Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Bagaimana Akuntansi Mengklasifikasi dan Menghitung Pemain Sepakbola sebagai Aset?

    Marini Saragih - detikSport
    AFP AFP
    Jakarta - Di zaman modern seperti ini, orang-orang yang ada di dalam klub adalah orang-orang yang sadar akan nilai lebih sepakbola sebagai industri. Mereka sadar kalau setiap klub sepakbola (profesional) punya nilai jual.

    Apapun harus dilakukan untuk menjaga bahkan meningkatkan nilai tersebut. Target juara di setiap kompetisi pada akhirnya tidak hanya berbicara soal penambahan trofi dan gelar. Menjadi juara berarti berhasil meningkatkan nama besar klub, menarik sponsor, meningkatkan nilai hak siar dan menerima penghasilan tambahan berupa uang hadiah.

    Kesadaran akan kebutuhan berprestasi itulah yang mendorong setiap klub membentuk tim yang hebat dengan memiliki pemain-pemain dengan kualitas yang tak sembarangan. Semakin hebat pemain yang dimiliki, maka semakin besar pula kemungkinan menjadi juara di sejumlah kompetisi.

    Sepakbola menjadikan orang-orang yang ada di dalamnya bergelimang nama besar. Rasanya ada begitu banyak orang yang mengetahui siapa David Beckham, Cristiano Ronaldo ataupun Lionel Messi, walaupun tak ada jaminan kalau orang-orang tersebut memang mengikuti perkembangan sepakbola. Makanya, wajar jika sejumlah perusahaan kenamaan berebut untuk menjadi sponsor bagi klub-klub besar. Dengan menjadi sponsor, perusahaan bisa berharap ada banyak orang yang menyaksikan logo mereka terpampang di seragam pemain dan tentu saja berujung pada meningkatnya penjualan produk perusahaan.

    Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan kalau pemain sepakbola adalah aset yang paling berharga bagi klub, sehingga sudah seharusnya neraca menyediakan akun yang menerangkan keberadaan pesepakbola sebagai aset. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa pengakuan human capital sebagai aset masih menimbulkan perdebatan sampai saat ini.



    Menurut Financial Accounting Standards Boards (FSAB), aktiva adalah manfaat ekonomis masa datang yang cukup pasti yang diperoleh atau dikuasai bahkan dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu. Menurut The International Accounting Standard (IASC), aset dapat diartikan sebagai sumber daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan sebagai hasil dari kejadian masa lalu dan dari mana keuntungan masa depan yang diharapkan berasal untuk jalannya suatu perusahaan.

    Sementara jika mengacu Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), aset tak berwujud adalah aktiva nonmoneter yang bisa diidentifikasi, tidak memiliki wujud fisik secara nyata serta dimiliki guna menghasilkan maupun menyerahkan barang dan jasa, disewakan ataupun hanya bertujuan administrasi.

    Dalam praktiknya, PSAK memberikan kriteria tersendiri terkait pengakuan aktiva tak berwujud, yaitu: 1) Aktiva tersebut dapat diidentifikasi. Implikasinya, aktiva tersebut memiliki manfaat ekonomis yang dapat dijual, disewakan atau dipertukarkan secara terpisah. 2) Perusahaan memiliki kendali atas aktiva tersebut 3) Di masa mendatang, perusahaan akan memperoleh manfaat atas kepemilikan aktiva tersebut 4) Harga perolehan aktiva tak berwujud dapat dihitung secara andal.

    Walaupun pada awalnya PSAK sebagai pedoman dalam melalukan praktik akuntansi di Indonesia masih belum bisa memantapkan pengakuan human capital, namun beruntung karena sejak tahun 2012 penerapan PSAK di Indonesia mulai berkiblat pada penerapan International Financial Accounting Standards (IFRS). IFRS sebagai standar akuntansi yang dikelarkan oleh International Accounting Standard Board memang memberikan perhatian terhadap pengakuan human capital sebagai aset.

    Lantas, terkait pengakuan pesepakbola sebagai aset tak berwujud, ada baiknya melihat kembali apakah pesepakbola memenuhi kriteria untuk diakui sebagai aset tak berwujud tersebut.

    Dapat dipastikan bahwa tujuan klub membeli dan memiliki pemain sepakbola adalah untuk menghasilkan bahkan meningkatkan keuntungan ekonomis di masa depan. Semua yang berhubungan dengan industri sepakbola adalah upaya untuk menghasilkan gelontoran uang lewat pertandingan sepakbola. Rasanya mustahil bagi sebuah klub yang menyatakan dirinya sebagai profesional namun membeli pemain hanya atas dasar kultur, ataupun romantisme yang biasanya dimiliki oleh para suporter. Mereka, para pengelola klub, adalah orang-orang yang menggunakan romantisme ataupun fanatisme suporter untuk meningkatkan keuntungan klub sebagai perusahaan.



    Keuntungan ekonomis yang bisa dijanjikan oleh pemain sepakbola terhadap klub yang meminangnya adalah kontribusinya dalam pertandingan yang tentu saja dapat mengantarkan klub kepada kesuksesan demi kesuksesan. Barangkali pengakuan pemain sebagai aset tak berwujud terkesan ambigu karena pemain adalah hal yang memiliki fisik. Ia bisa dilihat dan disentuh, ia tidak serupa pengetahuan atau ide yang tidak memiliki wujud. Namun yang perlu dipahami adalah – yang diperjualbelikan bukanlah pemain tersebut; melainkan keterampilan dan satu-dua hal yang mengikuti; seperti nama besar.

    Keterampilan seorang pesepakbola adalah aset yang vital bagi perusahaan berwujud klub sepakbola. Pemain dengan keterampilan dan kemampuan bersepakbola yang hebat dapat membikin kesebelasan semakin kokoh. Kesebelasan yang demikian adalah kesebelasan yang menguntungkan. Kemenangan demi kemenangan akan membikin para pendukung semakin loyal terhadap klub yang digilainya. Akibatnya, keuangan klub semakin gemuk lewat penjualan tiket-tiket pertandingan, hak siar ataupun merchandise.

    Laiknya perusahaan lain yang memiliki kendali atas kepemilikan aset mereka, klub sepakbola juga memiliki kendali yang sama atas pemain. Kendali ini tentunya didapat dari kontrak yang telah disepakati antara klub dan pemain. Dalam kontrak seharusnya dijelaskan apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi keduanya. Mengingat keduanya terikat kontrak, maka segala aktivitas persepakbolaannya juga tidak boleh sampai melanggar klausal-klausal yang ada dalam kontrak. Kendali klub terhadap pemain juga mencakup kapan klub bisa mendapatkan penghasilan tambahan dengan menjual pemain. Jika klub menganggap kalau kepemilikan seorang pemain masih menguntungkan, kontrak tentunya bisa diperpanjang.

    Yang terakhir adalah harga perolehan aktiva dapat diukur secara andal. Nilai perolehan seorang pemain tentunya dinilai dari nilai transfer yang disepakati antara klub dan pemain. Penentuan harga perolehan pemain sering menimbulkan situasi rancu. Harga perolehan pemain-pemain yang berasal dari akademi sepakbola, sewajarnya dihitung dengan menggunakan metode historical cost.

    Historical cost sendiri adalah penyajian data laporan keuangan berdasarkan terjadinya transaksi, mengacu pada harga-harga yang terjadi pada masa lampau. Bahasa sederhananya, jika pemain berasal dari akademi maka penentuan nilai perolehan juga harus memperhitungkan biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama masa pembinaan atau pengembangan di masa lampau - juga biasa disebut sebagai penetapan amortisasi.

    Dengan argumen-argumen di atas maka jelaslah bahwa untuk industri sepakbola, seorang pemain dapat dikapitalisasi dan diakui sebagai aset tak berwujud. Selanjutnya, yang perlu dipikirkan adalah seperti apa perlakuan akuntansi aset tak berwujud ini - yang tentu saja harus sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi di setiap negara. Misalnya bagaimana cara mengkapitalisasinya, berapa nilai kapitalisasi ataupun seperti apa pelaporan aset tak berwujud ini.



    Yang jelas, metode apapun yang digunakan dalam menentukan nilai kapitalisasi pemain, yang harus dipastikan adalah metode yang digunakan benar-benar bisa mengefektifkan biaya dan memastikan bahwa penilaian tidak menyesatkan. Nilainya aktual, tidak dilebih-lebihkan atau dikecil-kecilkan.

    Ada beberapa hal yang pada dasarnya menyulitkan pengakuan human capital sebagai aset, salah satu di antaranya adalah penetapan nilai amortisasi pesepakbola itu sendiri. Apalagi nilai pesepakbola sebagai aset juga cenderung tak pasti, mengingat besarnya kemungkinan cedera terkait profesinya sebagai atlet. Namun di atas segalanya, klub sepakbola sebagai perusahaan adalah industri yang bergantung sepenuhnya kepada keberadaan pemain.

    Keuntungan-keuntungan ekonomis klub sepakbola bisa didapatkan melalui keberadaan pemain. Uang yang mereka habisan dalam bursa transfer tak akan serta-merta hilang begitu saja. Uang yang mereka keluarkan akan diputar lewat olah bola kaki-kaki pesohor lapangan hijau, sehingga menolak untuk mengakui pesepakbola sebagai aset sama saja dengan menyangkal bahwa apa yang dikerjakan oleh pesepakbola-pesepakbola itulah yang membuat klub bisa bergelimang harta.
     

    =====

    * Penulis adalah akuntan dan penulis Pandit Football Indonesia. Akun twitter: @marinisaragih

    (a2s/krs)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game