Simbiosis Mutualisme Antara AS, Australia, China, dan Pesepakbola Tua

Di tahun 2007, kala usianya masih 32 tahun, keputusan David Beckham untuk hengkang dari Real Madrid ke Los Angeles Galaxy menggemparkan semua orang. Banyak yang terheran-heran dengan keputusan pemain flamboyan asal Inggris tersebut, mengingat pada saat itu Amerika Serikat bukanlah negara yang dekat dengan sepakbola.
Pindah dari La Liga Spanyol ke Major League Soccer (MLS) Amerika Serikat dipandang sebagai sebuah langkah mundur, bahkan bagi pemain yang sudah berusia kepala tiga seperti Beckham.
Kejadian tersebut memang sudah terjadi 8 tahun yang lalu. Nyatanya, banyak hal yang sudah berubah dalam sewindu di dunia sepakbola, terutama di Amerika Serikat. Saat itu Beckham menjadi pemain marquee (marquee player) pertama di MLS yang sudah berdiri sejak 1996. Selama 11 tahun, dari 1996 sampai 2007, bisa dibilang tidak ada satupun marquee player di MLS.
Sebelum Beckham, memang ada beberapa nama besar seperti Pele, Johan Cruyff, dan Franz Beckenbauer yang sudah terlebih dahulu bermain sepakbola di Negeri Paman Sam pada medio 1970 dan 1980-an. Namun, saat itu MLS belum terbentuk, dan liga sepakbola di AS masih bernama North American Soccer League (NASL; sekarang pun masih ada).
Tiga nama besar di atas memang tak terbantahkan lagi di dalam sejarah sepakbola dunia. Tapi sejujurnya, efek mereka kepada sepakbola AS tidak sebesar efek Beckham pada 2007. Sejak alumnus Manchester United itu bergabung dengan LA Galaxy, transfer MLS mengalami revolusi besar-besaran.
Singkatnya, efek Beckham ini berdampak pada peraturan designated player yang juga dikenal dengan the Beckham Rule, yang memperbolehkan setiap kesebelasan MLS untuk mengontrak tiga pemain di atas salary cap. Peraturan ini sudah merevolusi MLS sampai berdampak pada bisnis, keuangan, nama besar, dan juga sepakbola itu sendiri.
Sejak Beckham hijrah ke MLS, ada lebih dari 180 pemain dari lebih dari 30 negara, dari mulai Albania sampai Venezuela, yang sudah mendapatkan keuntungan dari designated player rule ini.
Kesuksesan peraturan ini nyatanya tidak saja berdampak pada AS. Liga-liga sepakbola di berbagai negara maju juga banyak yang mengadopsi peraturan marquee player ini, dua di antaranya yang juga cukup fenomenal adalah Australia dan China.
Dari semua pemain yang pindah ke AS, Australia, atau China, terdapat satu pola umum yang terjadi, yaitu kebanyakan pemain tua yang hijrah ke MLS, A-League (Australia), maupun Liga Super China. Tiga negara ini seperti sudah menjadi tanah persiapan masa tua atau masa pensiun para pemain sepakbola, atau bahkan lebih parahnya lagi bisa dibilang mereka adalah "panti jompo" bagi pemain sepakbola.
Jadi intinya, memperbolehkan sebuah tim untuk membayar mahal seorang pemain sepakbola (yang setidaknya sudah terkenal) untuk bermain di sebuah liga sepakbola bisa membuat liga tersebut naik daun?
Jika pertanyaan di atas dapat dijawab dengan jawaban "ya", maka kita sudah menemukan formula awal agar sebuah liga dapat berkembang. Tapi tetap saja, kita harus mencari alasan lainnya kenapa ada hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) antara pemain sepakbola yang sudah mulai menua dengan liga sepakbola di negara-negara maju seperti AS, Australia, dan Cina.
Faktor uang
Tidak dapat dipungkiri, uang dalam banyak hal adalah penggerak dan motivasi utama. Saat direkrut Galaxy, Beckham dikontrak 6,5 juta dolar AS atau sekitar 90 miliar rupiah per tahun. Ini adalah angka yang luar biasa, tapi wajar karena Beckham memang merupakan pemain yang sudah sangat terkenal.
Jika melihat pemain lainnya di MLS musim ini, didapati bahwa para marquee player yang dibayar mulai dari 60 ribu dolar AS (830 juta Rupiah) sampai 7,1 juta dolar AS (98 miliar Rupiah). Sebagai perbandingan, gaji para pemain MLS dirilis dan terbuka untuk diketahui secara umum melalui situs resmi MLS Players Union. Menurut dokumen dari MLS Players Union di atas, gaji pemain MLS minimal (bukan marquee player) adalah 50 ribu dolar AS atau sekitar 693 juta rupiah.
Pemain seperti Kaka (33 tahun) di Orlando City SC, Sebastian Giovinco (28) dan Michael Bradley (28) di Toronto FC, Steven Gerrard (35), Robbie Keane (35), dan Giovanni dos Santos (26) di LA Galaxy, Frank Lampard (37), David Villa (33), dan Andrea Pirlo (36) di New York City FC), sampai Didier Drogba (37) di Montreal Impact, adalah mereka yang dibayar setidaknya 30 miliar rupiah selama satu tahun.
Jika kita lihat rata-rata biaya hidup di AS, berdasarkan website Start Class, biaya hidup dua orang (seorang suami dan seorang istri) dengan tiga orang anak dapat menghabiskan sekitar 800 juta rupiah per tahun. Jadi, angka di atas secara umum sudah di atas rata-rata, apalagi misalnya untuk Kaka (Rp 98 miliar per tahun) atau Gerrard (Rp 87 miliar), mereka bisa hidup dengan sangat mewah.
Menyeberangi Samudera Pasifik menuju Australia, salary cap dari marquee player ini sudah berkembang setiap tahunnya. Mulai dari 1,5 juta dolar pada 2005, sampai akhirnya tahun ini mencapai angka 2,5 juta dolar.
Tidak seperti di AS, pemain marquee di Australia tidak setenar di MLS. Mereka antara lain adalah Robert Koren (34 tahun) dan Aaron Hughes (35) di Melbourne City FC, Besart Berisha (30) di Melbourne Victory FC, Diego Castro (33) di Perth Glory FC, dan Eugene Galekovic (34) di Adelaide United FC.
Namun, pada beberapa tahun terakhir ini, mereka sempat kedatangan beberapa pemain tua yang sempat terkenal, antara lain Emile Heskey (Newcastle Jets FC, 2011), David Villa (Melbourne City, 2014), Alessandro del Piero (Sydney FC, 2012-2014), Matthieu Delpierre (Melbourne Victory, 2014-sekarang), Damien Duff (Melbourne City, 2014-2015), Shinji Ono (Western Sydney Wanderers FC, 2012-2014), Orlando Engelaar (Melbourne Heart, 2013-2014), Dwight Yorke (Sydney FC, 2005-2006), sampai Sergio van Dijk (Brisbane Roar FC, 2008-2010; dan Adelaide United, 2010-2013).
Tak berbeda dengan AS dan Australia, China juga sudah menjadi tujuan bagi pemain sepakbola berusia tua tentunya dengan nilai kontrak yang besar pula. Musim ini saja kita bisa melihat Robinho (31) di Guangzhou Evergrande Taobao FC, Zvjezdan Misimovic (33) dan Sejad Salihovic (30) di Guizhou Renhe, Diego Tardelli (30) di Shandong Luneng Taishan, Asamoah Gyan (29) di Shanghai SIPG, Eidur Gudjohnsen (36) di Shijiazhuang Ever Bright FC, serta Mohamed Sissoko (30), Demba Ba (30), dan Tim Cahill (35) di Shanghai Greenland Shenhua.
Bermain reguler di tim utama
Setelah uang, tidak ada yang membuat pesepakbola menjadi bahagia selain bermain. Dari beberapa nama yang disebutkan di atas, kebanyakan dari mereka adalah pemain yang usianya sudah di atas 30 tahun. Pemain berusia senja ini sangat riskan untuk tidak bermain reguler di liga level tinggi, misalnya di Premier League, Serie A, La Liga, Ligue 1 Bundesliga, Eredivisie, dan lain-lain.
Inilah kenapa dalam setiap pemain seperti Beckham, pasti ada pemain seperti Obafemi Martins (30) di Seattle Sounders FC atau Liam Ridgewell (31) di Portland Timbers. Mereka inilah yang, selain membuat MLS sebagai tanah pensiun mereka, juga berkesempatan untuk memantapkan status mereka sebagai pemain sepakbola kelas atas di MLS.
Martins misalnya, mantan penyerang Inter Milan asal Nigeria ini sudah mencetak 32 gol untuk Sounders sejak 2013. Bayangkan jika ia tetap di Levante UD (La Liga), mungkin kariernya tidak akan menanjak lagi.
Pada kenyataannya, ada banyak contoh pemain seperti ini, antara lain Bradley Wright-Phillips yang menjadi pemain kunci di New York Red Bulls dan Keane di LA Galaxy yang musim lalu menjadi MVP.
Bahkan kepindahan mantan penyerang Chelsea asal Pantai Gading, Didier Drogba, ke Montreal sudah dianggap sebagai "hari terbesar sepanjang sejarah kesebelasan" oleh Joey Saputo, presiden Montreal Impact. Mereka tidak peduli berapapun usia pemain yang datang ke MLS, yang jelas mereka adalah pemain bintang dan akan bermain reguler di kesebelasan barunya tersebut, bahkan tak jarang yang tetap bermain dominan di hari tua.
Begitu juga dengan Aaron Hughes dan Fahid Ben Khalfallah di A-League, mereka seperti awet muda kembali di Australia dengan seringnya bermain reguler dan mendapat perhatian khusus di atas lapangan.
Bagi mereka semua, level liga sepakbola di AS, Australia, atau China yang memang tidak setinggi kebanyakan liga sepakbola di Eropa, membuat mereka bisa bermain lebih santai dan lebih menyesuaikan dengan gaya bermain mereka yang sudah mulai melambat.
Hidup di kota besar
Di luar hal-hal di atas, ada satu hal lain yang menjadi daya tarik para pemain sepakbola untuk datang ke AS, Australia, maupun China. Daya tarik tersebut adalah gaya hidup di kota besar. Misalnya saja, bagi Gerrard, hidup di LA akan membuatnya semakin "gaul". Bahkan mungkin saja Andrea Pirlo yang agak kaku dapat mengubah sedikit gaya hidupnya di New York yang sangat sibuk dan padat.
Daya tarik kota besar yang biasanya sejalan dengan prestasi kesebelasan lokal di Eropa, juga membuat pemain sepakbola tidak punya opsi yang terlalu menguntungkan jika ingin: (a) tetap mendapatkan banyak uang, dan (b) bermain reguler.
Kita bisa ambil contoh Rio Ferdinand. Setelah terbuang dari Manchester United, ia malah pindah ke Queens Park Rangers. Hal ini ia lakukan bisa jadi karena ia ingin tetap dibayar mahal, harapan bermain reguler (di kesebelasan yang lebih inferior daripada United), dan juga tentunya hidup di kota besar di London.
Sayangnya tidak semua hal berjalan sesuai rencana. Ada banyak faktor tentunya. Tapi bisa disimpulkan secara banal bahwa Ferdinand sudah salah memilih kesebelasan jika tiga hal di atas adalah pertimbangan utamanya: ia memang dibayar mahal dan bisa hidup di kota besar, tapi ia tidak bermain reguler, sehingga akhir kariernya pun tidak sesuai dengan ekspektasi kebanyakan atlet olahraga.
Seperti yang kita tahu juga, jika seorang pemain ingin tetap bermain reguler di masa tua, ia biasanya pindah ke tim papan bawah (syukur-syukur papan tengah) atau pindah ke divisi yang lebih rendah.
Sedangkan MLS, A-League, ataupun Liga Super Cina, memiliki tiga kriteria di atas yang sudah kita bahas dalam satu kesebelasan, asal kesebelasan tersebut tepat untuk mereka. Kota besar seperti LA, New York, Melbourne, Sydney, Beijing, dan Shanghai, adalah beberapa kota besar yang bisa membuat para pemain sepakbola kepincut.
Waktu kompetisi
Ini adalah faktor terakhir yang dianggap menjadi daya tarik bagi pesepakbola tua, yaitu waktu kompetisi. Misalnya MLS, liga sepakbola ini dimulai pada Maret, berakhir pada Oktober, dengan play-off dan final yang sudah rampung pada awal Desember.
Ini akan membuat pemain bisa memiliki masa liburan pada Bulan Desember (biasanya liburan Natal) bersama keluarganya, dan tentunya pulang ke negara asalnya. Atau jika klubnya tidak lolos play-off pun, sang pemain bisa saja memiliki liburan yang lebih panjang atau dipinjamkan ke kompetisi elit Eropa.
Jika kita lihat kembali kasus Beckham, tanpa transfernya ke LA Galaxy, kita pasti akan sulit membayangkan dirinya bermain kembali di Liga Champions UEFA bersama AC Milan di usianya yang sudah pertengahan 30-an. Faktor ini juga yang membuatnya bisa pensiun dengan gelar juara Ligue 1 bersama Paris Saint-Germain di usianya yang sudah 38 tahun.
Kasus seperti ini sudah marak di MLS, misalnya saja Thierry Henry yang sempat dipinjamkan kembali ke Arsenal, David Villa yang dipinjamkan ke Melbourne City, dan bahkan Frank Lampard yang juga dipinjamkan ke Manchester City. Jangan heran jika nanti bisa saja kita melihat Gerrard dipinjamkan ke Liverpool.
Menyeberang dari AS, di China kompetisi dimulai dari Februari atau Maret, tergantung musim semi dimulainya kapan, dan berakhir pada November atau awal Desember (awal musim dingin). Ini juga yang membuat para pemain bisa menghabiskan liburan Natal bersama keluarganya di negara asal mereka.
Kemudian jika di Australia akan banyak berbeda dengan di AS dan China. A-League dimulai pada musim panas, yaitu dari awal Oktober sampai April di tahun berikutnya. Sementara babak play-off akan berakhir pada Mei.
Kompetisi Australia ini memang lebih panjang daripada di AS, tapi iklim yang lebih bersahabat dan juga jumlah kesebelasan yang lebih sedikit (10 kesebelasan) akan membuat pemain A-League merasakan "setengah kompetisi, setengah liburan."
Perkembangan ke depan
Dari empat faktor utama daya tarik di atas, kita tentunya bisa memahami kenapa banyak pemain sepakbola, terutama yang sudah tua, untuk pindah ke AS, Australia, ataupun China. Jangan kaget jika dalam satu dekade ke depan, jika kebiasaan ini terus berlanjut, kita bisa melihat perkembangan yang revolusioner dari sepakbola ketiga negara tersebut.
Efek terdekat dari perkembangan ini bahkan sudah kita lihat dari pra-musim kemarin, ketika International Champions Cup diselenggarakan di tiga negara tersebut. Sadar maupun tidak, ICC 2015 adalah bagian dari pemasaran AS, Australia, dan China, untuk mempopulerkan liga sepakbola negara mereka secara tidak langsung. Siaran televisi, turisme, dan segudang pemasukan lainnya dari ICC 2015 adalah awal dari perkembangan sepakbola di sana.
Jangan kaget juga jika bukan saja tiga negara ini yang bisa mengakali liga sepakbola mereka. Saat ini, pemain seperti Xavi Hernandez (35 tahun) yang hijrah ke Liga Qatar, liga lain di Timur Tengah yang semakin sering juga kedatangan bintang sepakbola dunia, Liga Super India yang mulai menjadi magnet bagi Helder Postiga (33), Elano (34), Roberto carlos (42), Nicolas Anelka (36), Simao Sabrosa (35), Adrian Mutu (36), dan Lucio (37); banyak pemain tua yang ingin merasakan terus awet muda.
Saat ini, bisa dibilang hanya MLS, A-League, dan Liga Super China yang sudah menjadi "fountain of youth" bagi para pesepakbola tua. Tapi, bisa jadi selanjutnya kita akan membicarakan Qatar, India, atau Uni Emirat Arab.
Sepakbola yang terus tumbuh di negara maju dan negara berkembang, dengan didukung oleh kekuatan finansial, sederhananya akan membuat liga sepakbola mereka dan para pesepakbola bintang yang sudah menua memiliki hubungan simbiosis mutualisme yang berkelanjutan.
====
* Akun twitter penulis: @dexglenniza dari @panditfootball
** Foto-foto: Getty Images