Obsesi Bernama Zlatan
Bagi Milan, tak ada penyerang yang begitu kukuh, tangguh, solid dan hidup selain Zlatan Ibrahimovic.
“Milan membutuhkan tiga penyerang tangguh,” seperti itulah jawaban Silvio Berlusconi saat ditanyai apa dibutuhkan Milan untuk musim 2015-2016.
Sampai hari ini Galliani telah memboyong Carlos Bacca dan Luiz Adriano sebagai dua penyerang baru di Milan. Dan jika berbicara soal penyerang tangguh, di mata Milan, adakah yang lebih tangguh dari Ibrahimovic?
Zlatan dan Milan adalah cerita yang rumit. Sebelum merumput di San Siro, penyerang Swedia ini terlebih dulu bermain selama tiga musim untuk Inter, rival sekotanya. Banyak yang menyangka kalau ia akan lebih lama di Inter, setidaknya lebih dari sekadar tiga musim, mengingat ia sangat cocok dengan sang manajer, Jose Mourinho.
Ibra, dalam buku otobiografinya yang terkenal, "I am Zlatan", menjelaskan pentingnya Mourinho dengan melakukan perbandingan. Katanya, segembira apapun ia bermain untuk Barcelona, tetap saja tidak mudah untuk meninggalkan Mourinho. Di situ, Ibra membandingkan Mou bukan dengan Guardiola, namun dengan Barca.
Baca: I Am Zlatan (2011): Otobiografi Sepakbola Terbaik
Ibra lalu hijrah ke Milan usai menjalani satu musim di Nou Camp yang, menurutnya, tidak terlalu menyenangkan. Di sana ia bukannya tanpa prestasi, bukannya tak menjadi pahlawan Catalan – namun Ibra adalah Zlatan: Jangan harap ia mau tunduk selamanya kepada orang yang menghalanginya untuk menjadi “Zlatan”, termasuk Guardiola.
Meninggalkan Barcelona, Ibra berlabuh ke Milan. Di sana ia tampil sebagai raja dan pahlawan sekaligus. Gol demi gol mengantarkan Milan kepada kemenangan, ia ikut melempar-lempar Allegri dalam perayaan scudetto, menampar Salvatore Aronica dan Marco Storari serta bercanda dengan menerjang Cassano yang sedang diwawancarai dengan tendangan kungfunya.
Di Milan, Zlatan tak dilarang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, ia tak harus dicecar dengan ceramah moral di ruang ganti. Zlatan bisa menjadi Zlatan, ia dibolehkan melakukan hal-hal bertajuk “Hanya Zlatan yang Bisa”. Dan adakah tempat yang lebih layak dihuninya selain dengan tempat yang memperbolehkanmu menjadi diri sendiri yang sebenar-benarnya?
Namun, sekitar Juli 2012, Milan mengambil keputusan yang mengejutkan dengan menjual Thiago Silva dan Zlatan Ibrahimovic ke Paris Saint Germain. Sebelum kehilangan kedua andalannya tersebut, Milan terlebih dulu ditinggalkan sejumlah pemain senior: Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, Filippo Inzaghi, Clarence Seedorf, Gianluca Zambrotta dan Mark van Bommel.
Sejak saat itu, Milan tampil sebagai kesebelasan seadanya. Jangankan berprestasi di level internasional, melawan tim-tim gurem level nasional saja sudah kepayahan. Peringkat di Serie A pun tak bisa lebih baik daripada peringkat 8.
Perubahan skuat dilakukan setiap musim. Bukan hanya pemain, pelatih pun ikut diganti. Dianggap sebagai biang kerok karena strategi yang tak masuk akal dan rumor perihal memburuknya hubungan dengan pemain. Allegri dipecat dan digantikan Clarence Seedorf. Mantan pemain nasional Belanda ini pun tak bertahan lama di Milan. Bahkan pemecatannya berbuntut semacam sengketa perihal kontrak.
Pippo Inzaghi, yang sebelumnya berhasil memberikan hasil yang menjanjikan sebagai pelatih Milan Primavera pun diangkat sebagai pelatih. Namun hasilnya sama saja. Inzaghi pun didepak dengan cara yang dianggap tak pantas oleh sebagian besar pendukung Milan.
Di bursa transfer musim panas 2014/2015 ini, Zlatan adalah obsesi buat Milan. Hampir semua media sepakbola mengabarkan rumor tentang kepulangannya ke Milan. Pasang surut, kadang mendekat, kadang menjauh. Dan tentang obsesi, penulis asal Inggris, Virginia Woolf pernah menulisnya dalam cerita pendek berjudul Solid Objects.
Cerita ini dibuka dengan fragmen misterius: Dua orang pria dewasa (John dan Charles) berbincang-bincang tentang politik di tengah laut. Di tengah-tengah pembicaraan di atas sampan itu, John melihat semacam benda pejal dan pipih berwarna kehijauan yang begitu menarik perhatian. Ia membawa pulang benda tersebut, menaruhnya di atas perapian rumah, memperhatikan dan lama-kelamaan mulai terobsesi dengan benda-benda semacam itu.
Benda-benda pipih itu seharusnya hanya batu ceper atau pecahan porselen biasa. Tapi di mata John, benda itu mengubah sendiri bentuknya, walaupun sedikit saja perbedaannya dari semula namun ia menjadi sempurna. Kesempurnaan yang menggentayangi otaknya tanpa dapat ia kendalikan.
John yang terobsesi dengan benda-benda pipih semacam itu pergi ke sejumlah tempat untuk mencarinya. Ia gemar menghabiskan waktu di sekitar lahan pembuangan sampah rumah tangga. Matanya tajam menatap tanah, mencari benda-benda yang menjadi obsesinya. Dalam beberapa bulan, ia berhasil mengumpulkan empat sampai lima spesimen yang diletakkan dan ditatanya dengan begitu rapi di atas perapian.
Hingga pada suatu hari, John seharusnya bergegas untuk berpidato di hadapan para pendukungnya. Untuk diketahui, John memiliki karir politik, agaknya waktu itu ia sedang mencalonkan diri sebagai anggota parlemen. Namun di tengah perjalanan, matanya menangkap potongan porselen kecil benda aneh yang tersangkut pada semacam pagar rumput. Tangan John tak bisa menjangkaunya. Lantas, ia membikin semacam pengait pada tongkat yang kerap dibawanya. Dengan amat terampil dan penuh kehati-hatian, ia menarik potongan porselen tersebut ke dalam jangkauan tanggannya.
John bersorak penuh kemenangan saat berhasil meraih potongan porselen yang buat orang tak lain tak ada bedanya dengan sampah rumah tangga lainnya. Di tengah-tengah kegembiraannya tersebut, John sadar kalau ia tak akan mungkin bergegas ke tempat seharusnya ia berpidato di hadapan para pendukungnya. John paham, ia tak akan mungkin punya kesempatan untuk duduk di parlemen.
Karir politik John gagal. Ia ditinggalkan kolega-koleganya, ia menyingkir dari pergaulan dan lingkungan. Yang ada di benaknya cuma batu ceper, pecahan porselen, potongan kaca dan benda-benda lainnya semacam itu. Bahkan Charles, sahabat satu-satunya itu pun, meninggalkan John dan tidak pernah kembali.
Bagaimana cara Milan memandang Zlatan mirip dengan cara John memandang benda-benda yang menjadi obsesinya tersebut. Di mata Milan (setidaknya menyimpulkan berita tentang “kode-kode” betapa mereka begitu mengharapkan kedatangan Zlatan) kesempurnaan seorang Zlatan adalah kesempurnaan yang menggentayangi otak.
Dari sejumlah wawancara yang menanyakan tentang kemungkinan bahwa Milan akan kembali mengontrak Zlatan, Berlusconi memberikan jawaban yang pada intinya serupa. Ia menginginkan Zlatan kembali bermain bersama Milan. Pilihan ada pada penyerang asal Swedia tersebut, jika ia datang, kesepakatan bisa segera diselesaikan.
Di sisi lain, Zlatan yang tadinya bersikeras tidak akan meninggalkan PSG belakangan justru menyebut kalau ia dan Galliani kembali berkomunikasi secara intens. Dan hal apalagi yang dibahas dalam pembicaraan dengan Galliani pada pekan-pekan bursa transfer seperti sekarang? Belum lagi sejumlah rumor yang menjelaskan kalau sebenarnya PSG tak keberatan untuk melepas Ibra akibat perilakunya, yang bagi sebagian orang sangat menghibur dan bagi yang lain sangat menyebalkan, yang justru memperburuk citra klub.
Kedatangan Zlatan memang bakal jadi solusi buat Milan untuk mendulang gol. Namun yang menjadi pertanyaan, solusi untuk berapa lama? Jangan pungkiri masalah usia, tahun ini usianya sudah 34 tahun.
Salah satu keburukan Milan adalah terlalu bergantung pada satu-dua pemain hebat dalam waktu yang relatif lama. Tidak melulu penyerang. Ambil saja contoh penjaga gawang. Christian Abbiati tidak lagi berusia muda, untuk diketahui, saat ini usianya sudah 38 tahun.
Seharusnya Milan sudah mulai mempersiapkan penggantinya, memberikan jam bermain yang lebih tinggi kepada penjaga gawang muda. Alih-alih memberikan panggung buat penjaga gawang muda, Milan justru mendatangkan Diego Lopez yang memang berkualitas baik namun sudah berusia 33 tahun. Pertanyaan untuk Abbiati pun masih relevan: memangnya ia sanggup bermain berapa lama lagi?
Setelah ketergantungan-ketergantungan tersebut, rasanya Milan akan kepayahan mencari pengganti yang sepadan jika tak membangun dan mempersiapkan pemain bintangnya sendiri.
Jika kedatangan Bacca dan Adriano mau tidak mau membikin sejumlah pemain angkat kaki, apalagi bila Ibra benar-benar kembali ke Milan. Hengkangnya pemain muda macam Stephan SEl Shaarawy (dipinjamkan ke Monaco), kalaupun tidak menimbulkan masalah, setidaknya bakal membuat Berlusconi harus menjilat ludahnya sendiri tentang keinginannya membentuk Milan sebagai kesebelasan yang mengedepankan pemain muda dan lokal.
Apalagi kabar kedatangan Zlatan juga diiringi negosiasi Hachim Mastour ke PSG. Talenta muda Milan yang bulan lalu baru berusia 17 tahun ini menarik minat SG dan Monaco. PSG bahkan dikabarkan sudah memberikan penawaran sebesar lima juta euro untuk mendapatkan Mastour. Yang menyedihkan, Milan justru memanfaatkan ketertarikan PSG untuk memboyong Mastour demi mendapatkan Zlatan. Lagi-lagi, pemain belia yang berbakat ditukar pemain berusia 34 tahun.
Tentang kekukuhan Milan untuk membawa pulang Zlatan, legenda Milan kebangsaan Kroasia, Zvonimir Boban justru berpendapat lain. Menurutnya, kedatangan Zlatan memang bisa menjadi solusi instan buat Milan. Namun ia memprediksi bahwa performa Zlatan justru akan menjadikan Bacca dan Adriano tidak dapat memberikan kontribusinya yang maksimal. Sehingga, konsekuensi dari argumentasi Boban itu adalah: merekrut Bacca dan Adriano bisa menjadi kesia-siaan.
Usia Zlatan yang tak lagi muda sampai sejauh ini memang belum menghambatnya untuk tampil sebagai salah satu penyerang terbaik. Pasca meninggalkan Milan, ia berhasil mencetak 106 gol dalam 126 pertandingan bersama PSG.
Bacca dan Adriano yang sudah resmi bergabung dengan skuat Milan pun bukan penyerang yang tak subur. Musim lalu, Bacca yang bermain buat Sevilla berhasil menduduki peringkat lima pencetak gol terbanyak, sedangkan Adriano berhasil menorehkan sedikitnya 9 gol dari total 15 gol Shakhtar Donetsk di Liga Champions.
Atas segala kualitas yang dimiliki Zlatan, ia memang pantas diupayakan sehebat-hebatnya oleh Milan. Namun jika upaya tersebut berubah menjadi obsesi, yang sudah pasti akan mengabaikan hal lain yang tak kalah penting, permasalahannya tentu menjadi agak sedikit berbeda. Misalnya, skuat pertahanan yang sampai sekarang hanya menyisakan pemain-pemain tua yang kualitasnya memang tak mumpuni lagi ataupun terbengkalainya kebutuhan Milan perihal pembangunan talenta muda.
Trio Bacca-Ibra-Adriano memang bisa mencetak gol bagi Milan, namun persoalan sepakbola bukan tentang mencetak gol saja, ia juga tentang mencegah terjadinya gol dan keharusan regenarasi. Bila ini yang terjadi, bukankah Milan tak akan berbeda jauh dengan John --tokoh dalam cerpen Virginia Woolf tersebut--- yang pada akhirnya kehilangan banyak hal penting akibat obsesinya?
Dan bukannya tak mungkin Milan justru bernasib sama dengan sang penulis, feminis yang kepalanya penuh dengan kecamuk pikiran, menenggelamkan diri di sungai sampai mati – mati tenggelam karena sengaja memberati dirinya dengan batu-batu yang dimasukkan ke dalam kantong bajunya.
=====
* Akun twitter penulis: @marinisaragih dari @panditfootball














