Akankah 'Sons of the God' dari Amsterdam Bangkit Kembali?

Bersama pemain dengan talenta luar biasa, Johan Cruyff, yang sudah bermain untuk Ajax setahun sebelumnya, Michels kemudian membuat Ajax tidak hanya merajai kompetisi domestik Belanda, bahkan superioritas mereka menjalar hingga ke Benua Eropa.
Gelar pertama yang dihasilkan oleh Ajax yang diasuh oleh Michels adalah juara Eredivisie 1966/1967. Hebatnya, musim tersebut Cruyff dan kawan-kawan total mencetak 122 gol sepanjang musim. Raihan tersebut menjadi rekor gol terbanyak yang dicetak dalam sejarah Eredivisie, bahkan belum bisa terpecahkan hingga saat ini.
Setelah mendominasi kancah domestik, Ajax juga mencoba menancapkan taringnya di Eropa. Sempat menembus final Piala Champions pada tahun 1969, sayangnya mereka kemudian dihantam AC Milan di partai puncak dengan skor 4-1.
Dua tahun kemudian, barulah mereka berhasil menjadi juara Eropa setelah mengalahkan klub asal Yunani, Panathinaikos dalam pertandingan final yang digelar di stadion Wembley tersebut.
Saking hebatnya dominasi, superioritas, dan kegemilangan Ajax pada masa tersebut, membuat mereka kemudian mendapatkan julukan De Godenzonen atau Sons of the Gods --Keturunan Para Dewa. Kala itu para pemain Ajax seakan merupakan keturunan para Dewa yang turun ke bumi, dan bermain sepakbola bersama para manusia.
Produsen Bintang Dunia dan Juara Liga Champions
Setelah era Cruyff, Ajax juga terus menerbitkan pemain-pemain bintang kelas dunia. Mulai dari duo Denmark, Soren Lerby dan Frank Arnesen, pada tahun 1970-an, kemudian Danny Blind, Frank Rijkaard, Marco van Basten, dan Ronald Koeman pada tahun 80-an. Lalu muncul nama-nama seperti Clarence Seedorf, Edgar Davids, dan Edwin van der Sar di era sebelum milenium baru. Hingga tahun 2000-an di mana Wesley Sneijder dan Rafael van der Vaart menjadi bintang lain yang diproduksi oleh Ajax.
Keberhasilan untuk menelurkan pemain bintang tidak terlepas dari keberadaan dari 'De Toekomst' atau akademi sepakbola milik Ajax. Bersama Academy of Light milik West Ham United dan La Masia milik Barcelona, akademi Ajax hingga saat ini terus menerus menghasilkan para pesepakbola berkualitas jempolan.
Kemenangan di final Liga Champions tahun 1995, semakin membuat nama De Toekomst melambung. Pasalnya skuat yang kala itu ditangani Louis van Gaal (ya, Van Gaal yang kini menjadi manajer Manchester United) berhasil keluar sebagai juara padahal skuatnya hampir 90% berisikan pemain muda hasil binaan akademi Ajax.
De Boer bersaudara --Frank dan Ronald--, Seedorf, Davids, Van der Sar, Patrick Kluivert, Michael Reiziger, dan Winston Bogarde adalah para pemain akademi yang kemudian dipromosikan Van Gaal ke tim senior dan menjadi kekuatan inti. Ditambah talenta berbakat asing seperti Jari Litmanen, Finidi George, dan Nwanko Kanu. Pemain senior di tim tersebut kala itu hanyalah kapten tim Danny Blind, Frank Rijkaard, kemudian Peter van Vossen, dan kiper cadangan, Fred Grim.
![]() |
Sejak saat itu Ajax sendiri mulai banyak berkonsentrasi ke akademi mereka. Bahkan pada tahun 2011, mereka mulai membuka akademi di luar Belanda. Yunani menjadi negara pertama yang membuka akademi sepakbola yang berafiliasi langsung dengan akademi Ajax yang berada di Belanda. Hal ini semakin memperkuat program pemain muda mereka yang sebelumnya juga sudah melakukan pertukaran pemain antara Ajax dan klub-klub yang berafiliasi dengan juara empat kali Liga Champions Eropa ini.
Dimulai dari era Golden Generation pada tahun 1995, Ajax terus menelurkan para pemain berbakat yang kelak akan menjadi bintang kelas dunia. Pasca-milenium baru, Ajax kemudian menerbitkan nama-nama seperti Sneijder, Van der Vaart, dan Andy van der Meyde.
Setelahnya muncul Nigel de Jong, Hedwiges Maduro, Ryan Babel, dan Thomas Vermaelen, berlanjut ke masa-masa di mana Jan Vertonghen dan Toby Alderweireld (kini keduanya di Tottenham Hotspur) menjadi palang pintu tangguh di lini pertahanan Ajax.
Kemudian pada generasi tahun 2014 juga sempat disebut-sebut sebagai Golden Generations jilid kedua. Kala itu Ajax diperkuat oleh Daley Blind (kini di Manchester United), Christian Eriksen (kini di Tottenham), dan Siem de Jong (kini di Newcastle United). Hasilnya memang tidak main-main, Ajax berhasil menjadi kampiun Eredivisie dua musim beruntun. Hingga akhirnya bintang-bintang tersebut hijrah ke kesebelasan lain di luar Belanda.
Petaka Usai Golden Generations Jilid Kedua
Ajax terus memproduksi pemain-pemain muda bertalenta hebat hingga kini. 'Messi Denmark' Viktor Fischer, Anwar El-Ghazi, dan Riechedly Bazoer adalah generasi terkini hasil produksi dari akademi Ajax. Sayangnya mereka belum bisa memberikan gelar untuk Ajax. Menjadi kampiun Eredivisie pada generasi Daley Blind (musim 2013/2014) adalah gelar Eredivisie termutakhir yang berhasil diraih oleh Ajax.
Pada edisi-edisi berikutnya, Ajax gagal menjadi juara. Mereka harus merelakan gelar juara Eridivisie jatuh ke tangan rival terberat mereka, PSV Eindhoven. Bahkan yang terbaru di musim 2015/2016, mereka harus kehilangan gelar secara tragis, karena kehilangan poin tepat di hari terakhir kompetisi.
![]() |
Setelah berhasil menjadi kampiun Eredivisie pada tahun 2014, banyak anggota generasi emas Ajax pada musim tersebut akhirnya hijrah ke klub lain. Mulai dari Blind hingga De Jong. Sebelumnya mereka juga sudah ditinggal Eriksen yang hijrah ke Tottenham pada awal musim tersebut.
Sebenarnya apabila dilihat dari skuat yang ditinggal Blind dan kawan-kawan, ini masih menunjukan kompetensi yang cukup baik. Pemain muda seperti Joel Veltman dan Davy Klaasen juga sudah banyak bermain reguler pada musim sebelumnya. Tentu saja hal tersebut menghadirkan anggapan bahwa skuat Ajax baik-baik saja meskipun ditinggal para bintangnya.
Namun, nyatanya skuat asuhan Frank de Boer tidak bisa menandingi superioritas PSV pada musim musim lalu, musim 2014/2015. PSV berhasil memenangi delapan dari 10 pertandingan perdana mereka di Eredivisie musim tersebut, PSV tancap gas dan langsung menjauh dari Ajax. Terlebih lagi Memphis Depay bermain luar biasa di musim tersebut dan keluar sebagai pencetak gol terbanyak Eredivisie dengan 22 gol.
Yang terjadi pada musim ini adalah yang lebih tragis dan menyedihkan. Berada di puncak klasemen Eredivisie selama 20 pekan Eredivisie, sempat melorot ke peringkat kedua selama tujuh pekan. Namun, kemudian kembali lagi memuncaki klasemen bahkan tepat hingga hari terakhir kompetisi. Ajax harus merelakan gelar juara setelah bermain imbang di partai terakhir melawan De Graafschap. Sementara itu PSV berhasil memenangi pertandingan terakhir mereka melawan PEC Zwolle.
Kegagalan musim ini tentunya menjadi sesuatu yang sulit dilupakan sekaligus menyedihkan. Berada di puncak klasemen untuk waktu yang lama, namun tersalip tepat di hari terakhir kompetisi, dan harus merelakan gelar juara kepada rival terberat. Menjadi sebuah hal yang sangat menyedihkan bagi klub seperti Ajax Amsterdam.
Di kancah Eropa lebih mengenaskan lagi. Setelah era De Godenzonen pada tahun 70-an dan Golden Generation pada tahun 1995, prestasi Ajax di Eropa bisa dibilang menyedihkan. Selama lima musim beruntun, mulai dari 2010/2011 hingga 2014/2015, Ajax gagal lolos dari fase grup Liga Champions.
Bahkan musim ini mereka tidak berhasil melaju dari babak kualifikasi dan harus puas berlaga di Liga Europa. Hasil ini sebenarnya lebih buruk dibanding pada pergantian milenium lalu di mana mereka harus bermain selama dua musim di Piala UEFA, kompetisi level kedua Eropa sebelum berganti nama menjadi Europa League.
***
[Baca Juga: Berkah yang Menyusahkan untuk Ajax]
Dinamakan sesuai dengan nama pahlawan mitologi Yunani, Ajax mengandung harapan akan kejayaan seperti yang dilakukan oleh sang pahlawan yang terlibat dalam kemenangan pasukan Yunani di Troya tersebut. Bukan hanya Ajax, tetapi publik sepakbola juga merindukan kejayaan kesebelasan tersebut. Berharap era Die Godenzonen akan terluang kembali, bukan hanya sekadar menjadi produsen pemain yang kemudian menjadi bintang di kesebelasan lain.
====
*penulis juga biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @aunrrahman.
(roz/din)