Mengenal Scout dalam Sepakbola (Bagian 1)
Pentingnya Scout bagi Sebuah Kesebelasan

Pecinta sepakbola Indonesia sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Indra Sjafri kala melatih tim nasional Indonesia U-19. Dalam mencari pemain untuk memperkuat timnya, ia rela repot-repot untuk blusukan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Hasilnya luar biasa. Ia berhasil menemukan pemain-pemain berkualitas macam Evan Dimas, Ilham Udin, Paulo Sitanggang, Maldini Pali, dan lainnya. Dengan nama-nama yang (awalnya) kurang familiar tersebut, coach Indra pun berhasil membawa timnas Indonesia menjuarai Piala AFF U-19 pada 2013.
Pencarian pemain yang dilakukan Indra ini memang jarang bahkan nyaris tak dilakukan oleh pelatih lain di Indonesia untuk mencari pemain berkualitas. Wajar memang, karena sejatinya, apa yang dilakukan Indra seharusnya dilakukan oleh scout dalam sebuah tim.
Sejatinya scout (pemandu bakat) adalah sebuah profesi yang rasanya patut dimiliki dan benar-benar dimaksimalkan oleh kesebelasan-kesebelasan yang ada di Indonesia. Di Eropa, telah banyak klub yang semakin berkembang hasil dari keberhasilan scout dalam tim tersebut.
Scout cenderung tak dikenal oleh klub-klub sepakbola di Indonesia. Indikasi ini terlihat dengan tim nasional Indonesia yang cukup kesulitan dalam regenerasi pemain. Sebelum Indra mengorbitkan Evan Dimas cs., pemain-pemain yang semakin dimakan usia seperti Christian Gonzales, Firman Utina, M. Ridwan, terus diandalkan meski timnas tak pernah menghadirkan prestasi.
Ketimbang menggunakan scout, tim-tim Indonesia lebih senang mencari pemain asing. Kebanyakan, mereka lebih menunggu seorang agen pemain asing menyodorkan pemainnya untuk direkrut. Sialnya, kualitas pemain yang ditawarkan sang agen sering tak sesuai yang diharapkan.
Peran scout yang kurang mendapat perhatian di Indonesia ini tampak begitu penting bagi masa depan sebuah kesebelasan. Dan pada kenyataannya memang begitu adanya.
Masa Depan Sebuah Kesebelasan Ada di Tangan Scout?
Saat ini peran scout bagi sebuah tim sepakbola semakin berkembang. Bahkan terdapat beberapa klub Eropa yang semakin bergantung pada kemampuan para scout-nya.
Scout dalam satu klub memang tak hanya satu dua orang, bahkan bisa mencapai puluhan yang dikepalai oleh seorang kepala (chief scout). Orang ini nantinya menerima laporan dari scout-scout bawahannya mengenai perkembangan seorang pemain. Chief scout, yang memiliki standar dan kriteria tertentu dalam memboyong pemain, nantinya merekomendasikan seorang pemain untuk direkrut pada pelatih atau manajemen klub.
Gwyn Williams pernah berbagi cerita tentang kehidupannya sebagai scout raksasa Inggris, Chelsea, selama 28 tahun. Menurutnya, ia akan menjelajahi seluruh dunia untuk mencari pemain muda bertalenta untuk direkrut tim muda Chelsea.
"Saya akan menghabiskan setiap malam dalam setiap Minggu untuk menyaksikan pertandingan dengan berbagai level," ujarnya pada BBC pada 2013.
"Pada hari Senin, mungkin saya sedang menyaksikan pertandingan tim cadangan Chelsea untuk melihat sejauh mana para pemain Chelsea generasi berikutnya ini berkembang. Pada hari Selasa, saya bisa saja sedang menyaksikan pertandingan di level bawah untuk mencari pemain muda yang bisa dikembangkan Chelsea.
"Terkadang, saya pun akan menerima panggilan dari beberapa agen dari Auxerre, Paris, Porto yang merekomendasikan seorang pemain untuk ditinjau. Bisa pula dalam beberapa pekan saya akan mengikuti turnamen U-20 di Toulon (Prancis), turnamen U-17 di Luxembourg, atau turnamen U-21 di Portugal."
John Terry dan Tore Andre Flo adalah dua pemain yang merupakan hasil dari pencariannya ke berbagai kota selama hidupnya. Terry ditemukan Williams saat masih berusia 14 tahun, ketika bermain untuk sekolah di London, Essex. Sementara Flo, direkrut Chelsea atas saran Williams dari kesebelasan kecil Norwegia bernama Brann FC senilai 250 ribu pounds, yang kemudian berhasil dijual senilai 14 juta pounds ke Glasgow Rangers.
Jika Gwyn Williams di Chelsea tak terlalu banyak menyumbang pemain karena Chelsea saat ini gemar membeli "pemain jadi", apa yang dilakukan Andrea Carnivale di Udinese adalah contoh betapa peran seorang scout bisa membesarkan sebuah tim.
Lewat insting Carnevale, Udinese berhasil menemukan bakat-bakat potensial dalam usia muda. Jika umumnya Udinese hanya dikenal dengan transfer Alexis Sanchez ke Barcelona dengan nilai transfer 26 juta euro, nyatanya pemain-pemain seperti Olivier Bierhoff, David Pizarro, Sulley Muntari, Samir Handanovic, Gokhan Inler, dan Kwadwo Asamoah adalah nama lain yang merupakan hasil dari scouting Carnevale bersama anak buahnya.
Carnevale -- pernah bermain untuk Napoli bersama Diego Maradona dan memperkuat timnas Italia di Piala Dunia 1990-- menyebarkan sekitar 50 scout-nya ke negara-negara Amerika Latin, berhasil membuat Udinese bisa bertahan di Serie A dengan para pemain temuannya ini. Pundi-pundi mata uang euro pun selalu mengalir tiap bursa transfer karena para pemainnya selalu diminati oleh kesebelasan lain yang lebih top.
Jika di Italia ada Udinese, Inggris punya Newcastle United yang besar lewat pemain hasil scout. Bahkan berkat para pemain hasil scout-nya, kesebelasan berjuluk The Magpies ini disebut sebagai kesebelasan ke-19 Liga Prancis.
Ya, Newcastle United saat ini memang identik dengan para pemain berkebangsaan Prancis. Hal ini tentunya bukan suatu kebetulan. Karena negara Prancis telah menjadi tempat bekerja bagi sang chief scout, Graham Carr.
Tak seperti Carnevale yang hanya menerima laporan dari anak buahnya yang melakukan scouting, Carr terjun langsung untuk mencari pemain-pemain Prancis berbakat. Sejak 2010, pria yang kini berusia 70 tahun ini menghabiskan banyak waktunya dengan menyaksikan pertandingan-pertandingan di Liga Prancis.
Setelah Hatem Ben Arfa bersinar pada musim pertamanya di Liga Inggris, sebelum mengalami cedera, gelombang pemain berdarah Prancis pun mengalir ke kesebelasan yang bermarkas di St. James Park ini. Dengan kehadiran Florian Thauvin pada musim panas lalu, total 15 pemain Prancis yang telah ditransfer Newcastle dalam kurun waktu lima tahun.
Meski belum menghadirkan trofi, sisi finansial mereka semakin membaik lewat penjualan para pemain tersebut. Misalnya saja transfer Yohan Cabaye yang dibeli dari Lille 4,5 juta pounds lalu dijuat ke Paris Saint-Germain dengan nilai berkali-kali lipat: 19 juta pounds!
[Bersambung]
=====
* Penulis adalah aanggota redaksi @PanditFootball dengan akun twitter: @ardynshufi