Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Jerman vs Belanda sebagai Pengingat Kematian Total Football

    Dex Glenniza - detikSport
    Jakarta -

    Tanggal 7 Juli 1974 adalah hari yang istimewa. Saat itu, dua pemain sekaligus kapten dua tim terbaik dunia pada 1970-an, saling bertemu dalam pertandingan yang disaksikan jutaan pasang mata baik di televisi maupun langsung di stadion.

    Saat itu, tidak ada yang tahu tim mana yang akan menjadi juara. Kedua tim punya keuntungan masing-masing. Jerman Barat adalah juara bertahan Piala Eropa dan sedang menikmati keuntungan tidak langsung dengan menjadi tuan rumah. Di sisi lain, Belanda adalah tim yang superior. Mereka tiba di Olympiastadion, Munich, mengendarai kapal yang menguasai gelombang ombak lautan dengan totaalvoetbal-nya.

    Pertandingan ini dikenal sebagai pertandingan sepakbola dengan persaingan yang paling intens, dan sampai saat ini masih dianggap sebagai salah satu final paling menarik dalam sejarah Piala Dunia.

    Untuk Belanda, final ini akan selalu diingat sebagai sebuah kuburan untuk total football. Visi unik mereka, yaitu total football, menangkap imajinasi jutaan pecinta sepakbola dunia tetapi akhirnya berakhir dengan patah hati karena Oranje gagal mendapatkan trofi.

    Pada pertandingan tersebut Belanda akhirnya harus mengakui keunggulan Jerman Barat dengan skor 2-1. Sebuah pertandingan yang juga diberi label sebagai "Kematian total football" oleh banyak orang.

    Sudah lebih dari 41 tahun sejak pertandingan akbar tersebut, Jerman dan Belanda kembali akan bertemu. Sama seperti final 1974, mereka bermain di Jerman. Namun, ada satu perbedaan mencolok pada pertemuan Selasa (17/11/2015) besok, Jerman yang ini adalah Jerman yang menjadi Piala Dunia 2014 menghadapi Belanda yang bahkan tidak lolos ke Piala Eropa 2016.

    Pertandingan tersebut memang hanya bertajuk pertandingan persahabatan. Tapi pastinya pertandingan nanti akan menjadi momen pengingat bahwa total football sudah benar-benar mati.

    Kembali ke 1974 ...

    Dulu, pada 1974, Jerman Barat dan Belanda memiliki tim bertabur bintang yang membanggakan. Der Kaiser Franz Beckenbauer memimpin barisan pemain Jerman Barat, bersama dengan Sepp Maier yang legendaris dan Gerd Mueller. Sementara itu Belanda punya Johan Cruyff serta gelandang tengah Johan Neeskens dan striker Johnny Rep, yang merupakan pencetak gol terbanyak dalam kompetisi tersebut.



    Final Piala Dunia 1974 tidak dimulai dengan semangat optimisme. Wasit asal Inggris, Jack Taylor, terpaksa harus menunda kick-off setelah bendera korner hilang entah ke mana setelah upacara seremonial penutupan. Hal buruk ini menjadi lebih buruk lagi bagi Jerman Barat.

    Setelah satu menit peluit kick-off dibunyikan, solo run Cruyff mengelabui satu per satu pemain Jerman Barat, sebelum ia dihentikan paksa oleh Uli Hoeness. Sejarah dibuat oleh wasit Taylor yang menjadi wasit pertama yang memberikan tendangan penalti di final Piala Dunia.

    Neeskens mengambil tendangan tersebut, dan dengan tenang ia menempatkan bola dengan presisi ke dalam gawang Maier. Keheningan tertegun ditelan oleh 75.000 wajah penonton Jerman Barat di Olympiastadion. Tidak ada satu pun pemain Jerman yang berhasil menyentuh bola sebelum gol itu terjadi, gol itu mengawali jutaan mimpi rakyat Belanda yang menonton pertandingan secara langsung.

    Setelah gol itu Jerman Barat berjuang untuk mengerahkan suatu respons yang efektif, sementara Belanda yang arogan terus-menerus membelai bola dengan mantra penguasaan bola mereka. Mereka memamerkan banyak keunggulan teknis tapi arogansi mereka dengan bola menyebabkan tidak adanya gol kedua yang tercipta. Untuk semua penguasaan bola, Belanda malah tidak menciptakan banyak peluang.

    Namun akhirnya serangan Jerman menemukan jalan keluar setelah pertahanan Belanda kehilangan konsentrasi. Pada menit ke-25, Bernd Holzenbein dijatuhkan Wim Jansen di dalam kotak penalti Belanda. Paul Breitner kemudian mengambil penalti yang membuat Olympaistadion hidup kembali, 1-1. Tapi ternyata tidak sampai di situ saja.

    Delapanbelas menit kemudian Belanda kembali kehilangan konsentrasi setelah para pemainnya dijaga ketat oleh para pemain Jerman Barat, termasuk Cruyff yang "dilem tikus" ke badan Berti Vogts.



    Banjir serangan dilakukan oleh Jerman Barat. Lalu, seperti seorang pembunuh yang bersembunyi di balik bayang-bayang, Mueller yang dijaga oleh Rijsbergen dan Arie Haan akhirnya menemukan ruang kosong. Bonhof, yang bermain efektif di sayap, berhasil melewati Ruud Krol di kanan dan memberikan umpan silang rendah ke arah Mueller. Dia mendapat bola tapi laju bola menyebabkan bola mental sejenak. Untuk sepersekian detik, Belanda mungkin merasa aman. Tapi itu tidak terjadi, kemudian Mueller menerkam bola lepas tersebut di dalam kotak penalti melewati kiper Jan Jongbloed yang diam terpaku.

    Pada jeda turun minum, Cruyff diberi kartu kuning setelah berdebat dengan wasit Taylor ketika mereka berjalan menuju ruang ganti. Kejadian ini bak sebuah peti mati yang sudah disiapkan untuk Belanda. Karena setelah itu, meskipun mereka terus memborbardir Jerman Barat, Der Kaizer dan kawan-kawan entah bagaimana berhasil meredam gelombang oranye Belanda yang tak ada habisnya.

    Saat peluit akhir dibunyikan, para pemain Jerman tenggelam dalam suka cita dan kegembiraan. Mueller memang divonis sebagai man of the match, namun peran kepemimpinan Beckenbauer dan man marking dari Vogts memastikan Jerman Barat untuk mengangkat trofi Piala Dunia.



    Otak Permainan Total Football

    Tim Oranje saat itu dianggap sebagai inovator terbesar dalam hal taktik sepakbola. Kapten Brasl di Piala Dunia 1970, Carlos Alberto, pernah berkata, "Satu-satunya tim yang membuat saya telah melihat segalanya di sepakbola adalah tim Belanda di Piala Dunia 1974 di Jerman. Gaya permainan mereka adalah sepakbola yang menakjubkan untuk ditonton dan sangat luar biasa untuk dimainkan".

    Tim nasional Belanda tahun 1974 adalah tim dengan bakat, keahlian, dan kesenian, yang mengubah wajah taktik sepakbola dunia. Maka tak mengherankan ketika para pengamat sepakbola gaek ditanya siapa tim terbaik sepanjang masa, tim Belanda 1974 adalah jawabannya. Ironisnya, "tim terbaik" ini sesungguhnya tak pernah memenangkan Piala Dunia.

    Orang di belakang kecemerlangan itu adalah Rinus Michels. Ia adalah otak kreatif dan komandan dari visi Belanda. Michels punya pemikiran yang jelas tentang bagaimana sepakbola mesti dimainkan. Ia mendorong pemainnya untuk bertukar posisi, dengan pandangan bahwa pemain lain akan selalu ada untuk menutupi pos kosong tersebut.

    Michels bukannya tanpa alasan. Ia memaksimalkan peningkatan infrastruktur ilmu pengetahuan dan nutrisi olahraga pada era pasca-perang untuk meningkatkan kemampuan fisik, pengondisian, dan kebugaran timnya. Tujuannya adalah untuk menetapkan metamorfosis yang dramatis dan mengubah Belanda menjadi mesin yang menekan (pressing) tanpa henti. Ia mengubah cara latihan Belanda dengan menempatkan penekanan khusus pada kebugaran, keterampilan mengolah bola, dan latihan yang meningkatkan kemampuan teknis.

    Jantung dari sistem tersebut mendikte satu prinsip inti mendasar: kontrol penuh terhadap ruang (space) di lapangan akan menjadi besar ketika Anda menguasai bola dan menjadi kecil ketika Anda tidak menguasai bola, kemudian itu akan menjadi jauh lebih sulit bagi lawan untuk sebaliknya menguasai bola.

    Mempelajari Rivalitas Jerman dan Belanda

    Sejak Piala Dunia 1974, Jerman pun berubah menjadi musuh utama Belanda. Kekalahan di final tersebut begitu membekas dan Belanda amat ingin memberikan hukuman setimpal di kesempatan lain.

    "Dendam kesumat" secara jelas terus membawa mereka kembali ke Perang Dunia Kedua. Willem van Hanegem adalah salah satu contohnya, mayoritas keluarganya tewas dalam Perang Dunia II. Dia kemudian mengatakan: "Saya tidak suka orang Jerman. Setiap kali saya bermain melawan pemain Jerman, saya punya masalah karena perang."

    Perasaan negatif itu timbul karena tragedi Holocaust, setelah banyak kematian dan penganiayaan yang Belanda rasakan dari tentara Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Ini lah yang menjadi motivasi utama Belanda untuk mempermalukan Jerman.

    Apa yang aneh adalah bahwa banyak anggota tim yang bahkan belum lahir ketika perang berakhir pada 1945. Perasaan "anti-Jerman" ini, bagaimanapun, tetap mengakar dalam budaya Belanda dan merupakan bagian dari jiwa para pemain hingga saat ini.

    Jerman vs Belanda: Dulu dan Sekarang

    Final Piala Dunia 1974 tersebut memang berakhir berantakan untuk Belanda, tetapi tim 1974 ini masih dianggap sebagai salah satu yang terhebat dalam dunia sepakbola. Mereka membuat kaget dunia dengan memainkan sepakbola yang belum kita (atau mereka, karena saya pribadi belum lahir pada saat itu) pahami sebelumnya. Mereka berjuang dengan gagah berani dan keluar sebagai pemenang medali perak, yah, atau pecundang medali emas.

    Michels dan pemainnya disambut sebagai pahlawan saat kedatangan mereka kembali di bandara Schiphol di Amsterdam dan disambut dalam perjamuan di Royal Palace oleh Ratu Juliana. Tapi kesedihan itu tidak dapat diatasi.

    Itu adalah persaingan sepakbola yang memiliki akar dalam sejarah Perang Dunia Kedua. Itu adalah sesuatu yang, bagi banyak orang, lebih dari sekedar sepakbola.



    Permusuhan ini menjadi salah satu persaingan paling sengit dalam sepakbola. Sampai hari ini, Jerman dan Belanda sudah bertemu sebanyak 25 kali, dengan Jerman menang sebanyak 7 kali dan Belanda menang sebanyak 8 kali.
    Tapi persaingan antara Jerman dan Belanda akan selalu membawa kedua negara kembali ke tahun 1974, tahun dimana "gemerlap bintang" total football mulai meredup.

    Dengan Belanda yang tidak lolos ke Euro 2016, dalam waktu dekat (setidaknya sampai Piala Dunia 2018) berarti kita tidak akan melihat pertandingan Jerman vs Belanda yang akan tersaji di turnamen bergengsi.

    Kembali kepada awal tulisan ini, pertadingan persahabatan nanti pastinya akan menjadi momen pengingat, sebuah reminder, bahwa total football sudah benar-benar mati. Namun, layaknya bintang yang mati di luar angkasa, total football meledak menyisakan sebuah supernova taktik sepakbola yang kita nikmati sampai detik ini.


    ====

    * Penulis biasa menulis soal sport science untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @dexglenniza

    (a2s/rin)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game