Sepakbola yang terus berkembang memang membuat kabur dan keliru tentang arketipe ini.
Berbicara fantasista, saya teringat tentang sebuah komik Jepang berjudul Fantasista. Dalam komik tersebut, pelatih timnas Jepang dalam komik tersebut mengatakan bahwa sebuah kesebelasan tidak membutuhkan dua orang fantasista (di mana akhirnya ia mencoret seorang pemain dengan kemampuan hebat untuk mengandalkan satu fantasista).
Ini artinya, fantasista menggambarkan bahwa seorang pemain yang menjadi pusat permainan tim. Pemain fantasista biasanya menempati pos gelandang serang. Pemain-pemain ini adalah pemain yang sering juga disebut sebagai gelandang serang klasik. Dan seolah menjadi tradisi, para pemain ini selalu menggunakan nomor punggung 10.
Bagi saya, secara teori fantasista bisa disebut sebagai seorang pemain berposisi gelandang serang yang memiliki skill individu di atas rata-rata dan menjadi pusat permainan sebuah kesebelasan. Ia adalah pemain yang mengatur tempo atau ritme permainan. Kemenangan sebuah kesebelasan bisa dibilang akan ditentukan oleh pemain ini.
Silahkan koreksi jika penafsiran saya tentang fantasista ini kurang tepat atau mungkin salah. Kadang untuk menjelaskan apa itu fantasista, saya lebih ingin mengatakan: tuh, lihat saja gimana mainnya Aimar, Totti, Rui Costa, Zidane, atau Riquelme.
Ya, para pemain di atas yang saya sebutkan tadi merupakan sedikit contoh fantasista bagi kesebelasan yang pernah mereka bela. Bagi saya yang lahir di awal 90-an, atau siapapun yang lahir sebelum saya, tentu paham benar mengapa mereka disebut sebagai fantasista.
Tapi di era sekarang ini, semakin berkembangnya strategi sepakbola telah melahirkan banyak sekali istilah-istilah baru. Dan istilah trequartista merupakan salah satu penyebab kaburnya pengertian sebagian orang terhadap fantasista.
Trequartista sendiri merujuk pada peran yang dimainkan oleh seorang pemain yang bermain di area sepertiga akhir lawan dan rajin melakukan penetrasi ke kotak penalti. Secara harafiah "trequartista" berarti “sepertiga akhir lapangan”. Pemain ini bisa ditempatkan sebagai gelandang serang ataupun penyerang.
Yang perlu digaris bawahi dalam pengertian di atas adalah bahwa trequartista merupakan peran seorang pemain. Sementara fantasista, seperti yang sudah disinggung pada awal tulisan, merupakan arketipe, atau model gaya bermain. (silahkan baca kembali tulisan kami, Tiga Menguak Taktik: Posisi, Peran, dan Arketipe)
Untuk lebih mengenali lebih jauh perbedaan antara trequartista dan fantasista, mari kita tengok revolusi seorang Totti bersama AS Roma. Saat era fantasista masih berjaya, Totti yang menjadi jantung permainan Roma ditempatkan di belakang dua penyerang Roma saat itu, Batistuta-Delvecchio atau Batistuta-Montella. Namun saat era fantasista berakhir, Luciano Spaletti yang menjadi pelatih Roma pada 2005 hingga 2009, menginstruksikan Totti bermain sebagai trequartista, ditempatkan sebagai penyerang tunggal atau saat menggunakan formasi 4-6-0 (yang kemudian melahirkan peran false nine).
Ya, jika trequartista bisa ditempatkan sebagai penyerang, pemain yang dilabeli fantasista biasanya menempati pos gelandang serang. Sebut saja Rui Costa yang menjadi penyuplai bola bagi tandem Shevchenko-Inzaghi, Zidane yang ditempatkan di belakang Del Piero-Trezegut, atau Aimar yang menjadi pelayan Juan Sanchez dan John Carew.
Jika menilik tipikal permainan Rui Costa, Zidane, Aimar, dan Totti, para pemain ini biasanya hanya bermain di tiga perempat lapangan, jarang melakukan penetrasi hingga ke kotak penalti. Areanya pun hanya di depan kotak penalti, benar-benar di depan kotak penalti tak sampai bergerak atau berlari ke sayap. Ini jelas-jelas berbeda dengan trequartista.
Tak Ada Lagi Fantasista, Benarkah?
Dengan mulai banyak pelatih yang menggunakan formasi penyerang tunggal, para fantasista atau gelandang serang bertipikal seperti yang sudah disebutkan di atas, dituntut untuk lebih sering melakukan penetrasi ke kotak penalti. Semakin bervariasinya peran penyerang tunggal pun membuat para gelandang serang fantasista ini kesulitan untuk beradaptasi.
Inilah yang membuat banyak fantasista kesulitan beradaptasi dengan skema-skema modern saat ini. Para gelandang serang yang sebelumnya hanya bertugas mengoper, menendang jarak jauh, mengeksekusi servis bola mati, dan area tengah depan kotak penalti menjadi area kekuasaannya sehingga para pemain lambat pun bisa menjadi andalan, kini dituntut untuk bisa berlari dengan cepat, bergerak ke kedua sisi, ikut melakukan trackback, dan masih banyak lagi.
Gelandang serang pada era sekarang memang jauh lebih kompleks. Eden Hazard, Philippe Coutinho, James Rodriguez, Mario Goetze, beberapa contoh gelandang serang top saat ini, tak ada yang permainannya mirip Aimar, Riquelme dan sejawatnya. Bahkan Manchester United sampai harus menjadikan Wayne Rooney, yang merupakan seorang penyerang, sebagai gelandang serang untuk memaksimalkan taktiknya.
Sekarang ini telah memasuki eranya pemain-pemain inverted winger menjadi andalan di kebanyakan kesebelasan. Dari sisi lapangan, para pemain berskill tinggi menggiring bola ke tengah atau ke kotak penalti lalu melepaskan tembakan yang kemudian menjadi gol.
Kesebelasan Italia saat ini, yang sebelumnya memiliki banyak fantasista, lebih memperebutkan pemain sayap, sebut saja Mohamed Salah atau Juan Cuadrado, ketimbang pemain gelandang serang klasik. Pemain-pemain sayap yang memiliki usia muda, kini dihargai lebih mahal: sebut saja Memphis Depay atau Raheem Sterling.
Belum lagi pemain-pemain kandidat peraih Ballon d’Or setiap tahunnya selalu dihuni oleh pemain yang gemar menyisir area sayap sebelum menusuk ke kotak penalti untuk menciptakan gol seperti Franck Ribery, Arjen Robben, dan tentu saja Lionel Messi-Cristiano Ronaldo.
Di Indonesia pun demikian. Para pemain sayap berkualitas bermunculan dari mulai Zulham Zamrun, Ferdinan Sinaga, Samsul Arif hingga Bayu Gatra. Sementara ketika Firman Utina semakin dimakan usia, tim nasional Indonesia kesulitan mencari suksesornya.
Tapi untungnya Indonesia Super League sempat menyajikan sosok fantasista lewat Gustavo Lopez, entah itu saat membela Persela Lamongan ataupun Arema Cronus. Sebelum Lopez, Alejandro Tobar dan Lorenzo Cabanas mungkin sedikit contoh lain pemain asing berposisi gelandang serang klasik yang pernah merumput di Indonesia.
Terdapat jeda yang sangat lama dari era Cabanas menuju Lopez. Para pemain asing yang didatangkan kesebelasan Indonesia pada jeda tersebut lebih banyak pemain yang berposisi penyerang atau bek tengah.
Maka tak mengherankan jika karir gelandang serang dengan gaya permainan a la fantasista tak bisa lagi bersaing di level tertinggi. Ronaldinho, Kaka, Riquelme, dan Aimar adalah sedikit contoh fantasista yang tersingkir dari Eropa meski sebenarnya kemampuan mengolah bola mereka masih di atas rata-rata.
Umur mereka yang sudah tak muda lagi mungkin bisa menjadi memunculkan perdebatan. Tapi dengan tak ada laginya gelandang serang dengan gaya bermain seperti mereka, ini menjadi pertanda bahwa gelandang serang fantasista atau gelandang serang no.10 klasik memang sudah benar-benar berakhir.
Menyaksikan Fantastista di GBK
Tapi Totti merupakan pengecualian. Saat Ronaldinho dan Kaka harus tersingkir dari Eropa, saat Riquelme dan Aimar memutuskan untuk pensiun, Totti masih menjadi andalan Roma hingga saat ini. Ia adalah fantasista, mungkin satu-satunya, yang bisa beradaptasi dengan semakin berkembangnya taktik di sepakbola.
Untuk diketahui, kontrak Totti bersama Roma akan habis pada pertengahan 2016, pada akhir musim 2015/2016. Karenanya, menyaksikan AS Roma di SUGBK nanti bukan hanya untuk para fans AS Roma semata, tapi menyakskan pemain berusia 39 tahun tersebut secara langsung ini akan menjadi kesempatan terakhir bagi kita untuk menyaksikan sosok fantasista secara langsung di mana arketipe ini kian tergerus oleh sepakbola yang terus berkembang.
Totti adalah wakil dari keanggunan Italia yang masih bertahan, salah satu representasi imajinasi dari lapangan sepakbola.
Mungkin anda bukan Romanisti. Tapi jika memang menyukai skill, keterampilan, imajinasi dan fantasi, bolehlah anda datang menyaksikan Totti untuk -- bagi publik Indonesia yang tak mungkin ke Italia-- yang terakhir kalinya dengan mata kepala sendiri.
===
Akun twitter penulis @ardynshufi dari @panditfootball
(mrp/mrp)