Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Giuseppe Marotta, Otak di Balik Kesuksesan (Transfer) Juventus

    Ardy Nurhadi Shufi - detikSport
    Foto: Getty Images/Valerio Pennicino Foto: Getty Images/Valerio Pennicino
    Jakarta - Juventus menjalani bursa transfer musim panas 2016 dengan cukup meyakinkan. Sejumlah pemain papan atas didatangkan dengan target memperpanjang torehan juara Serie A Italia enam kali secara beruntun serta menjuarai Liga Champions.

    Simak deretan nama berikut: Daniel Alves, Miralem Pjanic, Marko Pjaca, dan Medhi Benatia (pinjam). Cukup oke. Keempatnya didatangkan dengan biaya lebih dari 50 juta euro.

    Hal ini tentunya merupakan pencapaian luar biasa bagi Juventus, karena jika menilik 10 tahun yang lalu, mereka baru saja terjerumus ke Serie B karena kasus Calciopoli. Juve pun sempat tertatih ketika kembali ke Serie A tiga musim setelahnya.

    Sekilas, kesuksesan Juventus saat ini merupakan keberhasilan Antonio Conte, pelatih yang mempersembahkan Scudetto pada 2011/2012, yang membangun fondasi skuat Juventus untuk kemudian mempersembahkan tiga trofi Serie A. Namun selain Conte, sebenarnya ada sosok lain yang menjadi figur penting dalam era baru Juventus saat ini. Ia adalah sang direktur umum sekaligus CEO Juventus, Giuseppe "Beppe" Marotta.

    Marotta Ide di Balik Proyek Jangka Panjang Juventus

    Marotta masuk dalam jajaran manajemen Juventus pada 2010. Ia menggantikan Direktur Umum Juventus sebelumnya, Alessio Secco. Secco dianggap terlalu ingin mengincar hasil instan. Pemain-pemain yang didatangkan Secco pun tak ada yang bisa dijual kembali dengan nilai yang menguntungkan. Sebut saja Zdenek Grygera, Sergio Almiron, Jorge Andrade, Hasan Salihamidzic, Antonio Chimenti, Olof Mellberg, Fabio Grosso, hingga Fabio Cannavaro, yang saat didatangkan usianya di atas 27 tahun.

    Selain menjadi Direktur Umum, Marotta juga merangkap tugas sebagai CEO menggantikan Jean-Claude-Blanc. Marotta didatangkan tak lama setelah Juventus menunjuk presiden klub baru, Andrea Agnelli.

    Saat pertama kali Marotta bergabung, Juventus sedang dalam situasi yang cukup kacau. Ultras Juve tengah gencar-gencarnya melancarkan protes karena Juventus menempati peringkat ketujuh Serie A 2009/2010, di mana hal tersebut merupakan peringkat terburuk sejak Juve kembali ke Serie A pada 2007/2008.

    Marotta yang sebelumnya menjadi Direktur Pelaksana Sampdoria, datang ke Turin dengan orang-orang kepercayaannya, yakni Luigi Delneri dan Fabio Paratici. Delneri yang pernah bekerja sama dengan Marotta di Atalanta, menjadi pelatih kepala menggantikan Alberto Zaccheroni, sementara Paratici diplot menjadi kepala pemandu bakat tim.

    Di awal kepemimpinannya, ia mendatangkan pemain baru setidaknya hingga 14 pemain dan melepas sekitar 11 pemain. Leonardo Bonucci dan Andrea Barzagli adalah dua pemain yang didatangkan Marotta pada awal kepemimpinannya dan masih bertahan hingga saat ini.

    Marotta saat itu memang ingin mengubah wajah Juventus. Ia tak ragu melepas para pemain senior yang kemampuannya sudah tak lagi bisa diandalkan seperti David Trezeguet, Mauro Camoranesi, Fabio Cannavaro, Jonathan Zebina, dan Nicola Legrottaglie.

    Getty Images/Claudio Villa

    Ia juga dengan berani menjual pemain-pemain yang dianggap kurang berkontribusi agar bisa lebih aktif di bursa transfer. Karenanya pemain-pemain seperti Diego Ribas, Christian Poulsen, Sergio Almiron, dan Christian Molinaro pun dijual.

    Meski merombak skuat Juventus, Marotta tak mau gegabah perihal transfer pemain. Apalagi saat itu Financial Fair Play belum lama baru diberlakukan. Karenanya meski mengusung target tinggi, Marotta tetap bijak dalam belanja pemain.

    "Sepakbola harus menjadi aktivitas yang berkelanjutan, di mana Anda harus membatasi kerugian. Financial Fair Play menjadi peringatan bagi setiap manajemen untuk mengatur pemasukan mereka," ujar Marotta lewat situs resmi klub pada 2013.

    Marotta memang menjadi sosok yang paling sibuk setiap pembelian dan penjualan pemain Juventus. Ia yang menegosiasikan dan menentukan pemain mana yang hendak dibeli atau dijual oleh Juventus.

    Selain pemain, ia juga menjadi orang yang menentukan pelatih Juventus. Ketika Delneri dianggap gagal, Marotta adalah orang yang dengan berani menunjuk legenda Juventus, Antonio Conte, sebagai pengganti, meski Walter Mazzarri dan Luciano Spaletti yang lebih berpengalaman dicalonkan oleh manajemen Juventus yang lain. Padahal, saat itu Conte tak memiliki pengalaman yang cukup banyak sebagai pelatih. Conte baru sekadar mengantar promosi Bari dan Siena ke Serie A.

    Marotta juga menjadi orang yang percaya diri ketika Conte memilih untuk mengundurkan diri. Ia tetap pada pendiriannya bahwa meski Juve meraih telah meraih kesuksesan, Juve tetap perlu lebih bijaksana dalam aktivitas transfer. Hal inilah yang membuat Conte berkata, "Anda tidak akan bisa makan di restoran 100 euro jika hanya memiliki 10 euro di saku Anda." Ucapan itu bisa diartikan bahwa manajemen Juve masih terlalu pelit untuk membeli pemain.

    [Baca Juga: Dompet Tipis Antonio Conte]

    Pada 2013, semusim sebelum Conte mengundurkan diri, Juventus dikaitkan dengan dua penyerang asal Argentina, yakni Gonzalo Higuain yang ingin hengkang dari Real Madrid dan Carlos Tevez yang sudah ingin pindah dari Manchester City. Namun, dengan kebijakan transfer Marotta, Juve akhirnya menjatuhkan pilihan pada Tevez yang secara biaya jauh lebih murah ketimbang Higuain.

    Juve, sejak Marotta menjadi bagian dari manajemen tim, memang terlihat irit dalam berbelanja. Paul Pogba, Andrea Pirlo, Fernando Llorente, Kingsley Coman, Sami Khedira, Neto Murara, dan Daniel Alves, didatangkan dengan gratis. Belum lagi pemain-pemain murah berkualitas seperti Barzagli, Arturo Vidal, Simone Pepe, Stephan Lichtsteiner, Emanuele Giaccherini, Tevez, Stefano Sturaro, dan Daniele Rugani, yang kesemuanya datang setelah era Marotta.

    Marotta jugalah yang kemudian dengan yakinnya menunjuk mantan pelatih AC Milan, Massimiliano Allegri, beberapa hari setelah Conte mengundurkan diri, yang lantas mengundang kecaman dari sejumlah pendukung Juventus. Namun, keputusannya itu terbukti tepat karena Juventus, dengan tanpa melakukan belanja yang mewah seperti yang diinginkan Conte, berhasil menjuarai Serie A dan melangkah ke babak final Liga Champions.

    Reuters/Charles Platiau

    "Ya, kami sedang duduk di meja restoran 100 euro," ujar Marotta ketika Juventus mencapai babak semifinal Liga Champions 2014/2015. "Sangat memuaskan bisa melangkah sejauh ini. Kami duduk di meja ratusan euro dengan hal luar biasa yang kami lakukan beberapa tahun terakhir. Kami harap makanannya enak."

    Secara tersirat, apa yang dikatakan Marotta di atas agak menyindir pernyataan Conte yang tidak puas dengan transfer Juventus sebelum ia hengkang. Bisa jadi Marotta agak sedikit kesal dengan Conte karena awalnya ia ingin Conte bisa bertahan sangat lama di Juventus.

    "Conte merupakan salah satu pelatih terbaik dunia saat ini, padahal sepakbola Italia saat ini sangat terbatas. Bagaimanapun saya berharap bahwa manajer kami bisa menikmati situasi klub saat ini seperti Ferguson atau Wenger," ujar Marotta pada 2013 lalu.

    Marotta ingin Conte membangun dinasti seperti Alex Ferguson atau Arsene Wenger yang bertahan dengan kesebelasan yang mereka tangani hingga lebih dari 20 tahun. Namun, karena persoalan transfer, ternyata Conte memilih hengkang.

    Dengan segala kebijakan Marotta, saat ini, Juventus masih menunjukkan kedigdayaannya di Serie A meski tak lagi bersama Conte. Di bursa transfer kali ini, mereka telah mendatangkan pemain-pemain papan atas yang bisa mendekatkan mereka ke trofi Liga Champions.

    Dari sejumlah pemain baru, Juve telah berhasil mendatangkan Medhi Benatia dan semakin dekat untuk merekrut Higuain. Kedua pemain ini merupakan pemain yang sempat diinginkan Conte ketika masih menukangi Juventus. Bersama Marotta, Juve saat ini memang bukan lagi hanya memiliki 100 euro di saku, tapi seolah sedang berada di restoran all you can eat, di mana pemain manapun mungkin saja bisa mereka datangkan.

    Perjalanan Panjang Marotta Menuju Juventus

    Menduduki kursi manajamen Juventus jelas menjadi puncak dari karier Marotta. Apalagi untuk bisa bergabung dengan Juventus bukan perjalanan yang mudah baginya. Namun, ini merupakan buah dari kerja kerasnya selama ini, atau 38 tahun karier berkecimpung di dunia sepakbola.

    Marotta sudah terjun ke dunia sepakbola sejak berusia 21 tahun. Namun, bukan sebagai pemain. Pada 1978 ia telah menjadi Direktur Pengembangan Usia Muda kesebelasan kota kelahirannya, Varese.

    Tak membutuhkan waktu lama karena setahun kemudian Marotta sudah diangkat menjadi Direktur Umum Varese. Di tahun pertamanya sebagai Direktur Umum, Varese langsung berhasil promosi ke Serie B.

    Tujuh tahun kemudian Marotta meninggalkan Varese karena dalam dua musim terakhirnya itu Varese terdegradasi hingga ke Serie C2. Ia kemudian pindah ke Monza yang berkompetisi di Serie C1. Di bawah kepemimpinannya, Monza sempat promosi ke Serie B sebelum kembali ke Serie C1 pada tahun ke-4 nya menjabat sebagai Direktur Umum.

    Setelah di Monza, Marotta berkarier di Serie C1 dengan menjadi Direktur Umum Como selama tiga musim dan Direktur Umum Ravenna selama dua musim. Namun, tak ada prestasi membanggakan dalam lima musimnya di Serie C1 tersebut.

    Getty Images/Gabriele Maltinti

    Meskipun begitu, kinerjanya kala itu membuat Maurizio Zamparini, yang saat itu menjadi Presiden Klub Venezia, tertarik menggunakan jasanya. Kepercayaan Zamparini mampu dijawab pada tahun ketiga. Dimulai dengan menunjuk Walter Novellino sebagai pelatih, Venezia berhasil promosi ke Serie A setelah lebih dari 30 tahun absen.

    Berkat kedekatan Marotta dan Zamparini pula proses transfer Paulo Dybala ke Juventus pada awal musim 2015/2016 tak menemui hambatan karena saat ini Zamparini merupakan presiden klub Palermo, kesebelasan yang dibela Dybala sebelumnya.

    Di Serie A, Marotta tercatat pernah menjadi Direktur Umum Atalanta usai Venezia kembali terdegradasi. Atalanta, pada awal 2000-an, menjadi salah satu kesebelasan kuda hitam Serie A di mana mampu menempati peringkat tujuh dan sembilan di akhir klasemen dalam dua tahun bersama Marotta.

    Namun karier Marotta meroket setelah hijrah ke Sampdoria. Ia berhasil menyelamatkan Sampdoria dari keterpurukan. Saat pertama bergabung dengan Sampdoria, Sampdoria sedang dalam prestasi terburuk sepanjang sejarah mereka sejak 1946 yakni menempati peringkat ke-10 Serie B dalam tiga musim beruntun.

    Marotta kemudian merombak Sampdoria di tahun pertamanya. Walter Novellino, pelatih yang mengantarkan Venezia promosi ke Serie A, dipilih Marotta. Kombinasi Novellino dan Marotta lantas mendatangkan pemain-pemain berkualitas seperti Fabio Bazzani, Andrea Gasbarroni, hingga Angelo Palombo (saat ini menjadi kapten Sampdoria). Hasilnya hanya butuh semusim bagi keduanya untuk mengantarkan Sampdoria kembali ke Serie A, dengan tambahan prestasi lain yakni mencapai babak perempat final Coppa Italia.

    Pada 2004, Marotta mempekerjakan Fabio Paratici sebagai Kepala Pemandu Bakat Sampdoria. Paratici sendiri saat itu baru saja memutuskan pensiun sebagai pemain. Namun, Marotta percaya bahwa Paratici bisa mendatangkan pemain-pemain berkualitas bagi Sampdoria.

    Paratici kemudian dikenal sebagai 'tangan kanan' Marotta. Di Sampdoria, ia adalah orang yang menyodorkan nama-nama seperti Max Tonetto, Marco Donadel, Emilliano Bonazzoli, Lamberto Zauli, Luigi Sala, Sam Dalla Bona, Fabio Quagliarella, Christian Maggio, Andrea Poli, hingga meminjam Antonio Cassano dari Real Madrid. Para pemain tersebut menjadi bagian kesuksesan Sampdoria lolos ke Piala UEFA (sekarang Europa League) bahkan Liga Champions.

    "Saya cukup beruntung bisa bekerja sama dengan Paratici, yang mengurus sistem pemandu bakat kami [Juventus] sehingga membuat kami memungkinkan mendatangkan [Domenico] Berardi, sama seperti pemain muda lain seperti Ciro Immobile, Mattia Gabbiadini, Fredrik Sorensen, Simone Zaza dan Luca Marrone," ujar Marotta lewat situs resmi Juventus.

    Keduanya berpisah ketika Paratici direkrut oleh Torino pada 2008. Namun, keduanya kembali bersama setelah Marotta ditunjuk sebagai Direktur Umum Juventus pada 2010. Marotta sendiri dipilih Juve setelah musim sebelumnya berhasil mengantarkan Sampdoria ke Liga Champions.

    ***

    Marotta menjadi sosok sukses di balik kesuksesan sejumlah kesebelasan. Varese, Monza, Venezia, Atalanta, hingga Sampdoria, merasakan buah kinerjanya. Bahkan di Sampdoria, ia berhasil mengantarkan kesebelasan berjuluk Il Samp tersebut ke Liga Champions padahal 10 tahun sebelumnya mereka masih berkutat di Serie B.

    Atas prestasi itulah ia didatangkan Agnelli untuk menjadi Direktur Umum Juventus. Dari apa yang sudah dipaparkan di atas, dengan kebijakan-kebijakannya dimulai dari proses pemilihan pelatih hingga pemain, Marotta memang merupakan salah satu sosok penting yang membuat Juventus kembali menjadi raksasa Italia dalam lima tahun terakhir.

    Ya, berkat Marotta, Juventus kini menjadi kesebelasan yang paling sibuk di bursa transfer musim panas ini dengan pembelian pemain-pemain papan atas dan mengusung target tinggi yakni menjuarai Liga Champions. Padahal lima tahun lalu, Juventus masih kesulitan bersaing dengan Internazionale Milan, AC Milan, AS Roma, Napoli, Lazio, atau bahkan Sampdoria dan Udinese.

    ====

    *penulis adalah editor di situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @ardynshufi.

    (roz/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game