Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Barista di Tribun Timur

    Marini Saragih - detikSport
    (Ilustrasi/dok. detikFoto) (Ilustrasi/dok. detikFoto)
    Jakarta -

    Dari tribun timur Si Jalak Harupat, saya menikmati kelancangan yang samar-samar dari seorang penjual kopi keliling.

    Gol yang dicetak Ilija Spasojevic membikin Jalak Harupat bersorak. Orang-orang yang tadinya duduk mendadak bangkit dan mengangkat kedua tangan. Mereka yang menyanyikan puja-puji turut memperkeras suaranya. Jalak Harupat meriah, semua mata tertuju ke arah lapangan, kecuali mata si penjual kopi.

    Apa yang terjadi di atas lapangan tak pernah menjadi urusan si penjual kopi keliling, karena yang menjadi urusannya adalah kami yang duduk di tribun penonton. Urusannya dengan kami, para penonton, juga bukan urusan sepele. Ini urusan perut yang hanya beberapa jengkal, tapi juga berarti hidup dan mati. Siapapun yang menang, kesebelasan manapun yang kalah, tak akan jadi soal selama kopi-kopi dalam kemasan itu terseduh dan menjadi uang beberapa ribu rupiah.

    Soreang sedang dingin-dinginnya dan pertandingan hari itu berlangsung satu jam menjelang malam hari. Kebanyakan para penonton tak memakai jaket ataupun baju berlapis, termasuk saya. Kalau saya adalah si penjual kopi, saya bakal girang. Ini kesempatan merebut rezeki. Dagangan bakal laku keras. Setangguh-tangguhnya manusia, ia bakal kalah, atau setidaknya tak nyaman, jika berlama-lama dalam dingin. Harus ada yang membikin hangat, agar badan tak segera tumbang.

    Pertandingan baru berjalan 10 atau 15 menit, si bapak berkali-kali dipanggil penonton. Sependengaran saya, tak ada yang memanggilnya dengan sebutan "Pak". Mereka yang suaranya masih terjangkau telinga saya memanggilnya "Mang". Aih, agaknya saya tahu mengapa dia kerap sumringah

    Katanya, menurut aksara Sunda, panggilan "Mang" ditujukan buat pria yang lebih tua. Tapi panggilan itu menandakan keakraban. Dan yang namanya keakraban, tentu membikin nyaman. Semacam membenarkan anggapan kalau di stadion, selama membela klub yang sama, semua bisa menjadi teman.

    Persib mencetak gol kedua sebelum babak pertama berakhir. Saya mengalihkan pandangan ke arah bapak penjual kopi. Kakinya cekatan naik-turun undakan stadion. Ia sabar saat menunggu pembeli yang berjalan ke kanan dan kiri tribun tempat ia mondar-mandir. Sesekali topinya dilepas untuk digunakan sebagai kipas seadanya. Astaga, saya di sini kedinginan, dia malah kepanasan.

    Seisi stadion menyoraki Spasojevic karena dua golnya, bahkan sebelum babak pertama berakhir. Stadion penuh dengan orang-orang yang kegirangan. Koreografi dari tribun selatan tampak cantik, tabuhan drum dari tribun timur membangun irama rancak. Menyenangkan, sisa-sisa hari itu berjalan dengan asyik.



    Tapi si bapak tetap tak peduli walaupun ada bule yang menambah keunggulan Persib. Bahkan, beberapa saat setelah gol kedua itu, si bapak terlihat sibuk menghitung uang hasil dagangannya. Jemarinya bergerak cekatan, seolah tak mau kalah dengan kelincahan para pegawai bank.

    Selesai menghitung, uang itu disimpannya tanpa ragu di tas selempang butut yang dibawanya. Ia tak takut untuk menyimpan uang yang bisa jadi, adalah seluruh penghasilannya hari itu, di tempat yang mencolok. Barangkali, ia benar-benar sudah kenal dengan stadion ini, jadi tak ada yang perlu ditakutkan.

    Menit-menit turun minum tak hanya jadi keriaan buat para pemain, tapi buat kami para penonton. Waktu yang durasinya tak seberapa jika dibandingkan dengan keseluruhan pertandingan adalah saat yang tepat buat meregangkan otot dan mengistirahatkan syaraf yang menegang akibat adrenalin yang terpacu sepanjang babak pertama.

    Di menit-menit ini si bapak tambah sibuk. Mirip dengan saya kalau dikejar tenggat waktu pekerjaan. Jalannya makin cepat, ia makin sergap dalam mengaduk minuman-minuman yang dipesan para penonton. Topinya miring, seperti mau jatuh. Tapi dibiarkan saja. Lebih baik kehilangan topi daripada kehilangan pembeli.

    Menjelang berakhirnya turun minum, saya berjalan menuruni undakan tribun timur. Saya bilang ke si bapak kalau saya mau beli kopi, lalu menunjuk kopi kemasan berwarna merah. Kata orang, ini kopi banci, bukan kopi yang sebenarnya. Ah, peduli setan.

    Tak sampai semenit setelah anggukan si bapak sebagai tanda bahwa ia paham kopi apa yang saya mau, jari-jarinya dengan sigap menyobek bungkus kopi. Serbuk kopi warna coklat itu dimasukkan ke dalam gelas plastik bekas air mineral. Dengan sekali tekan, air panas mengalir dari termos warna merah muda. Kopi itu diaduknya dengan sendok kecil yang entah sudah berapa kali digunakan. Tapi saya tak peduli, saya mau minum kopi seduhannya sebelum pertandingan dimulai. Setelah selesai, kopi dalam gelas plastik itu disodorkannya kepada saya.

    Saat menunggu uang kembalian, saya bilang padanya, "Nongton atuh, Pak," dengan logat Sunda yang pasti terdengar menyedihkan. Ia menengadah mendengar omongan saya. Tertawa tanpa suara, lalu memberikan uang kembalian yang saya tunggu. Dengan cepat ia beranjak dari tempat itu saat mendengar seruan "Mang" dari bangku yang ada lebih ke bawah. Dari kejauhan, rompi kuning yang jadi seragam para penjaja kuliner stadion, terlihat lebih mirip syal daripada rompi. Lucu sekali.


    Saya kembali ke bangku. Membiarkan kedua telapak tangan menyerap panas dari gelas plastik yang saya pegang. Saya suka hangat yang seperti ini. Asap kopi itu mengepul-ngepul. Ia jadi lawan yang tepat buat udara dingin Soreang.

    Saya memperhatikan wadah plastik itu. Tak ada nama saya di sana. Biasanya, barista kedai kopi ternama itu selalu menanyakan nama saya. Hanya buat ditulis di bagian luar gelas, supaya pembeli yang lain tak keliru dan meminum kopi itu karena rupa sajiannya mirip-mirip. Upaya mengetahui nama di beberapa tempat, memang hanya berfungsi sebagai prosedur, bukan usaha untuk menjadi karib.

    Lima-empat menit menjelang babak kedua dimulai, saya menyesap kopi itu pelan-pelan. Rasanya enak walaupun harganya tak seberapa. Saya suka sensasi minum minuman panas, rasanya perut menjadi hangat dalam seketika. Kopi itu tak terlalu manis, tak juga hambar akibat kebanyakan air.

    Saya mendiamkan kopi itu sejenak. Hangatnya bertahan lumayan lama. Si bapak penjual kopi masih mondar-mandir. Tangannya yang keriput tetap lihai meracik kopi. Di tribun itu ia adalah barista. Ia barista yang membiarkan saya menikmati kesenangan tanpa harus kehilangan banyak hal yang saya upayakan berjam-jam setiap hari.

    Sebentar lagi pertandingan dilanjutkan. Saya menatap kopi yang tinggal separuh. Seketika saya ingat satu puisi yang berpesan: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.
     
    ====

    *Tulisan ini ditulis ketika Persib berlaga di Piala Presiden. Penulis sendiri biasa menulis untuk situs @panditfootball dan beredar di dunia maya dengan akun @marinisaragih.




    (roz/mfi)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game