Konflik Suporter Multikultural Paris

Popularitas Paris Saint-Germain (PSG) merupakan salah satu yang tertinggi di Prancis. Kesebelasan yang juga didukung oleh Nicolas Sarkozy, presiden Prancis (2007-2012), ini bukan hanya didukung oleh orang-orang Paris, PSG dikenal memililki banyak pendukung multietnik yang kebanyakan berasal dari China dan Afrika.
Peristiwa pengeboman dan penembakan yang menewaskan lebih dari 100 orang di Paris beberapa waktu lalu membuat kondisi para pendukung PSG ini menjadi menarik untuk didiskusikan. Kendati konstitusi Prancis menghormati dan percaya akan kesetaraan umat manusia, namun bukan berarti di sana terhindar dari masalah-masalah sosial.
Dunia sepakbola Prancis, khususnya situasi di tribun suporter, juga menghadapi masalah-masalah sosial yang tidak gampang. Rasialisme bukannya tidak ada, malah beberapa kali memicu kekerasan di tribun. Keberadaan kelompok sayap kanan yang berwatak ultranasionalis dan antiimigran memang menjadi persoalan laten bagi kehidupan multietnis di Paris.
Dalam hal PSG, kelompok suporternya bahkan terbagi menjadi dua kubu yang saling berseberangan, antara sayap kanan berciri stelan ala casual, dengan kubu suporter antifasis bergaya ultras ala Italia. Akan tetapi, perlu juga digarisbawahi, tak berarti Inggris atau gaya casual berarti sudah pasti fasis dan yang bergaya ultras ala Italia sebaliknya. Ini hanya dalam kasus di PSG yang kebetulan langgam dan haluan politik masing-masing kubu memilih ciri-ciri di atas.
Berawal dari Mengadopsi Hooliganisme Inggris
Pada awal Juni 2013, sekelompok perusuh ditangkap sebelum pertandingan Prancis menghadapi Serbia oleh kepolisian Brussels, Belgia. Mereka yang ditangkap berusia antara 20 sampai 35 tahun dan beberapa di antaranya dilaporkan memiliki hubungan dengan estrimis sayap kanan. Setelah diidentifikasi, rupanya beberapa di antara mereka merupakan suporter PSG yang berasal dari kelompok (firma) bernama The Kop of Boulogne (KoB).
KoB bisa dibilang merupakan suporter garis keras Les Parisiens paling setia namun juga terkenal ekstrim. Berawal dari murahnya transportasi dari Paris ke Liverpool, Inggris, pada 1970-an, memungkinkan arus informasi pun mengalir dengan mudah.
Salah satu yang diserap oleh Parisian yang menjadi suporter PSG adalah nama Kop, sebutan untuk para pendukung Liverpool, yang lantas diadopsi sebagai nama kelompok. Tak hanya nama, mereka pun menjamah subkultur hooligan casual ala Inggris.
Memasuki dekade 1980-an, mulai masuk pengaruh skinhead Neo-Nazi. Pelan tapi pasti, pandangan sayap kanan pun mulai memasuki tribun PSG. Tendensi untuk memusuhi kaum imigran pun mulai mencuat. Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan KoB kemudian disusupi pesan-pesan rasialis.
Salah satu insiden paling banyak dibicarakan adalah saat Julien Quemener, salah satu anggota KoB, tewas dalam baku tembak dengan polisi ketika pertandingan Piala UEFA melawan Hapoel Tel Aviv di Stadion parc des Princes pada 2006. Saat itu ia ditembak polisi yang sedang berusaha melindungi pendukung Hapoel beragama Yahudi yang dikeroyok para KoB.
KoB sendiri sejauh ini memiliki sekitar 85 kelompok kecil, jumlah yang sangat besar. Merekalah yang menopang KoB sehingga menjadikan KoB sebagai suporter yang sangat berpengaruh di Stadion Parc des Princes, kandang PSG.
KoB yang Tidak Pandang Bulu Melancarkan Rasialisme
Perilaku agresif KoB ini membuat risih banyak kalangan sepakbola, termasuk beberapa mantan pemain Les Parisiens itu sendiri. Jelas saja pemain marah, karena KoB tak segan memaki pemain PSG sendiri yang berasal dari ras yang dianggap remeh.
Dalam suatu pertandingan, mereka pernah berteriak kepada Vikash Dhorasoo, pemain PSG keturunan India, dengan kalimat, "Pergilah berjualan kacang di Metro!" Jelas ini hinaan rasialis yang sangat ofensif. Dan itu dilakukan kepada pemain mereka sendiri.
Mereka juga kerap menirukan suara monyet ketika para pesepakbola kulit hitam sedang melakukan pemanasan dan menyerukan kalimat-kalimat rasialis lainnya. Rata-rata pelaku merupakan KoB kulit putih yang hadir di stadion untuk mencari pertengkaran dengan orang kulit hitam, keturunan arab, atau kelompok multietnik lainnya.
"Aku harus berpikir dua kali sebelum menginjakkan kaki di sana (Stadion Parc des Princes) lagi," imbuh Patrick Vieira, pelatih New York City FC sekaligus mantan pemain nasional Prancis.
Direksi PSG sendiri tidak tinggal diam. Mereka berusaha membatasi KoB, khususnya guna memerangi rasialisme, di antaranya dengan memasang 102 kamera CCTV di dalam stadion Parc des Princes. Pemasangan itu tak lepas dari pengeroyokan dua pemuda keturunan Arab yang dilakukan di area tribun KoB.
Video tersebut cukup ampuh membantu penangkapan tiga KoB yang membentangkan bendera rasialis pada 2005 saat PSG tengah berkampanye antiras dalam sepakbola. Akhirnya tiga pelaku tersebut dilarang datang ke Parc de Princes selama tiga tahun dan didenda seribu euro serta wajib lapor ke kantor polisi untuk jangka waktu tertentu.
Di luar rasialisme pun KoB sering berkeliaran di dalam stadion tanpa mengantongi tiket. Mereka tetap bisa mendapatkan akses ke stadion atas bantuan atau koneksi dengan beberapa mantan hooligan PSG bekerja sebagai staf keamanan di sana. Menanggapi hal itu, manajemen PSG memanggil beberapa staf dan melakukan pemantauan untuk menghindari penyusupan yang dibantu oleh staf keamanan.
Selain upaya-upaya teknis di atas, dulu sempat juga dilakukan langkah lain untuk mengurangi atau membatasi pengaruh KoB. Salah satunya adalah memfasilitasi dan memediasi kelompok suporter yang berpandangan antifasis. Harapannya, jika kelompok antifasis menguat, maka pengaruh KoB juga akan menurun.
Alih-alih berhasil, langkah ini justru melahirkan friksi yang tajam di stadion. Terjadi konflik berkepanjangan antara suporter sayap kanan yang berwatak ultrasnasionalis dengan kelompok antifasis. Sehingga atmosfer Parc des Princes menjadi terkenal sebagai stadion yang paling sering diwarnai perseteruan di antara suporter sendiri.
Respons Keras Kepala KoB kepada Pengelolaan Nasser Al-Khelaifi
Setelah diambil alih Qatar Sports Investments (QSI) yang dipimpin Nasser Al-Khelaifi pada tahun 2011, PSG dengan cepat menambah pundi-pundi trofinya. Gelar juara Ligue 1 langsung diraih pada musim berikutnya. Ini bukan pencapaian remeh karena gelar juara liga domestik musim 2012/2013 itu menjadi gelar juara liga yang pertama kali mereka raih sejak 19 tahun terakhir.
Pusat Kota Paris pun tumpah ruah merayakan juara setelah bertahun-tahun puasa gelar, seperti Manchester City ketika menjadi kampiun Liga Primer Inggris 2011/2012. Para suporter PSG larut dalam suka cita perayaan yang bak karnaval. Tapi perayaan di alun-alun Trocadero Paris tersebut berubah menjadi kekacauan. Siapa pelakunya? Siapa lagi jika bukan KoB.
Masalah dimulai ketika mereka mengungkit salah satu kematian anggota mereka yang dibunuh Supras Auteuil, salah satu firma suporter PSG yang lain. Dari situlah protes tersebut berkembang menjadi chaos.
Maka parade perayaan itu terganggu. Pemain hanya menampilkan piala sekitar lima menit karena protes KoB berbah menjadi bentrokan dengan polisi anti huru-hara. Sebanyak 30 orang luka-luka dan 21 KoB ditahan polisi akibat kerusuhan yang menyebabkan kerusakan beberapa infrastruktur saat itu.
Bentrokan tersebut menjadi alarm yang sangat jelas bagi Al-Khelaifi. Mimpinya menjadikan PSG sebagai kesebelasan yang didukung fans dari berbagai belahan dunia harus ditunda lebih dulu. Atau, setidaknya, harus dimulai dengan membereskan persoalan friksi antarsuporter PSG sendiri.
Persoalannya, KoB yang punya watak ultranasionalis, bahkan cenderung fasis, tentu tidak gampang ditundukkan oleh seorang asing, lebih-lebih ia seorang Arab, dan muslim pula. Nyanyian KoB "Ini Paris" hendak menegaskan bahwa Paris hanya untuk Parisien, untuk orang Paris, bukan para imigran dan keturunannya. Sementara terdapat 8 juta warga imigran dan keturunannya di Paris. Khelaifi sendiri berkebangsaan Qatar.
Di Paris, manajemen PSG harus menyatukan orang dari seluruh daerah dan beberapa kota kecil. Pasalnya, PSG di Paris bukan layaknya United atau City di Manchester, melainkan singgahan berbagai pendukung dengan keadaan ekonomi dan sosial yang beragam. Beberapa upaya penyatuan pun dilakukan di Parc de Princes.
Salah satunya menyatukan tribun dengan sistem pembelian tiket acak. Harapannya, interaksi antarsuporter dari berbagai latar belakang sosial bisa tumbuh. Dengan demikian, dari interaksi di tribun itulah, proses akulturasi bisa berlangsung.
Namun tentu saja skema itu ditolak mentah-mentah KoB. Mereka bersikukuh jika para pendukung PSG yang berlatar belakang imigran memang layak dipertanyakan dan dipersoalkan "ke-Prancis-an" atau "ke-Paris-an"nya.
Setidaknya Khelaifi bisa memberi bukti bahwa investasinya berhasil mendatangkan prestasi. Secara keseluruhan ia berhasil menjalankan tugasnya membuat PSG sebagai kesebelasan top di Prancis, juga mulai merengsek papan atas peta sepakbola Eropa.
Tapi para KoB tetap keras kepala mengenai gaya dukungannya kepada PSG. Mereka juga tidak tertarik mengenai kedatangan Zlatan Ibrahimovic dan Thiago Silva pada Juli 2012. Bahkan Ibrahimovic pernah mengeluhkan kurangnya dukungan kepada Les Parisiens selama berlaga di Parc des Princes.
The Supras Auteuil dan The Tigris Mystic sebagai Alternatif
Kekerasan berbau fasisme dan rasialisme yang semakin marak sejak 1980-an membuat suporter PSG multietnik mulai membangun kekuatan pada awal 1990-an. Berawal dari terbentuknya The Supras Auteuil yang mengadopsi gaya dukungan khas ultras Italia, kampanye antifasisme dan antirasialisme mulai marak di Paris. Mereka rutin mengibarkan bendera Afrika atau warna-warna kaum Rastafarian di tribun.
Pembentukan Supras Auteuil kemudian diikuti munculnya kelompok bernama Tigris Mystic pada 1993 dengan visi dan misi serupa yakni memerangi fasisme dan rasialisme oleh KoB. Mereka berbasis di pinggiran Prancis, tepatnya di Seine-Saint-Denis.
"Kini suporter berwatak fasis dan ultranasionalis sudah mulai tersingkir dari sekitaran kami," cetus seorang anggota Tigris Mystic keturunan Afrika Utara.
Tentunya kelahiran mereka mengakibatkan masalah baru di Parc des Princes. Mereka jelas tidak diinginkan oleh KoB dengan dominasi kulit putihnya. Tidak seperti hooliganisme sepakbola di tempat lain yang merayakan antagonisme dengan suporter klub rival, di PSG justru kobaran perseteruan itu juga terjadi di sesama pendukung PSG sendiri. Kekerasan menjadi semakin meningkat dan terjadi beberapa insiden sebagai dampak persaingan antara KoB dengan Supras Auteuil dan Tigris Mystic, apalagi jika berlangsung pertandingan bertajuk Le Classique melawan rivalnya, Olympique de Marseille. Skala keributan bisa semakin membesar.
Bahkan Yann Lorence, anggota KoB, dibunuh Supras Auteuil di luar Stadion Parc Des Princes menjelang pertandingan Le Classique pada Februari 2010. Kejadian itu membuat Auteuil dibekukan dan benar-benar hilang dari tribun Parc des Princes dua tahun kemudian.
Pihak petinggi PSG dan kepolisian selalu berupaya mendamaikan kedua kubu yang berseberangan pandangan ini melalui berbagai forum. Namun hasilnya sejauh ini belum memuaskan seperti yang diharapkan.
====
* Penulis adalah anggota Pandit Football Indonesia dengan akun twitter: @RandyNteng
** Foto-foto: AFP