FC United of Manchester: Menjadi Punk di Atas Lapangan, Menjadi Punk di atas Kertas Kerja

Apa-apa yang berkaitan dengan finansial seringkali menjadi perihal yang tanpa ampun. Ia tak punya empati, apalagi pengertian. Finansial adalah hal yang membikin jarak yang begitu dalam antara satu pihak dengan pihak lainnya.
Pembicaraan tentang bisnis, kapital, finansial, kepemilikan dan profit adalah pembicaraan yang juga melekat pada sepakbola dengan label profesional. Apa boleh buat, segala sesuatu yang dilekati label profesional, selalu berawal dari kebutuhan. Kebutuhan untuk menang, kebutuhan untuk meraih keuntungan, kebutuhan untuk hidup. Mereka yang bekerja sebagai penggiat sepakbola, apapun itu, butuh uang demi bertahan hidup.
FC United of Manchester lahir dengan kesadaran dan logika yang demikian. Namun di atas segalanya, kelahiran mereka didorong oleh keinginan agar siapapun yang ada di dalam klub tetap hidup –bukannya ada yang hidup, ada yang mati.
Kebutuhan untuk menang, meraih keuntungan dan bertahan hidup. Mereka yang bekerja sebagai penggiat sepakbola, apapun itu, butuh uang demi bertahan hidup.
Buruknya Pengelolaan Keuangan Manchester United sebagai Rahim Lahirnya FC United of Manchester
Pada dasarnya, keberadaan bisnis selalu diawali dengan dua prinsip sederhana. Yang pertama, proses penggalian ide membutuhkan uang. Barangkali ide yang ada di dalam kepala itu begitu brilian. Tapi sebrilian apakah ide jika ia tak pernah diwujudkan?
Yang kedua, sebagus apapun ide yang dimiliki, ia tetap membutuhkan orang lain yang bisa menjamin kesuksesan ide tersebut. Pengakuan akan keluarbiasaan ide itu juga harus berasal dari orang lain. Orang tersebutlah yang menentukan atau setidaknya memantapkan bahwa ide itu luar biasa. Karena sehebat apapun ide tersebut, ia juga memiliki risiko kegagalan. Dan seandainya bisnis tersebut gagal, si pemilik ide tersebut jelas tak akan mau menanggungnya sendirian. Karena sehabis kegagalan tersebut, ia harus bisa bangkit dan kembali menjalankan ide baru.
Makanya, atas dua kebutuhan tersebut, keberadaan investor dibutuhkan. Lewat kesediaannya untuk “menaruh” uang, para penggagas bisnis yang terkendala dana, tetap bisa mewujudkan bisnis bahkan meraih keuntungan.
Keuntungan tak hanya jadi milik yang menggagas bisnis, mereka yang menanam modal juga berhak atas pendapatan karena uang yang digunakan buat menjalankan bisnis yang sebenarnya bukan miliknya. Logikanya, kalau uang tersebut tidak digunakan sebagai modal pihak lain, ia bisa menggunakannya sendiri. Jadi, karena penundaan tersebut, ia pantas untuk mendapatkan kompensasi, yang biasa dikenal dengan istilah deviden. Cukup adil, bukan?
Namun itu hanya hal-hal indahnya. Suka atau tidak suka, diakui atau disangkal, aktivitas investasi tidak hanya menghasilkan pendapatan, tapi juga kepemilikan. Secara hukum, perusahaan juga berjalan untuk kepentingan investor. Dan seberapa besar kepentingan tersebut, tentu saja bergantung pada besarnya dana yang ditanam –jika istilah “diberikan” terlalu naif.
Lantas, iniah yang terjadi pada Manchester United. Dana sebesar 790.3 juta poundsterling yang dikelurkan Malcomn Glazer untuk membeli United, 265 juta poundsterlingnya didapat dari berutang. Ironisnya, pada tahun 2010 keluarga Glazer mengakui bahwa 500 juta poundsterling lainnya dari dana akuisisi tersebut didapat dengan menerbitkan obligasi yang bakal jatuh tempo pada tahun 2017. Dengan demikian, sebenarnya keluarga Glazer hanya mengeluarkan sebesar 25.3 juta poundsterling untuk bisa mengambil alih tampuk kepemimpinan "Setan Merah".
Keputusan pihak Glazer untuk menerbitkan obligasi tersebut sebenarnya juga dipicu oleh utang terdahulu mereka. Parahnya, utang ini berbentuk payment in kind (PIK). Biasanya utang atau saham model PIK tidak akan membikin investor menerima deviden pada periode-periode awal. Mereka bakal menerima saham (atau surat berharga) baru. Namun setelah (biasanya) lima atau enam tahun, mereka akan menerima devidennya, tentu dengan jumlah yang jauh lebih besar.
Jika mengamati kembali laporan keuangan Manchester United sejak periode 2006 (paling dekat dengan berdirinya FCUM), maka kita akan menemukan bahwa United memang mahir dalam mengumpulkan EBITDA (keuntungan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi). Namun jika memperhatikan aliran penggunaan uang (cash flow), setidaknya, dari tahun 2009, sebanyak 44%, uang digunakan untuk kepentingan utang; baik pelunasan, angsuran ataupun pembayaran bunga. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang menjadi masalah bukan besar atau kecilnya pendapatan yang diterima oleh klub, tetapi bagaimana penggunaan uang tersebut.
Inilah yang kemudian ditentang oleh para suporter, karena Glazer akan menjadikan United semakin komersil. Mereka sadar, beban utang sebesar itu, pastinya akan dibebankan di pundak para suporter. Dari penjualan tiket pertandingan, penjualan merchandise klub dan sponsor.
Menghidupi Punk Football dengan Punk Finance
“Kami menyebutnya punk finance;” seperti itulah Andy Walsh saat menjawab pertanyaan tentang cara apa yang dilakukan oleh manajemen FCUM dalam menghidupi klubnya.
Istilah “punk” barangkali bukanlah perihal yang sedap didengar bagi banyak orang. Hal pertama yang terbesit setiap kali mendengar istilah “punk” adalah musik yang memekakkan telinga, yang dimainkan oleh band macam NOFX, Rancid, Lagwagon, atau jika mau sedikit “manusiawi”, No Use For A Name. Tapi, saran saya, terlepas dari musiknya yang memang tak menenangkan, cobalah mendengar lirik-lirik mereka dengan teliti. Karena pada dasarnya, apa yang mereka suarakan lewat musik, tak selalu menyoal cerita cinta picisan.
Kecenderungan lainnya, orang-orang bakal menerjemahkan punk sebagai sekumpulan orang dengan dandanan aneh cenderung mengerikan, yang gemar berbuat onar ataupun malas bekerja. Tak bisa disalahkan, karena bagaimanapun juga, yang terlihat saat ini, orang-orang yang melabeli diri sebagai “anak punk” adalah orang-orang yang demikian.
Namun menurut Andy Walsh, definisi punk tidak pernah sesempit dan sekonyol itu. Baginya, seruan anti kemapanan yang identik dengan punk mencuat di Inggris pada tahun 1970-an, pada dasarnya merupakan wujud dari upaya mereka dalam memperjuangkan hak-hak kaum yang termajinalkan. Walaupun orang-orang ini termajinalkan, dianggap sebelah mata oleh sebagian besar orang, bukan berarti mereka tak bisa berbuat apa-apa, setidaknya untuk diri sendiri. Mereka hidup dengan usaha sendiri, tanpa bergantung kepada kaum elit dan orang-orang berduit –yang dikenal dengan istilah kaum kapitalis.
Lantas, hal ini pulalah yang dihidupi oleh FCUM sebagai klub sepakbola, sebagai perusahaan yang menggiati sepakbola.
Walsh menyadari bahwa salah satu konsekuensi yang harus mereka pikul setelah melepaskan diri dari Glazer adalah kekuatan finansial untuk menghidupi diri mereka sendiri. Mereka boleh menolak Glazer, tapi sebagai klub sepakbola, mereka juga harus berlaku profesional. Orang-orang yang bekerja sebagai pesepakbola, pelatif, staf, kitman bahkan direksi juga butuh hidup. Mereka harus digaji supaya bisa bertahan hidup. Menelantarkan mereka atas nama penolakan industrialisasi sepakbola sama saja dengan mempersulit hidup bahkan memperbudak mereka. Makanya, sekuat apapun mereka menolak kepemilikan modal Glazer, mereka harus mencari cara agar para pemain dan staf tetap bisa hidup dengan layak.
Memaksimalkan Community Shares
Jika Walsh menerjemahkan punk football sebagai medium para suporter untuk membangun sepakbola dengan sistem yang baru, maka punk finance adalah bagian dari sistem tersebut.
Apa yang dilakukan FCUM perihal sistem keuangan mereka, mirip dengan koperasi. Bagi mereka, setiap anggota memiliki hak dan suara yang sama. Hal ini jelas berbeda dengan apa yang dilakukan oleh klub-klub sepakbola kebanyakan.
Pemilik modal dan jajaran direksi lah yang memiliki suara dalam klub. Akibatnya, “semanis” apapun perlakuan mereka kepada fans, hal tersebut semata-mata bertujuan untuk menambah pundi-pundi pendapatan. Bagi mereka, fans adalah pasar. Mereka adalah sumber pendapatan klub. Tak bisa disalahkan, karena memang seperti itulah caranya menjadi profesional. Karena seperti itulah langkah yang harus ditempuh bila terlanjur mencemplungkan diri dalam industri.
Pada awalnya, FCUM bergantung pada donasi para suporter. Direksi dan manajemen yang terbentuk pun pada awalnya adalah suporter yang menolak Glazer. Jadi, menurut Walsh, tak satu pun dari mereka yang tak mendonasi. Para suporter menyumbang dalam jumlah yang beragam. Mulai dari beberapa orang yang menyumbang lebih dari 5.000 poundsterling, ratusan poundsterling sampai seorang anak perempuan yang menyumbang tak lebih dari setengah poundsterling.
Berapapun jumlahnya, kata Walsh, tak jadi masalah. FCUM memercayai bahwa donasi mereka sebagai wujud keterlibatan mereka dalam sepakbola. “Mereka membeli apa yang bisa mereka beli, mereka memberi apa yang bisa mereka beri. Donasi tersebut adalah bukti bahwa mereka tak sekadar protes, tapi komitmen untuk ikut bertindak.” Memang terdengar normatif, tapi apa lagi yang bisa dikatakan Walsh untuk menggambarkan dedikasi suporter kepada klub yang memang keluar dari rahim mereka?
Pada akhirnya, jumlah yang terkumpul juga tak sedikit. Lewat donasi, mereka berhasil mengumpulkan sekitar 300.000 poundsterling. Tadinya, donasi tersebut yang mereka kelola. Mereka menghidupi pemain, staf, dan direksi dengan uang tersebut.
Namun sebagai bagian dari manajemen Walsh sadar bahwa mereka butuh hal lebih. Lewat semacam rapat anggota yang mengundang (waktu itu) sekitar 3.400 anggotanya, diputuskan untuk mencanangkan Community Shares, semacam saham yang dijual kepada seluruh anggotanya. Keputusan untuk meng-issue Community Shares itu diambil sehari setelah mereka mengajukan rencana pembangunan stadion kepada Pemerintah Kota Manchester.
Awalnya, harga minimumnya sebesar 20 poundsterling. Belakangan, lagi-lagi lewat semacam rapat anggota, mereka memutuskan untuk menaikkan harga saham minimum, kali ini menjadi 200 poundsterling. Namun demikian, FCUM tetap memberlakukan batas pembelian saham, sebesar 2.000 poundsterling.
Ada beberapa aturan agar seseorang bisa berpartisipasi dalam Community Shares: 1) Partisipan harus menjadi anggota resmi FCUM, 2) Partisipan harus mematuhi aturan jumlah minimum dan maksimum pembelian saham, 3) Saham tersebut tidak dapat diuangkan (dikembalikan) lagi sebelum tiga tahun, 4) Tidak ada interest payment dalam kurun waktu tiga tahun pertama, 4) Maksimal withdrawal 10% dari jumlah saham, 5) Potensi interest payment 2% ke atas.
Community Shares yang sedang digiatkan oleh FCUM pada dasarnya bertujuan untuk membiayai pembangunan stadion. Mereka percaya bahwa stadion adalah hal vital buat klub. Dengan adanya stadion, mereka jelas bisa memaksimalkan potensi pendapatan. Namun demikian, mereka juga sadar bahwa mereka tak bisa memenuhi kebutuhan ini dengan cara-cara lama yang mereka tentang. Makanya, dalam Community Shares, diberlakukan aturan bahwa hanya anggota yang bisa membeli saham. Itu pun dengan jumlah yang dibatasi.
Setidaknya, saat ini sudah ada 1.500 anggota yang berpartisipasi dalam Community Shares. Mereka pun telah berhasil membangun Broadhurst Park, stadion berkapasitas 4.400 orang yang menghabiskan biaya sekitar 6.3 juta poundsterling. Skema Community Shares yang mereka kerjakan pun berhasil mengumpulkan dana sekitar 2 juta poundsterling. FCUM barangkali belum menjadi klub besar, mereka hanya berkompetisi di level National League North yang berada di level keenam, atau kedua dari bawah dalam konteks piramida sepakbola Inggris.
Stadion mereka jelas jauh megah dibandingkan Old Trafford, skuat dan staf mereka tentu kalah mentereng dibandingkan apa yang dimiliki oleh Manchester United, dan uang yang ada di perbendaharaan mereka pun jelas tak ada apa-apanya kalau mau dibandingkan dengan keuangan United.
Namun, apa-apa yang dikerjakan dan dihidupi oleh FCUM semacam menjadi bukti bahwa selalu ada cara yang lebih baik untuk bersepakbola. Cara yang lebih manusiawi, cara yang membuat siapapun yang duduk di tribun Broadhurst Park bakal menepuk bahu kawan di sebelah mereka sambil berkata; "Mate, we are the real fans."
====
* Akun twitter penulis: @marinisaragih dari @panditfootball