Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Pelajaran dari Revolusi untuk Sepakbola Kuba

    Marini Saragih - detikSport
    Getty Images Getty Images
    Jakarta -

    Sepakbola tak selamanya bisa membusungkan dada. Di Eropa, Amerika Latin dan sebagian Asia, sepakbola memang nomor satu, tapi di Kuba sepakbola ibarat anak baru yang tak digubris teman-teman sekelasnya.

    Tokoh kunci perjuangan revolusi di Kuba, Che Ghuevara, sebenarnya adalah penggila sepakbola. Saat menjadi mahasiswa kedokteran Universtas Buenos Aires, Che memutuskan mengeliling Amerika Latin dengan mengendarai sepeda motor.

    Perjalanan tersebut terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama dilakukan pada tahun 1950 dan menempuh jarak 8.000 km seorang diri. Sedangkan yang kedua, ia menempuh jarak sejauh 4.500 km bersama dengan seorang karibnya Alberto Granada.

    Dalam perjalanannya tersebut ia banyak dibantu oleh sepakbola. Sepakbola membuatnya menjangkau rakyat dengan mudah dan leluasa. Ada kedekatan yang bisa ia bangun tanpa membutuhkan waktu yang terlalu lama dengan bola di kakinya.

    Lucunya, di beberapa tempat, Che juga sempat melatih beberapa kesebelasan sepakbola. Di Iqique, kota pelabuhan di utara Chile, ia melatih kesebelasan kuli bangunan. Sedangkan di Leticia, Kolombia, Che pun melakukan aktivitas sejenis. Dalam segala kesulitannya sebagai petualang dan revolusioner, Che, pada kenyataannya banyak terbantu oleh sepakbola.

    Walaupun pemimpin revolusi Kuba adalah orang yang sangat menggilai sepakbola, bukan berarti Kuba juga ikut menggemari sepakbola. Olahraga yang populer, yang menjadi olahraga rakyat di sana, adalah bisbol. Awalnya aneh juga jika mengingat Che adalah orang yang sangat berpengaruh di masyarakat Kuba. Seharusnya, ia juga bisa membawa kesenangan akan sepakbola ke dalam masyarakat Kuba. Namun pada kenyataannya, bisbol juaranya.

    Konon, olahraga ini adalah olahraga yang paling disukai oleh Fidel Castro. Barangkali dari situlah kita mengerti, dan akhirnya tidak perlu heran, bila orang-orang Kuba begitu menggilai bisbol.

    Katanya, ada kesenjangan yang begitu lebar antara bisbol dan sepakbola di Kuba. Misalnya dari segi penghasilan. Atlet bisbol biasanya menerima 2.000 pesso per bulan (sekitar 1 juta rupiah), sementara atlet sepakbola hanya menerima 530 peso (260 ribu rupiah).



    Kesenjangan lainnya tampak dalam hal ketersediaan infrastruktur. Di Kuba, menemukan lapangan bisbol bukan perkara sulit. Namun menemukan tempat yang layak untuk latihan atau bermain sepakbola benar-benar sulit.

    Akibat penghasilan dan fasilitas yang minim, tak heran jika sepakbola tidak populer di Kuba. Tim nasional mereka kerap menelan hasil mengecewakan. Bahkan pada pertandingan lawan Meksiko di gelaran Piala Emas 2015 kemarin, Kuba harus menyerah 6-0.

    Barangkali, di sana sepakbola menjadi begitu tidak menarik. Akibatnya, pengelolaannya dilakukan seadanya – skuat yang bertanding pun seadanya. Bukan hanya menyoal kemampuan dan keterampilan mengolah bola secara invidu tetapi juga mutu dan peran pelatih serta pembinaan lain yang dibutuhkan.

    Bahkan atas segala kesenjangan yang terjadi, ada banyak pesepakbola yang minggat ke Amerika Serikat demi mencoba peruntungan dan penghargaan yang lebih layak. Tindakan nekat ini pertama kali terjadi pada 2002. Rey Angel dan Alberto Delgado, yang tadinya membela Ciudad de La Habana yang bermarkas di Havana, minggat dari timnas di sela-sela perhelatan Piala Emas 2002 di Los Angeles. Keduanya lantas berhasil tampil di MLS, bersama kesebelasan Colorado Rapids.

    Agaknya sejumlah pesepakbola Kuba terinspirasi dari duet Angel-Delgado yang memanfaatkan momentum Piala Emas untuk melarikan diri. Setelah keduanya, penyerang tim nasional Maykel Galindo juga kabur saat gelaran Piala Emas 2005 serta Osvaldo Alonso (mantan kapten tim nasional Kuba) dan Lester More saat Piala Emas 2007.

    Pada Piala Emas 2011, giliran Yosniel Mesa yang kabur ke Amerika Serikat setelah melakoni laga pertamanya. Yang terbaru adalah Keiler Garcia. Penyerang dari kesebelasan Kamaguey ini mengikuti jejak para seniornya bahkan sebelum pertandingan pertama Kuba. Dua kasus terparah terjadi pada tahun 2008 dan 2012. Setidaknya ada tujuh pemain tim nasional U-23 Kuba yang melarikan diri dengan memanfaatkan babak kualifikasi Olimpiade 2008 dan lima pemain pada Olimpiade 2012. Sementara pada 2010, Pedro Faife dan Reiner Alacantra mangkir saat seharusnya bertugas membela Kuba pada kualifikasi Piala Dunia 2010.

    Adidaya bisbol sebagai olahraga yang telah mengakar dalam masyarakat Kuba, menjadikan sepakbola (termasuk penikmat dan penggiatnya) tidak bisa berbuat banyak.



    Namun beberapa tahun terakhir, terlebih sejak tahun 2010 (Piala Dunia sudah disiarkan oleh televisi Kuba sejak tahun 1994) di mana untuk pertama kalinya pertelevisian Kuba menyiarkan seluruh pertandingan Piala Dunia secara langsung – sebagian orang mulai sadar kalau ada candu dan kegilaan baru yang mulai gentayangan di seantero Kuba.

    Sepakbola mulai menjadi hal yang diperbincangkan. Anak-anak dan remaja mulai mengumpulkan gambar-gambar pesepakbola. Uang saku mereka pun mulai disisihkan demi membeli seragam replika pesepakbola atau tim kesayangan.

    Dalam sebuah wawancara, Carlos Mendez, seorang sopir taksi yang menjabat sebagai ketua perkumpulan penggemar fanatik Lionel Messi (hanya Messi, bukan Barcelona!) di Kuba mengisahkan kalau perhelatan Piala Eropa 2012 silam tak hanya membuat para penggemar sepakbola yang mulai tumbuh mengikuti setiap pertandingan yang disiarkan, namun lebih jauh lagi perhelatan itu membikin Kuba lumpuh. Semua penggemar sepakbola menonton dengan antusias. Katanya mereka juga hafal setiap detail pertandingan. Barangkali suasananya mirip saat televisi menyiarkan pertandingan Muhammad Ali dulu, jalanan sepi kosong melompong, toko pun banyak yang tutup.

    Sebagian orang Kuba menyebut kalau saat ini Kuba sedang memperjuangkan revolusi baru. Namanya revolusi sepakbola.

    Menyoal revolusi, dalam suratnya yang dipublikasi tanggal 12 Maret 1965 di majalah Marcha dan 11 April di majalah Verde Olivo, Che Guevara menjelaskan kalau sejarah revolusi Kuba dengan jelas menunjukkan massa sebagai modal yang paling fundamental. Che bilang kalau watak dan karakter asli seluruh perjuangan revolusi Kuba adalah rakyat itu sendiri.

    Sebagaimana telah diketahui, perjuangan revolusioner Kuba --yang mencapai puncaknya pada 1 Januari 1959—dimulai pada 26 Juli 1953. Sebuah kelompok yang dipimpin oleh Fidel Castro menyerang barak Moncada di Provinsi Oriente pada pagi hari. Namun naas, serangan tersebut gagal. Dan bagi para pejuang revolusioner kala itu, kegagalan tak ada bedanya dengan malapetaka. Mereka yang masih hidup dijebloskan ke dalam penjara. Perjuangan revolusioner baru bisa kembali dimulai setelah tahanan-tahanan tersebut dibebaskan melalui amnesti.

    Tahap selanjutnya adalah perang gerilya. Perjuangan ini pada dasarnya berkembang dalam dua lingkungan yang berbeda: rakyat, massa yang masih tertidur sehingga harus dimobilisasi; dan pelopornya yang merupakan pembangkit kesadaran revolusioner dan antusiasme militan. Pelopor ini merupakan agen yang membangkitkan kondisi subyektif yang diperlukan untuk memperoleh kemenangan.

    Januari 1959, pemerintahan revolusioner didirikan dengan keikutsertaan kaum borjuis yang membelot. Keberadaan tentara pemberontak (selanjutnya diubah menjadi kekuatan bersenjata revolusioner setelah kemenangan revolusi 1959) merupakan faktor mendasar dari kekuatan yang mengawal revolusi.

    Massa dalam catatan pergerakan revolusi Kuba juga berpartisipasi dalam reformasi agraria dan dalam tugas sulit mengelola perusahaan-perusahaan negara. Che juga menambahkan bahwa terkadang negara juga membuat kesalahan. Dan lagi-lagi, peran massa terlihat di sini. Pada saat terjadi kesalahan, akan terlihat penurunan antusiasme kolektif sebagai efek penurunan kuantitatif pada masing-masing elemen yang menyusun massa. Kerja menjadi lumpuh hingga mencapai penyusutan jumlah ke tingkat yang tak memadai.

    Makanya, jika “revolusi sepakbola” di Kuba ingin berhasil, sepakbola itu mau tak mau harus menjadi milik masyarakat. Dalam suratnya tersebut, Che menjelaskan masyarakat Kuba sebagai orang-orang yang menolak hukum dan eksistensi kapitalisme – walaupun rasanya membicarakan hal itu dalam dunia sepakbola era modern sarat industrialisasi seperti sekarang adalah kemustahilan belaka. Namun demikianlah yang terjadi pada Kuba. Negaranya menjadi makmur atas kegigihannya menghidupi paham yang ia yakini.



    Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa revolusi Kuba berkembang dalam dua lingkungan yang berbeda; rakyat yang harus dimobilisasi dan para pelopor yang memobilisasi. Barangkali hal ini terdengar naïf, namun jika federasi sepakbola Kuba atau pihak-pihak tertentu ingin mulai menghidupi sepakbola, agaknya juga harus memiliki kelompok massa dan pelopor.

    Kelompok pelopor seharusnya diisi oleh orang-orang yang memang memiliki pengetahuan dan keinginan lebih perihal sepakbola di Kuba. Orang- seperti Carloz Mendez dan teman-temannya bisa menjadi alternatif. Sedangkan massa tentu saja rakyat, mereka yang mulai menggilai sepakbola tetapi jengah karena sepakbola kerap menjadi yang terpinggirkan. Pengetahuan mereka kemungkinan besar tidak akan seluas para pelopor, namun di sinilah para peranan pelopor. Ada fungsi edukasi yang harus dijalankan. Memang terdengar klise, tapi sefantastis apapun suatu konsep ia tetap akan menjadi klise selama tidak direalisasikan.

    Para pemimpin “revolusi sepakbola” Kuba bersama kelompok pelopor harus bisa memobilisasi massa. Dan dalam hal mobilisasi massa, lagi-lagi apa yang dipercayai oleh duet Castro-Guevara baik untuk diterapkan. Menurut Che, Fidel punya kekhasan yang sekaligus menjadi kekuatan dalam memimpin. Ia selalu menyatu dengan rakyatnya. Dalam suratnya tersebut Che memetaforakannya dengan sederhana namun terdengar indah.

    “Dalam rapat umum raksasa seseorang dapat mengamatinya (Fidel) bagai dialog antara dua garpu penala yang saling bergetar menghasilkan suara baru. Fidel dan massa mulai bergetar bersama dalam sebuah dialog yang intensitasnya makin tumbuh hingga mencapai klimaks dalam sebuah muara jeritan perjuangan dan kemenangan.”

    Bisbol menjadi besar dan awet karena ia mengakar pada masyarakat Kuba. Di Kuba, bisbol adalah permainan dan olahraga dari generasi ke generasi. Dan generasi tersebut belum pernah menyediakan tempat buat sepakbola. Sepakbola itu orang asing buat Kuba. Mereka tahu kalau sepakbola ada, namun karena tak pernah menjadi satu dengan Kuba – tak ada yang merawatnya.

    Lantas, jika ingin hidup, sepakbola memang harus belajar pada bisbol. Dan apa boleh buat, usai jam pelajaran, sepakbola yang baru terbentuk harus bersaing gigih dengan bisbol yang sejak lampau merebut tempat dalam masyarakat Kuba.



    =====

    * Akun twitter penulis: @marinisaragih dari @panditfootball

    (a2s/din)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game