Menanti Nasib Duo Milan di Tangan Pemilik Asing

Pada bursa transfer musim panas ini, dua klub asal kota Milan unjuk kekuatan dari segi finansial dengan memboyong pemain-pemain berharga mahal. Ya, AC Milan dan Internazionale Milan, tak ragu untuk mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan pemain yang mereka inginkan.
Saat artikel ini ditulis, Milan telah membelanjakan sekitar 62 juta euro untuk membeli lima pemain, dengan transfer Carlos Bacca yang nyaris 30 juta euro. Sementara Inter, hanya kalah sekitar satu juta euro dari Milan dalam membeli enam pemain baru, di mana Geoffrey Kondogbia bernilai tak jauh berbeda dengan Bacca yang direkrut Milan.
Pengakuisisian oleh investor asing menjadi faktor utama kedua tim untuk kembali menggeliat pada bursa transfer musim panas ini. Suntikan dana segar dari para pengusaha kaya tersebut membuat keduanya mulai lebih agresif dalam perekrutan pemain.
Keberanian duo Milan ‘menjual diri’ pada investor asing pun sebenarnya terinspirasi dari apa yang telah ditorehkan Roma. Ya, Roma menjadi pionir kesebelasan Italia yang cukup mengalami peningkatan baik secara prestasi maupun finansial. Tapi, apakah cara yang dilakukan duo Milan ini sudah tepat?
AS Roma Sebagai Contoh
Sebelum Erick Thohir (Indonesia) mengakuisisi Inter pada 2013 dan Bee Taechaubol (Thailand) mengakuisisi Milan pada tahun ini, AS Roma menjadi klub Italia pertama yang dimiliki oleh pengusaha asing. Pada April 2011, kelompok investasi asal Amerika Serikat yang dipimpin Thomas Di Benedetto, secara resmi mengakuisisi "Serigala Ibu Kota".
Pengakusisian ini terjadi karena finansial Roma terganggu setelah pada 2010 terancam mengalami kebangkrutan, ketika di tahun tersebut manajemen Roma lebih memfokuskan diri untuk menyelesaikan utang-utang mereka saat masih dipimpin oleh keluarga Sensi. Ini pula yang membuat prestasi mereka anjlok pada musim 2010/2011, harus puas finish di urutan ke-6, setelah di musim sebelumnya menjadi runner-up Serie A.
Pada Juli 2010 utang Roma kabarnya mencapai 300 juta euro atau sekitar 423 juta dollar AS pada bank Italia yang berbasis di kota Milan, UniCredit Spa. Lewat UniCredit-lah Di Benedetto cs berhasil mengakuisisi Roma.
Awalnya, Di Benedetto cs mengakuisisi UniCredit Spa terlebih dahulu dengan membeli saham bank tersebut sebesar 60%. Lalu, untuk menyelelsikan utang Roma pada UniCredit, keluarga Sensi menawarkan kepemilikan saham di Roma sebesar 67%.
Di Benedetto kemudian menjadi presiden AS Roma ke-22. Namun karena Di Benedetto tidak terlalu berpengalaman di bidang bisnis olahraga, ia pun menyerahkan kepemimpinan Roma pada salah satu investor di kelompok investasi Benedetto, James Pallotta, setelah 11 bulan memimpin juara tiga kali Serie A ini.
Pallotta sendiri sebelumnya merupakan salah satu investor dalam kepemilikan klub basket asal AS, Boston Celtics. Dengan pengalaman tersebut, setidaknya Palotta lebih berpengalaman di bidang olahraga ketimbang Di Benedetto.
Hasilnya, dari segi finansial Roma berhasil meningkatkan rekapitulasi perusahaan hingga 100 juta euro karena tak lagi terjerat utang yang besar. Langkah Pallotta merekrut mantan Direktur Olahraga Lazio dan Palermo, Walter Sabatini, menjadi salah satu faktor peningkatan tersebut.
Sabatini adalah orang yang merekrut pemain macam Stephan Lichsteiner, Fernando Muslera, Valon Behrami saat bersama Lazio, serta mendatangkan Javier Pastore, Matteo Darmian, Ezequiel Munoz, Abel Hernandez, dan Josip Ilicic saat bersama Palermo. Di Roma, ia berhasil mendaratkan Erik Lamela dan Marquinhos pada awal kedatangannya.
Saat dibeli Roma, Lamela dan Marquinhos didatangkan dengan total biaya transfer sekitar 24 juta euro. Namun ketika dijual, Lamela ke Tottenham Hotspur sementara Marquinhos ke Paris Saint Germain, Roma mendapatkan 59 juta euro, mendapatkan keuntungan lebih dari dua kali lipat.
Dengan penjualan lain seperti yang mencapai 117 juta euro, Roma pun memiliki anggaran transfer yang cukup memadai. Dari penjualan-penjualan inilah Roma menghabiskan biaya transfer sekitar 73 juta euro, yang di antaranya adalah Kevin Strootman, Mehdi Benatia, Gervinho, Adem Ljajic, dan meminjam Radja Nainggolan pada pertengahan musim.
Skuat inilah yang kemudian memberikan fondasi kuat bagi Roma untuk kembali bersaing di papan atas Serie A selama dua musim terakhir. Meski belum bisa meraih scudetto, pada musim 2013/2014 dan 2014/2015 AS Roma selalu finis di urutan kedua klasemen, prestasi terbaik dalam lima musim terakhir.
Selain prestasi, Roma pun tengah berencana membangun stadion pribadi. Karena di Italia sendiri, hanya ada tiga klub yang memiliki stadion pribadi. Sedangkan Juventus saat ini merupakan klub terkaya di Italia setelah memiliki stadion pribadi. Inilah yang tengah coba dilakukan juga oleh Roma.
Selama ini Roma selalu menyewa stadion Olimpico sebagai markas mereka. Pendapatan Roma dari penjualan tiket pertandingan dalam satu musim sendiri hanya sekitar 8-9 juta euro. Inipun dengan catatan kapasitas penonton yang hanya dipenuhi sekitar 57%.
Milan dan Inter Harus Hati-Hati
Sebenarnya saat ini adalah momen yang tepat bagi tim-tim Italia untuk membuka diri pada pengusaha-pengusaha asing berdompet tebal. Pengusaha-pengusaha kaya ini bisa mempercepat pertumbuhan klub-klub Italia agar bisa kembali mengangkat pamor Serie A yang masih tertinggal dengan liga lain.
Apa yang terjadi dengan Parma adalah salah satu contoh mengapa Italia harus membuka diri pada investor asing. Memang, Parma sempat dibeli oleh seorang pengusaha asal Albania. Namun Keterlambatan Parma dalam menghadapi utang yang menumpuk, membuat pengusaha tersebut gagal mempertahankan Parma sehingga harus kembali menjual kepemilikannya dan pada akhirnya Parma mengalami kebangkrutan.
Dan Parma bukanlah yang pertama mengalami kebangkrutan di Italia dalam satu dekade terakhir. Pada 2006, Messina yang sempat berkompetisi di Serie A pada 2000-an, harus gulung tikar sehingga terlempar ke Serie D, seperti Parma, karena terlilit utang yang menumpuk.
Pun begitu dengan yang dialami oleh dua raksasa Italia, Napoli dan Fiorentina. Meski tak sampai bangkrut, keduanya pernah mengalami masa-masa sulit pada awal 2000-an. Beruntung, keduanya menyadari bahwa mereka tengah dilanda krisis. Akhirnya, keduanya mengerdilkan ego kebesaran mereka, yang mana mereka hanyalah kesebelasan medioker sebelum datangnya investor baru.
Apa yang dialami oleh Fiorentina dan Napoli itu harusnya menjadi pelajaran bagi Inter dan Milan. Keduanya saat ini begitu mempersiapkan musim yang baru setelah pada musim depan gagal tampil di kompetisi Eropa dengan pembelian pemain baru yang tak diimbangi dengan penjualan pemain.
AC Milan musim ini sudah meninggalkan masa-masa mencari pemain gratisan atau meminjam pemain. Dari total belanja pemain baru yang mencapai 62 juta euro, Milan hanya mendapatkan tambahan sekitar 9,5 juta euro dari penjualan pemain.
Ini berbeda dengan dua musim sebelumnya. Pada dua musim terakhir, Milan hanya berbelanja sebesar 53 juta euro. Jumlah itupun merupakan hasil dari penjualan pemain yang mencapai 128 juta euro lebih. Lewat keuntungan transfer ini, Milan mengontrak pemain-pemain bergaji mahal dengan harga gratis atau dengan status pinjaman.
Pun begitu dengan yang dilakukan Inter sebelum kedatangan Thohir. Pada musim 2012/2013, Inter hanya ‘merugi’ sekitar 13 juta euro saja dari kegiatan transfer. Bahkan jika ditambahkan dengan keuntungan yang didapat pada musim 2011/2012, kegiatan transfer Inter terbilang sehat dan tak merugi.
Namun setelah Thohir mengakuisisi, Inter mulai berani ‘tampil’ dalam aktivitas transfer. Sejak menjadi pesiden Inter pada akhir 2013, Inter telah belanja pemain dengan total transfer sekitar 95 juta euro. Sementara penjualannya hanya sekitar 56 juta euro.
Jika dibandingkan Milan, apa yang telah diinvestasikan Thohir ini mungkin terbilang kecil. Tapi jangan lupakan pula dengan transfer Miranda, Dodo, dan Marcelo Brozovic, di mana musim 2016/2017 Inter sudah dipastikan harus mengeluarkan biaya sekitar 21 juta euro yang merupakan bagian dari penyicilan ketiga pemain tersebut.
Inilah yang perlu diperhatikan oleh AC Milan dan Inter. Bagaimanapun, tujuan jangka panjang tak boleh dianggap sebelah mata. Apalagi jika misalnya skuat dengan biaya mahal ini gagal memberikan prestasi, pendapatan yang minim akan membuat hukuman Financial Fair Play menghantui keduanya.
Rasanya, untuk membangun kembali kekuatan, tim-tim Italia, khususnya Milan dan Inter, patutnya meniru apa yang dilakukan Juventus. Juventus yang sempat terdegradasi ke Serie B, harus perlahan-lahan membangun skuat dengan tak terlalu jor-joran dalam transfer saat kembali ke Serie A.
Pada beberapa musim awal saat kembali ke Serie A, Juve harus mengakhiri musim di papan tengah. Tapi selagi mereka membangun kekuatan, dengan para pemain muda seperti Sebastian Giovinco atau Claudio Marchisio. Mereka pun membangun stadion baru, Juventus Stadium. Dan setelah stadion baru ini bisa dipergunakanlah Juve mengawali dominasinya kembali di Serie A dengan menjuarai Serie A empat kali secara beruntun.
Perlu diketahui, menurut data yang dikeluarkan Deloitte, Milan dan Inter mengalami penurunan pendapatan pada musim 2013/14. Milan yang sebelumnya masuk 10 besar kesebelasan terkaya di dunia, harus terlempar ke peringkat 12. Inter pun harus turun dua peringkat ke peringkat 14 karena penurun pendapatan mereka.
Dan yang perlu diingat, data tersebut merupakan data yang kumpulkan pada musim 2013/2014. Belum termasuk pada musim 2014/2015 di mana keduanya gagal berprestasi. Maka tampaknya kedua kesebelasan akan kembali mengalami penurunan pendapatan.
Karenanya, musim yang baru dengan rekrutan pemain-pemain mahal ini akan menjadi pertaruhan tersendiri bagi kedua kesebelasan. Jika keduanya gagal berprestasi, apalagi sampai gagal berlaga di komeptisi Eropa, tak menutup kemungkinan keduanya bisa saja bernasib serupa dengan Napoli dan Fiorentina pada satu dekade yang lalu.
=====
* Penulis adalah aanggota redaksi @PanditFootball dengan akun twitter: @ardynshufi
** Foto-foto: Getty Images