Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Bercerminlah pada Blackburn, Leicester

    Sandy Firdaus - detikSport
    Foto: Getty Images/Michael Regan Foto: Getty Images/Michael Regan
    Jakarta - Cermin merefleksikan segala apa yang ada dalam diri kita. Melalui cermin, pantulan dari anggota tubuh kita akan terlihat dengan detail dan tanpa cela.

    Maka, kerap muncul istilah kalau ingin mengenal diri lebih dekat, maka bercermin adalah cara yang tepat karena akan ada pelajaran sekaligus perspektif baru yang akan kita dapat sebagai bentuk refleksi diri.

    Leicester City pun boleh-boleh saja bercermin kepada Blackburn Rovers, klub yang pernah mengalami hal yang sama dengan mereka pada 1995 lalu. Juara Liga Primer, lalu lolos ke Liga Champions Eropa, dan mewakili Inggris sebagai satu-satunya negara yang tampil di Liga Champions ketika itu.

    Namun, bukan berarti untuk menirukan kisahnya seperti yang dialami oleh Blackburn, kisah yang cukup sedih untuk diingat.

    *

    Jika ada tim yang mengerti keadaan Leicester sekarang ini, mungkin Blackburn Rovers adalah satu di antaranya. Blackburn berhasil mendobrak dominasi pada musim 1994/1995. Setelah pada dua musim sebelumnya mereka konstan berada di papan atas Liga Primer Inggris, musim 1994/1995 menjadi puncak dari segala proses menuju juara yang sudah mereka jajaki selama dua musim sebelumnya.

    Berbekal pemain-pemain kenamaan seperti Tim Sherwood, Alan Shearer, dan Chris Sutton, juga berada di bawah asuhan manajer bertangan dingin dari Skotlandia yang sukses bersama Liverpool, Kenny Dalglish, The Rovers berhasil menjadi juara Liga Primer Inggris. Mereka sukses mengangkangi Manchester United, yang ketika itu sedang berada dalam performa terbaiknya.

    Juara pada Liga Primer Inggris musim 1994/1995 mengantarkan mereka untuk tampil dalam Liga Champions Eropa musim selanjutnya, tepatnya musim 1995/1996. Tapi, siapa yang menyangka bahwa perjalanan mereka ke Liga Champions Eropa ini akan menjadi perjalanan pertama sekaligus terakhir mereka yang berakhir menyedihkan.

    Blackburn berkompetisi di Eropa dengan membawa luka dari kompetisi domestik, karena tim yang sudah mulai merasa berpuas diri akibat gelar liga yang diraih satu musim sebelumnya. Dalam kompetisi domestik, performa mereka begitu merosot tajam dibandingkan dengan musim ketika mereka menjadi juara.

    Belum lagi ditambah dengan perpecahan yang terjadi dalam tim, seperti yang diungkapkan oleh pelatih Spartak Moskow, Oleg Romantsev, salah satu lawan The Rovers di Liga Champions Eropa ketika itu.

    "Sebelum pertandingan menghadapi mereka, saya memberitahu pemain saya kalau mereka akan menghadapi 11 pemain yang saling bertarung satu sama lain, bukan pemain yang bertarung bersama," ujar Romantsev.

    Sebenarnya, dalam Liga Champions Eropa musim 1995/1996, Blackburn tidak mendapatkan lawan yang begitu berat. Mereka "hanya" menghadapi Spartak Moskow (Rusia), Rosenborg Trondheim (Norwegia), dan Legia Warsawa (Polandia). Di antara tiga nama tersebut, hanya nama Spartak Moskow-lah yang cukup terkenal ketika itu. Legia dan Rosenborg menjadi dua nama yang tidak terlalu dikenal.

    Blackburn pun diprediksi akan lolos, beberapa pakar sepakbola malah ada yang sesumbar kalau mereka akan lolos dengan mudah, karena skuat mereka masih berisikan mayoritas pemain yang mengantarkan The Rovers juara Liga Primer Inggris pada musim sebelumnya. Tapi, siapa yang menyangka bahwa perjalanan Blackburn, seperti yang sudah disebutkan di atas, akan berakhir dengan menyedihkan.

    Bertanding di Grup B bersama tiga tim tersebut, Blackburn hanya mampu menduduki posisi juru kunci, hasil dari sekali seri, sekali menang, dan empat kali kalah. Hasil seri, sekaligus poin pertama yang berhasil mereka raih dalam ajang ini adalah ketika mereka meraih hasil seri melawan Legia Warsawa.

    Sedangkan kemenangan Blackburn diraih ketika pertandingan terakhir yang sudah tidak menentukan, melawan Rosenborg. Ketika melawan Rosenborg-lah, penampilan terbaik mereka dalam Liga Champions Eropa 1995/1996 ini, karena mereka mampu menghancurkan klub asal Norwegia itu dengan skor 4-1.



    *

    Bercermin dari kisah Blackburn, Leicester mendapatkan banyak pelajaran yang cukup berharga. Selain rasa puas diri yang harus segera dihilangkan, mereka juga harus memanfaatkan bekal sekaligus apa yang sudah pernah mereka alami di Eropa.

    Sebelum berkompetisi dalam Liga Champions Eropa 2016/2017, The Foxes sudah pernah berkompetisi di Eropa, tepatnya pada European Cup Winners' Cup (Piala Winners) 1961/1962, Piala UEFA 1997/1998, dan Piala UEFA 2000/2001 (ketika Liverpool menjadi juara). Dalam setiap kompetisi tersebut, Leicester belum pernah meraih capaian yang signifikan.

    Dalam Piala Winners 1961/1962 dan Piala UEFA 1997/1998, mereka kalah pada babak pertama dengan lawan yang sama, Atletico Madrid. Sedangkan pada Piala UEFA 2000/2001, disertai dengan gonjang-ganjing urusan politik negara Serbia-Montenegro (kala itu bernama Republik Federal Yugoslavia), mereka kalah pada babak pertama oleh Red Star Beograd.

    Berbekal pengalaman Eropa pada masa lampau, Leicester punya banyak hal yang bisa mereka gunakan sebagai alat untuk refleksi diri sekaligus pelajaran untuk masa kini, termasuk kisah sedih Blackburn Rovers pada 1995/1996. Apalagi, Liga Champions Eropa adalah tempat di mana tim-tim kuat bertanding, seperti yang disuarakan oleh sang manajer, Claudio Ranieri. Maka, ia menyuarakan agar anak-anaknya mampu tampil sekuat tenaga.

    "Sekali lagi saya katakan, bahwa tim kami adalah underdog. Namun, itu tidak penting. Yang terpenting adalah bahwa kami harus bertarung sekuat tenaga. Saya ingin melihat para pemain saya mengeluarkan kemampuan yang terbaik melawan tim-tim terbaik Eropa. Setiap tim dalam kompetisi ini (Liga Champions Eropa) akan saling bertarung layaknya juara, karena kompetisi ini mempertemukan tim terbaik Eropa, sehingga kami harus mengeluarkan 100% kemampuan terbaik kami," ujar Ranieri.

    *

    Leicester boleh bercermin pada Blackburn. Tapi, kalau mau membuat mereka sedikit lega, situasi dan kondisi mereka sekarang tidak seperti Blackburn dulu.

    Tidak lama setelah menjuarai Liga Primer Dalglish naik jabatan sebagai director of football. Pihak klub kemudian menawarkan posisi manajer kepada asisten Dalglish, Ray Harford. Di tangan Harford, Blackburn mengawali musim dengan buruk hingga akhirnya tersingkir di fase grup Liga Champions. Meski begitu, setelah sempat berada di separuh bawah papan klasemen, Blackburn akhirnya finis di urutan ketujuh Premier League.

    Harford seakan kesulitan untuk menjadi manajer. Kaget dengan perubahan posisi dari asisten manajer menjadi manajer. Ia disebut tidak punya kekuatan dan ketegasan untuk menangani tim di level teratas. Ini yang kemudian membuat perselisihan di dalam tim berkembang kian besar. Ketika dibutuhkan seorang manajer untuk menghentikannya, Harford tidak bisa melakukannya. Selain itu, Harford juga tidak mampu mendisiplinkan pemain.

    Seperti yang dituturkan eks gelandang Blackburn, David Batty, dalam otobiografinya, pada suatu malam sebelum pertandingan melawan Newcastle United, para pemain Blackburn malah minum-minum di hotel tempat mereka menginap. Makin apes, acara minum-minum pemain Blackburn itu diketahui asisten manajer Newcastle, Arthur Cox. Tidak percaya dengan keberuntungannya, Cox --tentu saja-- malah mentraktir para pemain Blackburn untuk minum lebih banyak.

    Pemilik mereka, Jack Warner, juga memutuskan untuk tidak memugar skuat. Jika di musim sebelumnya ia berani keluar duit untuk mendapatkan Chris Sutton dan Jeff Kenna --yang kemudian jadi andalan di starting XI-- di musim 1995/1996, Warner, malah memutuskan untuk berhemat. Tepat ketika Blackburn harus mempertahankan gelar juara Liga Primer dan berlaga di ajang sekompetitif Liga Champions.

    Blackburn pun ambruk. Di Premier League, mereka kesulitan, terlebih ketika tim-tim lain justru berani keluar uang untuk memugar skuat menjadi lebih baik.



    Apa yang terjadi pada Blackburn adalah kombinasi antara ketidakdispilinan, keluguan, dan ketidaksiapan. Dalam sebuah tulisan yang diunggah oleh These Football Times, mereka juga tidak memantau permainan lawan-lawan di Liga Champions dengan baik. Pengetahuan pemain akan lawan pun menjadi minim. Ini yang membuat mereka terdepak dengan cepat.

    Leicester lebih baik. Ranieri masih memimpin sebagai manajer dan masih berusaha untuk meringankan beban timnya dengan mengeluarkan komentar-komentar simpatik. Para pemain senior mereka masih tahu bagaimana caranya menjaga performa. Ambil contoh setelah Leicester dikalahkan Liverpool 1-4 akhir pekan lalu. Kiper Leicester, Kasper Schmeichel, mengakui bahwa timnya tampil buruk. Namun, paham bahwa itu bukanlah standar yang diinginkan, Schmeichel menuntut timnya untuk segera menegakkan kepala dan memperbaiki permainan di laga berikutnya.

    Pemain-pemain seperti Jamie Vardy dan Riyad Mahrez masih ada dalam tim. Ada juga nama-nama seperti Danny Drinkwater, Shinji Okazaki, Wes Morgan, dan Robert Huth yang masih setia membela panji The Foxes. Yang bagusnya lagi: pemilik Leicester --tidak seperti bos Blackburn dulu-- masih mau memugar skuat. Sejumlah pemain didatangkan. Belum lagi mereka merekrut nama yang sudah cukup berpengalaman dalam Liga Champions Eropa dalam diri Ahmed Musa (sebelumnya bersama CSKA Moskow).

    Setidaknya juga, tidak seperti Harford dulu, Ranieri punya pengalaman menukangi tim untuk bertanding di Liga Champions. Ranieri pernah punya pengalaman mengantarkan Chelsea melaju hingga ke semifinal Liga Champions pada 2004 --sebelum disingkirkan AS Monaco.

    Hebatnya, kendati pun bermain di kancah yang berbeda, Ranieri bersikeras untuk tidak mengubah permainan timnya. Leicester, yang bermain begitu direct, masih akan kita lihat juga di Liga Champions.

    "Kami harus bermain dengan gaya kami sendiri. Kami tidak bisa mengubahnya. Jika kami tidak memainkannya, kami akan kehilangan jatidiri kami," ucap Ranieri seperti dilansir The Telegraph. Tapi, sebagai orang Italia, Ranieri mungkin tidak sesederhana itu juga. Meskipun tampak sederhana, Leicester juga punya cara main yang unik: bertahan dimulai sejak di lini depan, di mana kedua striker mereka seringkali melakukan pressing dan mengganggu bek-bek lawan.

    Meski level Liga Champions Eropa berbeda dengan level Piala UEFA (sekarang Liga Europa) yang pernah mereka ikuti, bukan berarti mereka tidak mampu bersaing dalam Liga Champions Eropa musim 2016/2017. Satu grup dengan Club Brugge (Belgia), FC Porto (Portugal), dan FC Copenhagen (Denmark), Leicester punya peluang cukup besar untuk melaju ke babak selanjutnya.

    Intinya, jangan cepat berpuas diri, dan jangan sampai tim mengalami perpecahan. Kesatuan yang sudah terbentuk musim lalu harus tetap dipertahankan, agar musim ini kekuatan mereka tidak menurun.

    Bercermin kepada Blackburn adalah hal yang bisa The Foxes lakukan, sebagai bentuk refleksi, karena sejarah selalu memiliki kesempatan untuk terulang jika orang-orang tidak mau belajar dari sejarah tersebut. Perjalanan Eropa Leicester akan dimulai dini hari (WIB) ini di Kota Bruges, Belgia, Kamis (15/9/2016) dini hari WIB.

    Selamat bertempur, Leicester.

    ====

    *ditulis oleh @sandi1750. Penulis juga biasa menulis untuk situs @panditfootball.

    (roz/roz)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game