Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Pentingnya Keragaman dalam Sepakbola

    Frasetya Vady Aditya - detikSport
    Jakarta -

    Berdasarkan kamus Cambridge, "Meritocracy" berarti sistem sosial, masyarakat, atau organisasi di mana orang-orang memiliki kekuatan karena kemampuannya, bukan karena uang mereka atau posisi sosial.

    Sepakbola sebagaimana olahraga pada umumnya mengandalkan kemampuan para atletnya. Sepakbola tidak melihat dan membeda-bedakan setiap pemain dari ras, suku, agama, ataupun golongan. Anehnya, tidak ada manajer dengan latar belakang "Black and Minority Ethnic Group" (BME) di Liga Primer Inggris pada musim ini --atau disederhanakan menjadi pelatih berkulit hitam keturunan Afrika.

    Saat ini hanya tersisa empat orang manajer yang menukangi tim profesional di Inggris, setelah manajer QPR, Chris Ramsey, dan manajer Huddersfield, Chris Powell, dipecat beberapa waktu lalu. Di divisi Champonship terselip nama Chris Hughton yang menukangi Brighton, sementara Jimmy Floyd Hasselbaink mampu membawa Burton Albion juara League Two pada musim lalu. Dua manajer lainnya, Ricardo Moniz dan Keith Curle masing-masing menangani Notts County dan Carlisle United yang kini bermain di League Two.

    Fenomena serupa bukan cuma terjadi di Inggris tetapi juga di kompetisi top Eropa lainnya di musim ini seperti Serie A dan Bundesliga. Bahkan, Ligue 1 yang selalu mengorbitkan pemain berkulit hitam, justru tak memiliki manajer berkulit hitam.

    La Liga sendiri memiliki Nuno Espirito Santo yang melatih Valencia. Nuno lahir di Sao Tome and Principe, sebelah barat laut Gabon. Nuno, yang berkewarganegaraan Portugal, barangkali menjadi satu-satunya pelatih di lima kompetisi top Eropa yang berkulit hitam keturunan Afrika.

    Ada berapa banyak sih sesungguhnya pelatih sepakbola berkulit hitam? Dalam beberapa tahun terakhir ada nama Claude Makelele yang melatih Bastia, dan Clarence Seedorf yang melatih AC Milan. Namun, petualangan mereka tidaklah lama; hanya dalam hitungan bulan.

    Mengapa klub lebih sering menggunakan pelatih berkulit putih? Apakah pelatih berkulit hitam tidak kompeten? Atau memang masih ada pandangan negatif dan diskriminasi di sepakbola terhadap etnis minoritas?

    Isu minimnya pelatih BME tengah mengemuka di Inggris, terutama pada Oktober silam yang diperingati sebagai "Black History Month". Setiap Oktober, warga Inggris memeringati jasa-jasa orang-orang berkulit hitam yang turut membangun negeri. Hal serupa juga diperingati Amerika Serikat dan Kanada setiap Februari.

    Lambatnya Keragaman Manajer

    Mantan penyerang Blackburn Rovers yang juga anggota The Sport People Think Thank, Jason Roberts, mengungkapkan hasil penelitian terbarunya, bahwa laju keragaman manajer dan pelatih di sepakbola profesional amatlah lambat. Untuk mencapai proporsi yang seimbang dengan pemain, Roberts memperdiksikan dibutuhkan waktu lebih dari 30 tahun.

    Tahun lalu, penelitian Dr. Steven Bradbury dari Universitas Loughborough memperlihatkan hanya ada 19 dari 552 pelatih dan manajemen di sepakbola yang diisi oleh BME. Pada September 2015, angka tersebut naik menjadi 23 orang setelah adanya peningkatan jumlah pelatih berkulit hitam di Football League—sekarang menjadi 21 orang setelah Chris Ramsey dan Chris Powell dipecat.

    Melihat "proporsi" yang diajukan Jason Roberts dalam penelitiannya, angka tersebut hanya 4,2 persen dari semua posisi pelatih senior, dibandingkan dengan total 25% pemain BME dan 14% populasi BME di Inggris.

    Federasi Sepakbola Inggris, FA, pun mulai memikirkan sejumlah cara untuk bisa menyertakan manajer atau pelatih BME di tim. Football League berencana menerapkan sistem "Rooney Rule" seperti yang juga akan dilakukan kompetisi American Football Amerika Serikat, NFL. Sementara itu, Premier League mengenalkan skema baru untuk mencoba membawa kelompok pelatih berlatar BME dengan lisensi UEFA Pro.



    Keragaman Melahirkan Kesetaraan

    Jika melihat sekilas, memang apa perlunya mengakomodasi pelatih atau manajer BME? Toh, kalaupun mereka memiliki kompetensi, mereka bisa dipercaya untuk bekerja di tim besar. Lagi pula kesebelasan sepertinya tidak memikirkan warna kulit karena kemenangan adalah yang utama.

    Aktivis maupun akademisi di Inggris melihat fenomena tersebut dengan cara pandang yang lebih luas. Dr. Bradbury menyimpulkan kalau bias rasial, sadar atau tidak sadar, merupakan bentuk diskriminasi konstitusional yang bisa sampai pada batas meragukan potensi seseorang.

    "Faktanya bahwa kita masih tetap berada pada fase ini, menyoroti bahwa aku adalah satu-satunya manajer Premier League, menunjukkan bahwa bukan sebuah kebiasaan untuk memiliki orang dari etnis minoritas pada posisi ini (manajer)," ujar Chris Ramsey saat diwawancarai BBC pada April silam.

    Keragaman membuat etnis minoritas tidak lagi dipandang sesuatu yang aneh atau mengancam bagi etnis mayoritas. Kala pesepakbola berkulit hitam belum ramai di Inggris, sering terdengar pertanyaan diskriminatif macam "Bisakah para pemain berkulit hitam itu bermain di udara dingin?". Kini, dengan minimnya pelatih atau manajer berkulit hitam, misalnya, memunculkan pertanyaan lainnya, "Bisakah mereka menjadi manajer?" atau "Bisakah mereka memimpin?"

    Menurut Roberts, saat ini sejumlah elemen di Inggris tengah melakukan upaya perlawanan terhadap perilaku rasisme baik di lapangan maupun di tribun. FA pun telah berupaya untuk mengurangi aksi rasisme dengan beragam cara salah satunya dengan menysun 92 poin rencana terkait isu keragaman, termasuk memberi kuota minimal 10% bagi pelatih dan wasit dari etnis minoritas.

    Mengubah Kultur Masyarakat

    Awal November silam, suporter Silesian Wroclaw membentangkan banner raksasa yang berisi pesan menentang kehadiran imigran, terutama mereka yang muslim. Berbeda dengan negara Uni Eropa lainnya, (masyarakat) Polandia dan sejumlah negara Eropa timur tak begitu terbuka terhadap kehadiran imigran. Ribuan warga Polandia pun sempat menggelar protes di sejumlah kota-kota besar, termasuk ibukota Polandia, Warsaw, untuk menentang pemerintah yang menerima seribuan imigran.

    Perwakilan Amnesty International, Weronika Rokicka, menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh sejumlah masyarakat Polandia ini tak lain karena kurangnya edukasi terkait solidaritas sesama manusia. "Tidak ada yang mencoba menjelaskan kepada masyarakat Polandia bahwa salah satu kewajiban moral dan formal negara-negara Uni Eropa adalah menolong mereka yang mencari tempat bernaung karena teraniaya," tutur Rokicka dikutip dari The Guardian.

    Rokicka jelas menunjuk pemerintah Polandia yang kurang responsif terkait isu-isu imigran dan perbedaan. Ini yang membuat sejumlah masyarakat di Polandia menganggap bahwa apa yang mereka lakukan --dengan melakukan diskriminasi terhadap imigran-- adalah sesuatu yang benar.



    Hal serupa juga berlaku bagi etnis minoritas dan mereka yang berkulit hitam di beberapa negara, salah satunya Rusia. Di tengah kontroversi terkait pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018, Rusia disoroti karena tingginya aksi rasisme di negeri yang dipimpin Vladimir Putin tersebut. Amnesty International pada 2006 bahkan menyebut rasisme sudah tidak bisa dikontrol lagi di Rusia.

    Di sisi lain, saat ini Kementerian Olahraga Rusia menyetujui aturan untuk melarang orang asing menduduki jabatan pelatih kepala atau manajer di Liga Primer Rusia. Aturan seperti ini, apapun itu motif utamanya, justru terkesan mendukung kelompok ekstrimis ultra-nasionalis yang memang telah menjalar di Rusia. Pemerintah Rusia seperti tidak mencoba untuk menahan pandangan negatif kepada etnis minoritas.

    Budaya dan kebiasaan di masyarakat menjadi penghalang yang begitu besar untuk menendang rasisme dari sepakbola, apapun itu bentuknya. Mereka yang berkulit hitam kerap diejek dan diasosiasikan dengan binatang; sementara mereka yang berwajah Arab kerap disangkutpautkan dengan teroris. Bagaimana rasisme bisa ditendang jika masyarakatnya saja diajarkan untuk tak ramah pada mereka yang berbeda.

    Kehadiran etnis minoritas maupun pemain berkulit hitam sejatinya bisa meminimalisasi peluang pendukung untuk berlaku rasis. Misalnya Crystal Palace memiliki Frazier Campbell, Adrian Mariappa, Yannick Bolasie, Wilfried Zaha, Dwight Gayle, Ezekiel Fryers, Papa Souare, Bakary Sako, dan Jason Puncheon. Tentu para penggemar menghadapi dilema saat mereka berencana melakukan pelecehan rasial secara verbal pada Ramires, misalnya, hinaan itu akan menyakiti para pemain berkulit hitam di timnya sendiri.

    Atau misalnya (oknum) penggemar Chelsea yang berlaku rasis pada pria kulit hitam di stasiun kereta api bawah tanah di Paris. Namun, mereka segera sadar kalau sepakbola itu bukan tentang warna kulit, tapi saat mereka memuji dan bertepuk tangan untuk gol tendangan bebas Willian.

    Mengguncang Bisnis Sepakbola

    Rasisme membuat Kevin Prince Boateng dan Kevin Constant meninggalkan lapangan saat membela AC Milan. Ada yang tak mengacuhkan, ada yang tak bisa menahan diri. Dani Alves memakan pisang yang dilemparkan padanya sembari selfie. Hal serupa dilakukan Neymar, Luis Suarez, Mario Balotelli, Sergio Aguero, hingga Presiden Brasil, Dilma Rousself. Tentu tak semua pesepakbola memiliki mentalitas macam Alves. Samuel Eto'o dan Roberto Carlos "mengamuk" di lapangan; Boateng dan Constant menendang bola ke arah tribun.

    Hal terburuk dari sebuah pertandingan sepakbola adalah saat pemain memboikot pertandingan. Siapa yang dirugikan? Tentu, semua elemen di sepakbola karena rasisme turut menggoyang "integritas" pertandingan itu sendiri. Sulit dibayangkan bukan saat semua kesebelasan Afrika, menolak bertanding di tengah pertandingan Piala Dunia?

    Soal rasisme adalah tentang kemanusiaan. Namun, sepakbola pun tak bisa mengesampingkan bisnis yang menyokong industri sepakbola di suatu negara. Secara bisnis, penonton dari Afrika ataupun Asia tentu merasa jijik jika menyaksikan atau mendengar chant yang menyudutkan ras mereka. Ini tentu bisa menghambat penjualan hak siar televisi yang merupakan komponen pemasukan terbesar bagi klub, utamanya di Inggris.

    Belum lagi kejadian macam yang terjadi di Dynamo Kiev, ketika suporter Dynamo berkulit hitam, dipukuli oleh suporter Dynamo lainnya. Kebencian-kebencian macam ini yang bisa saja menjadi alasan mengapa (industri) sepakbola di Eropa Timur dan negara yang membiarkan rasisme menjalar tidak kunjung meroket hingga setidaknya bisa menyamai Inggris. Padahal, buat penonton, sepakbola mestinya adalah sesuatu yang bisa menghibur tanpa perlu berpusing-pusing memikirkan warna kulit.



    ====

    * Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball

    (a2s/krs)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game