Ladang Emas Amerika Serikat dan Meksiko

Tidak salah juga kalau Amerika Serikat bisa jadi merupakan negara paling sukses di dunia dalam urusan sepakbola. Ya, ini adalah fakta, tapi dengan kondisi tertentu.
Entah apa yang ada di kepala masyarakat Amerika Serikat. Mereka pastinya tahu bahwa sepakbola (“soccer” bukan “football”) adalah olahraga yang paling terkenal di dunia. Tapi olahraga ini sudah turun-temurun dicap sebagai “olahraga bodoh,” dan lebih parahnya lagi, mereka “mengorbankan” “olahraga bodoh” ini untuk dimainkan oleh anak-anak perempuan.
Sebelumnya, kami meminta maaf jika kami banyak menggunakan kutipan, karena sejujurnya kami tidak ikhlas jika sepakbola dikatakan sebagai “olahraga bodoh.”
Ini seperti pepatah “sudah terjatuh, tertimpa tangga". Mengatakan sepakbola itu bodoh saja sudah kelewatan, lalu meyuruh anak-anak perempuan untuk bermain sepakbola seperti menjadi diskriminasi gender secara tidak langsung oleh warga AS untuk anak-anak dan perempuan.
Hasilnya? Berkat konsistensi permainan sepakbola di kalangan anak-anak perempuan, kesebelasan negara (sangara) perempuan mereka adalah yang tersukses di dunia, dengan menjadi juara dunia sebanyak tiga kali, termasuk baru-baru ini (Piala Dunia Perempuan 2015) di Kanada.
Sejak Piala Dunia Perempuan pertama di tahun 1991, mereka berhasil mengungguli Jerman (dua kali juara dunia perempuan), Norwegia (sekali), dan Jepang (sekali). Inilah kenapa kita seharusnya bisa memahami jika Amerika Serikat adalah negara sepakbola tersukses di dunia, TAPI di kelompok perempuan.
Bagaimana dengan sangara laki-laki mereka? Jika kesuksesan yang dimaksud adalah sebagai juara dunia, maka sangara laki-laki AS jauh dari kata sukses. Tapi, dalam dunia sepakbola internasional, kita bisa mengerucutkan kembali definisi “sukses” agar lebih kontekstual dan regional.
Misalnya saja, kita tahu Jepang itu adalah negara yang sukses di sepakbola, tapi di tingkat Benua Asia (AFC). Kita juga tahu jika Thailand adalah negara sepakbola yang sukses di sepakbola, tapi di tingkat Asia Tenggara (AFF). Jadi, bagaimana dengan Amerika Serikat?
Merenungkan arti kehadiran Piala Emas
Seperi yang kita dapat ketahui, AS adalah bagian dari Konfederasi Sepakbola Benua Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Karibia, atau yang kita kenal dengan CONCACAF (Confederation of North, Central American and Caribbean Association Football). Sama halnya seperti Indonesia yang (pernah, dan mudah-mudahan segera kembali lagi menjadi) anggota AFC, kita juga masuk ke dalam anggota regional benua, yaitu AFF.
Begitupun dengan CONCACAF, mereka juga dibagi lagi menjadi tiga regional, yaitu Amerika Utara (NAFU), Amerika Tengah (UNCAF), dan Karibia (CFU). AS masuk ke dalam regional NAFU bersama dengan Meksiko dan Kanada.
Sama seperti CONMEBOL (Amerika Selatan) yang punya turnamen akbar Copa America, UEFA (Eropa) yang punya Euro, AFC (Asia) yang punya Piala Asia, CAF (Afrika) yang punya Piala Afrika, dan OFC (Oseania) yang punya Piala Oseania, CONCACAF juga memiliki jadwal turnamen akbarnya tersendiri, yaitu Piala Emas atau Gold Cup atau Copa de Oro de la CONCACAF.
Piala Emas masih terbilang cukup baru. Piala Emas pertama diselenggarakan pada 1991, sementara Piala Emas 2015 yang finalnya baru kemarin pagi (27/07/2015) adalah Piala Emas edisi ke-13.
Pada edisi terakhir itu Meksiko berhasil menjadi juara dengan mengalahkan Jamaika di final dengan skor 3-1. Sementara AS harus rela menjadi “juara” keempat setelah Panama mengalahkan mereka di perebutan “juara” ketiga.
Tidak seperti di konfederasi (benua) lain, Piala Emas mencakup wilayah yang sudah terkenal hanya memiliki dua negara langganan juara: Amerika Serikat dan Meksiko.
Amerika Serikat, Meksiko, ditambah Kosta Rika yang mengejutkan di Piala Dunia 2014; tiga negara tersebut sepertinya sudah agak familiar dengan kita di Indonesia. Namun, jika membicarakan Jamaika (finalis 2015 lho!), Panama (peringkat ketiga!), Trinidad & Tobago (ini satu negara, bukan dua negara), Haiti, Kanada, Kuba, Honduras, Guatemala, dan El Salvador; siapa yang familiar dengan mereka?
Inilah kenapa, bagi negara-negara CONCACAF di atas, Piala Emas merupakan big deal. Ini adalah saat di mana mereka semua bisa unjuk gigi. Mereka bukanlah negara yang identik dengan sepakbola, pun ketika Piala Dunia digelar, jarang sekali dari mereka yang bisa membuat kita terkesima.
Sebenarnya, CONCACAF memang mendapat empat jatah di Piala Dunia. Tapi apakah kita ingat Honduras di Piala Dunia lalu? Sebenarnya, Honduras sudah mengikuti dua Piala Dunia terakhir, tapi mereka belum memenangi satu pun pertandingan.
Kemudian, Kosta Rika juga sudah memiliki petualangan yang hebat di Piala Dunia 2014, tapi kita tidak akan bisa lebih jauh dari pernyataan tersebut (setidaknya sampai sekarang). Di Piala Emas yang lalu saja mereka kalah di perempatfinal.
Tidak seperti Segitiga Bermuda (di Karibia) yang misterius, Piala Emas sudah menjadi “laut yang dangkal” untuk ukuran turnamen dengan 12 tim.
Turnamen adu hebat dua kekuatan “sepakbola nanggung”
Kita mungkin sudah familiar dengan dominasi FC Barcelona dan Real Madrid di La Liga Spanyol atau Celtic FC dan Glasgow Rangers di Liga Skotlandia (ketika mereka dulu masih berjaya). Kedua kondisi di atas mencerminkan betul bahwa turnamen sepakbola hanya agenda formalitas, karena kapanpun gelarannya, hampir pasti juaranya adalah dua tim yang disebutkan di atas.
Pun dengan Piala Emas. Turnamen ini sudah jadi adu kehebatan dua negara dengan level “sepakbola nanggung”, yaitu AS dan Meksiko. Dari 13 kali diselenggarakan, AS sudah juara 5 kali, sementara Meksiko sudah juara 7 kali. Piala Emas sudah seperti ladang emas bagi mereka.
Jika kita mau menengok jauh ke belakang sekalipun, ketika Piala Emas masih bernama CONCACAF Championship, secara total Meksiko mendominasi dengan 10 gelar, diikuti AS (5), Kosta Rika (3), Kanada (2), serta Honduras, Guatemala, dan Haiti (masing-masing satu).
AS dan Meksiko sudah bertemu di final Piala Emas sebanyak 5 kali, dengan 4 di antaranya dimenangi Meksiko.
Bentuk kedigdayaan AS dan Meksiko, terutama AS, di Piala Emas juga sangat kentara. Kita bisa melihat daftar urutan negara penyelenggara Piala Emas berikut ini: Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, Amerika Serikat, dan Amerika Serikat.
Ya, 12 edisi sebelumnya dari Piala Emas selalu diselenggarakan di Negeri Paman Sam, tak terkecuali Piala Emas edisi ke-13 kemarin. Setiap pertandingan bagi AS di Piala Emas rasanya selalu seperti bertanding sebagai tuan rumah. Dominasi penyelenggaraan mereka dalam 24 tahun terakhir membuat kota besar di Amerika Serikat sepertinya sudah “kebagian jatah” semua.
Kota penyelenggara tahun ini seperti Carson, Chester, Glendale, dan Frisco sampai-sampai mendapat kesempatan menyambut turnamen ini. Dengan status negara adikuasa yang kaya akan fasilitas dan komunitas olahraga, AS tampak selalu menjadi pilihan yang tepat (baca: serakah) untuk turnamen CONCACAF ini. Sementara Meksiko, yang menjadi juara paling banyak, hanya pernah kebagian jatah sebagai co-host sebanyak dua kali (1993 dan 2003), kemudian juga Kanada sekali (2015 ini).
Takdir lambat laun berubah
Untuk membicarakan perubahan takdir AS dan Meksiko di Piala Emas, kita harus membicarakannya secara terpisah, terutama untuk AS.
Piala Emas 2015 adalah yang paling mengecewakan bagi AS dan Juergen Klinsmann --kami tidak menyebut ini mengecewakan bagi masyarakat AS, karena sejujurnya memang tidak. Di hari yang sama, dan jam yang sama, ketika AS ditekuk oleh Panama 2-3 melalui adu penalti (setelah skor akhir 1-1), jumlah penonton mereka di stadion PPL Park, Chester (12.500 penonton dari kapasitas total 26.000) kalah jauh daripada pertandingan International Champions Cup antara Manchester United melawan Barcelona (3-1 untuk United) di Stadion Levi's, Santa Clara, California (68.500 penonton dari kapasitas total 68.500).
Bayangkan, meskipun ini hanya pertandingan perebutan tempat ketiga, nasionalisme seperti apa yang masyarakat AS miliki sampai-sampai mereka lebih memilih menonton pertandingan pramusim antara dua tim yang tak ada hubungan langsung dengan mereka, daripada menonton sangara mereka bermain di turnamen resmi?
Bahkan, menurut laporan Soccer Gods, jumlah penonton televisi di seluruh AS lebih banyak yang lebih memilih untuk menonton MU-Barça daripada AS-Panama. Mereka (penonton televisi AS) langsung protes ketika pertandingan AS-Panama dilanjutkan ke babak extra time. Mereka lebih memilih langsung saja diselesaikan di babak adu penalti. Keterlaluan.
Secara rasional, ada yang salah dengan masyarakat AS, tapi kita tidak perlu terlalu memedulikannya; karena ada masalah yang lebih besar, yaitu sangara (timnas) AS yang dinilai mengalami penurunan kualitas.
"Ada banyak anggapan bahwa kualitas turnamen [Piala Emas] telah meningkat. Tapi ini memang tidak pernah mudah," kata Michael Bradley, sang kapten AS.
"Tidak pernah. Saya sudah banyak bermain di Piala Emas dan kualifikasi Piala Dunia. Pertandingan-pertandingan ini ketat dalam setiap aspek. Ide bahwa 'Well, biasanya ini mudah bagi kita, tapi sekarang tidak lagi' – itu adalah bohong."
Bradley tentunya punya pendapat sendiri. Faktanya AS termasuk sukses di CONCACAF, mereka juara 5 kali, mencapai final 9 kali, serta sudah menang dalam 51 pertandingan dan hanya kalah sebanyak 7 kali.
"... Dulu ketika saya masih muda, ketika saya baru bergabung dengan sangara, jika kami bermain melawan Panama atau Haiti, pertandingan itu tergolong lebih mudah daripada sekarang," kata DaMarcus Beasley, bek AS, seperti dikutip dari MLS Soccer.
"Mereka [Panama, Haiti, dll] sudah bekerja dengan baik pada sistem pemain muda dan pengembangan pemain. Sama seperti yang sudah kami [AS] lakukan. Mereka sudah mengubah imej ‘dua anjing besar’ di CONCACAF, Meksiko and AS. Sangat menarik melihat kompetisi yang semakin meningkat di regional kami. Saya pikir ini akan semakin berkembang."
Jika Bradley benar, bahwa memang dari dulu tidak pernah mudah bagi AS; kita juga bisa percaya apa kata Beasley, bahwa perkembangan sepakbola CONCACAF semakin meningkat. Namun, ada satu opini yang tak muncul ke permukaan, yaitu bahwa sepakbola AS-lah yang sebenarnya mengalami kemunduran.
Meskipun demikian, berpikir bahwa AS sedang mengalami kemunduran pun adalah pemikiran yang keliru. Kita bisa melihat dari kualitas MLS (Liga Sepakbola AS) yang semakin naik mutunya, turnamen-turnamen pramusim di AS yang juga semakin marak, serta jangan lupa bahwa perkembangan teknologi paling canggih memang kebanyakan berasal dari AS, tak terkecuali teknologi di sepakbola.
Meksiko sempat loyo, tapi ganas di final
Sebelum menjadi juara, Meksiko meraih tiket ke final dengan penuh kontroversi dan penampilan yang tidak meyakinkan.
Di kualifikasi (grup C), mereka finis di urutan ke dua di bawah Trinidad dan Tobago dengan satu kemenangan dan dua kali imbang (0-0 melawan Guatemala dan 4-4 melawan Trinidad & Tobago). Pada perempatfinal melawan Kosta Rika, mereka diberi hadiah penalti di menit ke-120 + 4 (skor akhir 1-0 untuk Meksiko).
Sementara di semifinal melawan Panama, El Tri yang sempat tertinggal 1-0 sampai menit ke-90, mendapat hadiah penalti di injury time dan juga gol kemenangan mereka di extra time, lagi-lagi merupakan penalti. Skor akhir 2-1 untuk Meksiko.
Empat gol terakhir Meksiko sebelum final melawan Jamaika adalah (berurutan) hasil dari gol bunuh diri, penalti, penalti, dan penalti. Bagaimana ini tidak menimbulkan kecurigaan.
Namun, dari kontroversi di atas, entah benar atau tidak (Anda bisa melihat sendiri cuplikan pertandingannya untuk menilai sendiri), Le Verde telah “menebus dosa” mereka dengan penampilan super meyakinkan ketika mereka mengalahkan Jamaika 3-1 di final.Pertandingan final itu adalah yang pertama kalinya untuk The Reggae Boyz (dengan huruf ‘z’ di belakangnya, bukan ‘s’), julukan sangara Jamaika, sementara itu adalah final ke-8 bagi Meksiko di Piala Emas.
Meksiko juga memiliki rekor pertandingan menang 45 kali dan kalah 8 kali di Piala Emas, masih agak jauh di bawah AS. Jika dihitung poin (3 poin untuk menang, 1 untuk imbang, dan 0 untuk kalah), Meksiko masih tertinggal 19 poin dari AS meskipun gelar juara mereka lebih banyak.
Tapi, pada final Piala Emas kali ini, tanpa bermaksud meremehkan Jamaika, tidak ada yang meragukan Meksiko untuk menjadi juara. Jesus Corona misalnya, pemain ini menjadi bintang di final Piala Emas dengan golnya, ia juga mendapat gelar pemain muda terbaik.
Sangara asuhan Miguel Herrera itu juga memiliki kapten Andres Guardado yang menjadi pemain terbaik Piala Emas. Ia tidak hanya mahir mengonversi penalti (3 gol dari penalti), tapi juga berhasil bermain apik di sayap. Enam golnya juga mengantarkan namanya sebagai peringkat dua top skor di bawah Clint Dempsey (7 gol).
Performa apik para pemain Meksiko sampai membuat bintang masa lalu seperti Carlos Vela, Giovani dos Santos, Javier “Chicharito” Hernandez, Rafael Marquez, Hector Moreno, Marco Fabian, Hugo Ayala, dan Raul Jimenez tidak dirindukan sama sekali oleh masyarakat Meksiko. Enam nama terakhir bahkan tidak dipanggil ke Piala Emas dengan berbagai macam alasan.
Sekarang ini, Meksiko sedang berpesta. Miguel Herrera sedang menikmati, sekali lagi, ketika Meksiko meraup “panen” dari ladang emas mereka di CONCACAF.
Sayang perayaan itu harus tercoreng akibat ulah pelatih Herrera. Kurang dari 24 jam setelah menjadi juara CONCACAF, Herrera memukul seorang jurnalis dari TV Azteca, Christian Martinoli, di Philadelphia International Airport. Akibat aksinya tersebut, Herrera harus kehilangan pekerjaannya sebagai pelatih El Tri yang sudah ia jalani sejak Oktober 2013.
Masa depan Piala Emas
Pada kenyataanya, jauh sebelum Piala Emas digelar, Klinsmann sudah membicarakan turnamen ini selama berbulan-bulan. Bagi pelatih sangara AS --bisa coba sendiri jadi pelatih AS di video permainan Football Manager untuk memahaminya--, Piala Emas memang sangat penting.
Piala Emas sudah menjadi “kebutuhan” alih-alih “keinginan”, karena sang juara bertahan turnamen dua tahunan ini berarti akan lolos ke play-off Piala Konfederasi. Karena juara Piala Emas 2013 adalah AS, dan juara Piala Emas 2015 adalah Meksiko, sedangkan Piala Konfederasi terdekat adalah 2017 di Rusia, maka AS akan menghadapi Meksiko untuk memperebutkan satu tiket, lagi-lagi pertemuan antara dua raksasa CONCACAF. Pertandingan play-off ini akan berlangsung pada Oktober 2015 di Rose Bowl, Pasadena, AS.
Jadi, sebenarnya inti dari Piala Emas itu adalah lolos ke Piala Konfederasi? Masalahnya, apakah kita semua sependapat? Apakah kita benar-benar peduli dengan Piala Emas? Haruskah kita peduli dengan Piala Emas?
Menilik ke depan juga, apakah kita juga peduli dengan Piala Konfederasi? Sebagian besar dari kita mungkin hampir sepakat jika Piala Konfederasi hanya menjadi "turnamen formalitas" setiap setahun sebelum Piala Dunia.
Anda ingat siapa yang menang di Piala Konfederas terakhir? Brasil mengalahkan Spanyol di final, dan kedua negara tersebut tersingkir (dengan cara yang masing-masingnya unik) di Piala Dunia 2014.
“Anda dapat mengatakannya berjuta-juta kali, orang-orang tidak tahu bahwa CONCACAF itu ketat,” kata Brad Evans, salah seorang pemain AS. Tapi sejujurnya, mari lihat kembali fakta bahwa dari 13 gelaran Piala Emas, Meksiko sudah menjadi juara sebanyak 7 kali, AS sudah juara sebanyak 5 kali, sementara Meksiko dan AS sudah bertemu di final sebanyak 5 kali.
Mau tidak mau, kita harus mengakui jika Piala Emas memang benar-benar ladang emas untuk Amerika Serikat dan Meksiko. Sementara bagi kita, “peduli amat sama CONCACAF”.
====
* Akun twitter penulis: @dexglenniza dari @panditfootball