Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Mereka yang Dibuang Amerika

    Frasetya Vady Aditya - detikSport
    (John Powell/Liverpool FC via Getty Images) (John Powell/Liverpool FC via Getty Images)
    Jakarta -

    Penggemar Liverpool diliputi euforia. Kehadiran Juergen Klopp seolah membuat mereka lupa atas hasil dan permainan buruk The Reds di atas lapangan. Klopp hadir dan menghipnotis; membuat orang yang apatis kini menjadi optimis.

    Klopp memang istimewa. Ia bagaikan dewa. Dalam waktu singkat, permainan Liverpool yang berjingkat, kini dibuatnya naik tingkat. Perubahan permainan itu nyata dan membuat penggemar Liverpool menggali kembali semua asa untuk meraih gelar juara.

    Mauricio Pochettino pastilah merasa iri. Bermain di kandang sendiri, semua perhatian malah pergi. Sorot perhatian lebih tertuju pada pelatih lawan. Padahal, Liverpool tidaklah menang. Liverpool cuma bermain imbang.

    Rasa bahagia itu bukan dinikmati pendukung Liverpool semata. Para pria yang biasa duduk di boks kehormatan Stadion Anfield, turut merasa lega. Hanya kesuksesan yang bisa membuat semua dosa terhapus lupa.

    Kehadiran Klopp membuat ingatan tentang Brendan Rodgers terkubur begitu dalam. Padahal Rodgers-lah yang untuk pertama kali dalam beberapa tahun terakhir membawa Liverpool ke masa yang paling dekat untuk merengkuh juara. Dunia memang fana; begitu pula dengan rasa benci dan cinta.

    Menghadapi Pemilik yang Tak Sabaran

    Brendan Rodgers masuk ruang konferensi pers dengan gembira. Hasil seri dalam Derby Merseyside tidaklah buruk baginya. "Secara garis besar, saya puas dengan penampilan Liverpool," tutur Rodgers di ruang konferensi pers.

    Ketika ditanya masa depannya, Rodgers mulai bicara panjang lebar, "Saya tak pernah merasakan tekanan apapun."

    Rodgers pun memberi pernyataan tegas yang membuat para redaktur olahraga media cetak di Indonesia yakin kalau dirinya tetap berada di Liverpool, "Saya tak pernah diminta atau diharuskan mengantar Liverpool ke empat besar sejak saya di sini."

    Sejumlah media cetak di Indonesia sudah naik tenggat. Mayoritas dari mereka menurunkan berita tentang masa depan Rodgers. Saat koran sudah dicetak dan siap didistribusikan, berita itu muncul: Rodgers resmi dipecat!

    Pemecatan tersebut memang tidak mengherankan, tapi tetap saja mengejutkan. Lambat laun pemecatan tersebut memang akan terjadi karena rentetan hasil buruk yang diraih Liverpool. Lalu, drama kembali tercipta di Melwood, pusat latihan Liverpool, saat media tahu kalau Rodgers dipecat lewat panggilan telefon. Para pemain yang baru turun dari bis pun belum mengetahui kalau Rodgers sudah dipecat.

    "Kami ingin berterima kasih pada Brendan Rodgers atas kontribusinya yang begitu signifikan bagi klub dan ini merupakan ungkapan rasa syukur kami atas kerja keras dan komitmennya. Kami telah mengalami masa-masa indah bersama Brendan sebagai manajer dan kami percaya dia akan menikmati karier yang panjang," tutur pemilik Liverpool, John W. Henry, dilansir situs Fenway Sports Group (FSG).



    Dikutip dari Dailymail, FSG sebenarnya sudah memutuskan memecat Rodgers sejak seminggu sebelumnya. Namun, mereka tak ingin memecah konsentrasi tim untuk menghadapi Derby Merseyside.

    Pemecatan tersebut seolah mengingkari kalau Rodgers adalah bagian dari klub sebagaimana halnya dengan suporter. Sempat membawa Liverpool kembali ke empat besar, bahkan hampir juara, tentu Rodgers layak mendapatkan penghargaan dari seisi stadion. Namun hal tersebut tak dilakukan. Rodgers dengan tergesa memesan tiket pesawat dengan tujuan Spanyol untuk libur dan menenangkan diri.

    Penggemar Liverpool mungkin tak terkejut karena pemecatan telah santer terdengar. Namun, cara yang dilakukan FSG seolah tak menghargai kebesaran Rodgers itu sendiri. Para penggemar tentu masih ingat bagaimana FSG memecat sang legenda, Kenny Dalglish, dengan cara yang tak jauh beda.



    Usai pertandingan terakhir pada musim 2011/2012, pria yang mempersembahkan gelar Premier League untuk Blackburn Rovers pun terbang ke Boston, markas FSG, untuk bertemu dengan John Henry dan Tom Werner. Ia ingin mempresentasikan rencana ke depan Liverpool di tangannya serta memastikan posisinya. Memang, pada April lalu saat Director of Football Liverpool, Damien Comolli dipecat, Werner menyatakan kalau posisi Dalglish aman. Tapi tak ada salahnya kalau Dalglish ingin memastikan masa depannya agar liburannya bisa lebih tenang.

    Sepekan sebelum keberangkatan ke Boston, kepada media Dalglish bicara soal rencana tim musim depan. Lagipula, saat pertama kali datang ke Anfield 18 bulan sebelumnya, Dalglish dihadapkan dengan sejumlah masalah pelik yang membuat Liverpool berada di papan tengah. Perubahan tak bisa dilakukan dalam satu malam. Pria yang meraih enam gelar juara Liga Inggris sebagai pemain ini pun menyusun rencana jangka panjang untuk menyehatkan kembali "Si Merah".

    Namun, Dalglish pulang lebih cepat. Ia tak turut bersama asisten manajer Steve Clarke yang diajak nonton bareng Henry dan Werner dalam pertandingan Boston Red Sox—klub bisbol milik FSG—menghadapi Seattle Mariners.

    Meski mempersembahkan trofi pertama Liverpool dalam enam musim terakhir, tapi pemecatan tetap menjadi takdir buat Dalglish. Henry bahkan menganggap kalau gelar juara Piala Liga saja tidak cukup; "Piala FA pun tak akan membawa perubahan," tutur Henry.

    Rencana jangka panjang Dalglish mestinya dihormati sebagai bagian dari kontrak tiga tahun yang disodorkan FSG. Argumen Dalglish valid bahwa butuh proses yang berkesinambungan untuk bisa bersaing dengan klub papan atas Inggris. Faktanya Dalglish mengangkat Liverpool pada musim 2010/2011 dari peringkat ke-13 pada pekan ke-21 menjadi peringkat ke-6 pada akhir musim.

    Tak Diperpanjang Usai Pertandingan

    Hal serupa juga dirasakan Rio Ferdinand saat kontraknya di Manchester United tak diperpanjang pada musim 2013/2014. Padahal Rio adalah bagian intergral dari pertahanan United sejak 2002. Selama 12 tahun pengabdiannya, Rio berkontribusi atas enam trofi Liga Primer Inggris dan satu trofi Liga Champions.

    Mantan pemain Arsenal, Martin Keown, menyayangkan sikap CEO MU, Ed Woodward, yang dianggapnya tidak berkelas. Ini karena manajemen MU yang tidak memperpanjang kontrak Rio usai pertandingan terakhir MU di ruang ganti. Ini mengakibatkan Rio tak mendapatkan penghormatan terakhir secara resmi dalam sebuah pertandingan oleh suporter. Bahkan, Rio pun apakah kontraknya akan diperpanjang atau tidak.

    "Rio seharusnya diberi tahu sebelum pertandingan terakhur United sehingga ia memiliki kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada penggemar. Setiap pemain layak untuk berada pada situasi seperti itu, tapi dia malah dipermalukan," tutur Keown.

    Bukan cuma Rio, pemecatan David Moyes pun menjadi cerita tersendiri. Berita pemecatan Moyes sudah beredar terlebih dahulu di media ketimbang diketahui langsung oleh Moyes.



    Tentang Pemilik Klub Asal Amerika

    Apa yang dialami Rodgers, Dalglish, Rio, dan Moyes, memiliki satu kesamaan: mereka dipecat atau tidak diperpanjang kontrak oleh pemilik klub berkewarganegaraan Amerika Serikat. Uniknya lagi, pemilik MU dan Liverpool sama-sama memiliki klub non-sepakbola di Amerika.

    Hal ini tentu memperlihatkan adanya perbedaan gaya manajerial antara pemilik klub nonsepakbola khususnya di Amerika, dengan klub sepakbola di Inggris. Perbedaan tersebut menyangkut pada ikatan emosional antara klub, manajer, pemain, dan suporter. Inggris memiliki kultur di mana manajer adalah bagian intergral bersama dengan unsur-unsur lainnya dalam tim, sehingga pemecatan dengan cara seperti yang dialami Rodgers menjadi hal yang tak lazim.

    Pemecatan pemain atau pelatih bisa berarti dua hal: manajemen ingin prestasi instan dan klub ingin mendapatkan sorotan dari media. Dalam kasus Klopp, FSG, secara jelas mengalihkan kemenangan 3-0 Arsenal atas MU menjadi siapa calon pelatih Liverpool selanjutnya. Kehadiran Klopp bukan cuma dianggap menguntungkan secara prestasi buat Liverpool, tapi juga buat sponsor karena sorotan besar media.

    Di sisi lain, terdapat pula perbedaan pemilik Amerika dengan pemilik yang memang menginginkan prestasi instan macam Roman Abramovich dari Rusia dan Syekh Mansour dari Uni Emirat Arab. Kedua pemilik tersebut amat jor-joran mengeluarkan uang demi membangun tim yang kuat. Lain halnya dengan kasus Kenny Dalglish yang mendapatkan 110 juta pounds, tapi malah kehilangan Fernando Torres dan mendapatkan pengganti yang tidak sepadan.

    Pun misalnya dengan MU dan Arsenal yang leluasa membeli pemain dalam dua musim terakhir. Hal tersebut terjadi karena Keluarga Glazer sudah bebas utang --yang uangnya berasal dari keuntungan MU, dan Stadion Emirates pun sudah lunas pembayarannya. Artinya, ada hitung-hitungan ekonomi yang secara jelas membuat pemilik klub tak ingin dirugikan terlalu besar.

    Kegagalan pun dialami oleh pemilik asal Amerika Serikat lain yang menangani klub papan tengah Liga Inggris. Sebut saja Elis Short yang menjadi pemilik Sunderland, serta Randy Lerner yang menangani Aston Villa. Kesamaan keduanya adalah sama-sama pernah memberi kekecewaan pada penggemar karena memecat pelatih. Alasannya sama: prestasi. Padahal kalau mau adil, memang skuat mereka yang tak cukup kuat untuk bersaing.

    Jika melihat tabel klasemen musim ini, Aston Villa dan Sunderland berada masing-masing di peringkat ke-19 dan ke-20. Jika tak mampu bangkit bukan tak mungkin mereka akan terdegradasi musim ini.

    Mungkinkah ini merupakan bagian dari kegagalan pemilik Amerika yang tak mampu menyesuaikan dengan kultur di Inggris?


    ====

    * Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball

    (a2s/din)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game