Sepakbola Sebagai Penawar Luka Para Pencari Suaka

Jangan tanya apa definisi "rumah" kepada para pengungsi di Eropa. Buat mereka, "rumah" adalah sesuatu yang keji, yang membuat mereka terusir dan pergi.
Berdasarkan Council for Foreign Relation, terdapat perbedaan antara asylum seeker (pencari suaka) dengan refugee (pengungsi). Pencari suaka merupakan orang yang biasanya pindah dari wilayah konflik dan mencari perlindungan dunia internasional; pengungsi adalah pencari suaka yang klaim suakanya telah disetujui. Sementara itu, imigran adalah sebutan buat pengungsi maupun pencari suaka; meskipun tidak semua imigran adalah pencari suaka ataupun pengungsi.
Salah satu alasan imigran pindah ke negara lain umumnya untuk mendapatkan yang lebih baik, apapun bentuknya: pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga kehidupan. Dua bulan silam, ribuan imigran dari Suriah berbondong-bondong memasuki Eropa. Banyak dari mereka yang ditolak dan diusir karena mereka masuk lewat Eropa Timur yang masih kental dengan gerakan ultra-nasionalisnya.
Menurut aturan lama Uni Eropa, negara pertama yang didatangi pencari suaka-lah yang mesti menampung mereka. Karena permasalahan dan kekerasan yang tak kunjung reda, aturan tersebut tidak diberlakukan. Para pencari suaka pun mulai menjelajah seantero Eropa. Sebagian dari mereka bergerak ke Jerman; sebagian lagi ke Spanyol dan Britania Raya.
Berdasarkan International Organization for Migration diperkirakan terdapat 750 ribu pencari suaka yang hijrah ke Eropa dua bulan lalu. Sebanyak 331 ribu di antaranya masuk ke Jerman. Mereka masuk ke Eropa lewat Turki dan Laut Mediterania.
Rumah baru tak selamanya ramah. Tidak sedikit masyarakat yang menyimpan amarah. Kehadiran mereka tak selamanya diterima dengan tangan terbuka.
Sulit buat para pencari suaka untuk menyibukkan dirinya dengan berbagai kegiatan. Mereka umumnya hanya tinggal di pengungsian. Ada banyak risiko yang bisa mereka dapatkan jika berkeliaran di kota sendirian. Masih banyak ancaman dari kelompok ultra-nasionalis yang jelas menentang kehadiran mereka.
Para pencari suaka baru bisa tinggal, bekerja, dan bernafas lega, setelah mereka suaka mereka diterima suatu negara. Nah, jangankan bekerja, untuk tinggal sementara saja mereka harus waspada, apalagi untuk sekadar bermain bola.
Lingkungan yang Mendukung
Jerman memiliki kebijakan untuk menerima imigran. Hal ini senada dengan pandangan Uni Eropa yang mengimbau negara-negara di bawah UE untuk tidak menolak imigran. Menurut perwakilan Amnesty International, Weronika Rokicka, salah satu kewajiban moral dan formal negara-negara Uni Eropa adalah menolong mereka yang mencari tempat bernaung karena teraniaya.
Sulit buat para pencari suaka untuk bisa bermain bola dan bergabung ke dalam klub. Mayoritas kesebelasan di Jerman enggan berurusan dengan orang-orang yang tak bisa berbahasa Jerman, tak punya sepatu yang layak, dan berpeluang besar dideportasi. Mereka tak mau berurusan dengan hukum karena menampung para imigran (yang masih) ilegal.
Beberapa tahun lalu, imigran asal Afrika Barat diminta pergi oleh Pemerintah Italia. Pasalnya, pusat suaka di Pulau Lampedusa dihentikan pendanaannya oleh Uni Eropa. Imigran asal Afrika Barat itu pun diberi sepeser uang tapi diminta pergi dari Italia.
Imigran tersebut akhirnya berlabuh di Hamburg dan membentuk kesebelasan FC Lampedusa yang diambil dari pulau tempat mereka pertama tiba di Italia. Namun, mereka justru diminta kembali ke Italia.
Atas dasar itu, mereka mendatangi kesebelasan St. Pauli yang dikenal karena pandangan politiknya yang antirasial dan antifasis. Apa yang mereka lakukan tak sia-sia karena mereka mendapatkan dukungan dari staf pelatih St. Pauli, Hagar Groeteke.
"Mereka adalah orang-orang yang kehilangan segalanya: rumah, keluarga, kehidupan normal, dan mereka dikeluarkan dari klub sepakbola karena tak punya sepatu. Anda tak perlu dokumen untuk tinggal di kota kami dan Anda tak perlu dokumen untuk bisa bermain sepakbola," tutur Hagar dikutip dari Quartz.
Setiap minggu mereka bermain di liga tiap petang. Lawan yang mereka hadapi umumnya kesebelasan imigran lain maupun tim-tim yang memiliki pandangan antirasial.
"Saat Hagar bertanya apakah anak-anak ingin berlatih di kesebelasan Jerman, mereka menolak. Mereka ingin bermain di tim yang memiliki kondisi yang sama dengan mereka, di mana mereka bukan satu-satunya pemain yang tak punya sepatu, dan tak punya sesuatu yang bisa disebut rumah," tulis Aamna Mohdin dalam tulisannya Here to stay, here to play: The Soccer teams in Europe composed entirely of refugees.
Berkumpul di Pusat Imigran
Dalam tulisan di atas dijabarkan bahwa Italia menjadi salah satu pintu gerbang pertama bagi pencari suaka untuk menuju Eropa. Berdasarkan Welfare Society Territory, hingga akhir Agustus 2015, terdapat 114 ribuan pencari suaka. Jumlah ini melonjak sekitar 2.000-an ketimbang tahun lalu.
Di Italia pun para pencari suaka memiliki masalah yang sama. Mereka mesti menunggu sampai berkas mereka disetujui dan diterima. Di sisi lain, penerimaan berkas tersebut membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Liberi Nantes adalah kesebelasan yang dihuni oleh imigran. Mereka memiliki slogan free to play dan telah terbentuk selama delapan tahun. Saat ini mereka telah bekerja sama dengan 60 pusat suaka untuk membantu pencari suaka meningkatkan kesehatan fisik dan mental mereka.
Di dalam tim, mereka tak sekadar bermain sepakbola. Ada sejumlah kegiatan yang digelar Liberi Nantes seperti hiking dan mengadakan kelas bahasa. "Buat mayoritas para pemain, mereka mengartikan tim sebagai keluarga," tutur Daniela Conto, Presiden Liberi Nantes.
Namun, hal paling penting dari berdirinya Liberi Nantes adalah mereka menjadi pusat dukungan bagi para pencari suaka dan bisa menjadi tempat untuk bersosialisasi. Kesamaan nasib membawa mereka—pencari suaka dari Afrika hingga Suriah—bertemu dan menjadi satu dalam satu kesebelasan yang sama.
Kehadiran kesebelasan di tengah mereka yang terlantar terasa amat penting. Selain menjaga kualitas mental para pencari suaka, kesebelasan pun hadir sebagai penjaga api semangat mereka tidak padam. Salah satunya adalah apa yang dirasakan Yamkuba saat bercerita kepada Quartz.
Yamkuba sudah bermain bola sejak usianya 10 tahun di negara asalnya, Gambia. Karena kemampuannya, ia sudah bergabung dengan tim muda di kompetisi Gambia. Namun, karier sepakbolanya mesti terhenti karena ia harus bekerja di Libya selama beberapa tahun. Sayang, saat itu meletus perang sipil yang membuat Yamkuba melarikan diri. Seperti halnya para pencari sauaka lainnya, ia menjalani perjalanan berbahaya dengan perahu melewati Laut Mediterrania dengan harapan bisa membangun hidup yang lebih baik di Eropa.
Tiba di Italia pada 2011, Yamkuba segera mengajukan suaka. "Aku ada di camp selama 10 bulan tapi aku tetap main bola. Aku berlatih setiap pagi dan malam. Ayo, lihat bagaimana caraku bermain," tutur Yakumba seperti dikutip Quartz.
Selama menunggu permohonan mereka diproses, mereka harus menunggu di pusat suaka dan tak bisa bekerja atau menyibukkan diri. Bermain sepakbola membantu Yamkuba, juga pencari suaka lainnya, untuk tetap sibuk dan sehat secara fisik dan mental.
***
Sulit buat para pencari suaka untuk lepas dari lingkungan barunya. Ini tentu merupakan hal yang jauh berbeda dengan kita yang pindah rumah dari satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Menjadi pencari suaka bisa dibilang sebagai bentuk keterpaksaan bagi seseorang untuk meninggalkan rumahnya. Ia bisa jadi terancam justru karena hal-hal yang terjadi di sekitar rumahnya itu sendiri.
Pindah ke tempat lain tak membuat para pencari suaka diterima dengan tangan terbuka. Ada banyak golongan yang merasa terancam dengan orang baru yang dianggapnya sebagai lawan. Para pencari suaka ini bisa saja menimbulkan masalah baru di negara tersebut seperti berkurangnya lapangan pekerjaan hingga aksi terorisme. Bahkan, aksi teror yang menimpa Paris dikaitkaan dengan kedatangan imigran dari Suriah.
Beruntung karena sepakbola bisa hadir sebagai penetral dalam konflik. Kehadiran kesebelasan yang berisi para imigran bisa menjadi alat untuk meredakan ketegangan dan sebagai saran untuk mengenalkan kalau mereka adalah tamu yang tengah meminta perlindungan.
Sungguh mengerikan tentu jika mereka yang terusir dari rumah sendiri, justru terkatung-katung dan mendapat diskriminasi di negeri temapat mereka minta perlindungan. Toh, perjuangan mereka untuk pergi pun tidaklah mudah. Mereka harus terombang-ambing di lautan dengan kapal yang tinggal menunggu waktu untuk tenggelam karena kelebihan penumpang. Seperti halnya Yamkuba, mereka pergi meninggalkan segalanya, termasuk karier sepakbola hanya demi kehidupan yang lebih baik.
====
* Akun twitter penulis: @Aditz92 dari @panditfootball