Kemungkinan Teerasil Dangda Menjadi Mitos dan Simbol Kesialan Thailand

Mitos di sini bukanlah mitos yang berisikan tentang cerita-cerita legenda di masyarakat tentang suatu tempat. Bukan.
Mitos di sini adalah proses pembentukan sebuah kebiasaan yang lambat laun menjadi kepercayaan umum di masyarakat. Ini pernah dijelaskan oleh Roland Barthes (1915-1980), seorang filsuf, ahli bahasa, sekaligus ahli semiotika dari Prancis.
![]() |
Mari sejenak berkenalan dengan Barthes, lalu kita lihat proses apa yang terjadi pada Teerasil Dangda yang, katanya (mungkin) akan menjadi sebuah mitos.
Denotasi, Konotasi, Mitos, Roland Barthes
Pada kisaran tahun 50-an akhir, Barthes menemukan sebuah fenomena unik di Prancis. Ia menemukan bahwa para kaum-kaum borjuis di sana secara tidak langsung memasukkan sebuah makna ke dalam barang-barang yang sebenarnya sudah memiliki makna sejak dahulu kala. Ia menemukannya dalam sebuah wine.
Kala itu, wine dianggap sebagai sebuah minuman yang memiliki nilai prestise yang tinggi, dan jika meminumnya maka seseorang akan dianggap sebagai orang yang terpandang. Padahal Barthes sendiri tahu, bahwa wine itu memiliki makna sebagai minuman yang memabukkan, dan jika meminumnya secara berlebihan maka kesehatan seseorang akan terganggu.
Berawal dari fenomena tersebut, Barthes merumuskan sebuah proses yang kelak akan dipakai dalam membedah budaya-budaya yang sekarang menjadi budaya populer di masyarakat. Ia merumuskannya dalam teori denotasi (denotation), konotasi (connotation), dan mitos (myth).
Daniel Chandler, penulis buku Semiotics the Basics, pernah merumuskan teori Barthes yang sudah ada dalam antologi Mythologies miliknya yang terbit pada 1957. Dalam buku tersebut, Chandler menuliskan bahwa (berdasarkan pemikiran Barthes) konotasi adalah makna yang terbentuk berdasarkan pengalaman kultural dan personal seseorang. Macam dari makna konotasi terhadap sebuah teks atau tanda dapat beragam, tergantung dari pengalaman kultural dan personal yang seseorang alami atau rasakan.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, makna konotasi yang lebih tinggi (hasil dari pembentukan makna berdasarkan pengalaman kultural dan personal) akan menjadi sebuah denotasi jika perlahan mulai banyak orang yang menggunakan dan memercayainya. Dalam tingkatan yang lebih ekstrim, makna konotasi ini dapat menjadi sebuah mitos. Ketika menjadi mitos, makna bisa menjadi begitu kuat dan sulit digeser oleh makna lain.
![]() |
Contohnya dalam wine di atas. Wine sebenarnya memiliki makna konotasi yang beragam. Tapi para kaum borjuis, untuk menjaga status sosialnya di mata masyarakat, menempelkan konotasi "mewah, prestise, orang terpandang" kepada wine, menggunakan dan memercayainya secara terus-menerus, sehingga menjadi mitos yang dipercaya oleh masyarakat. Pengulangan menjadi proses kunci yang membuat makna menjadi kuat dan menjadi sebuah mitos.
Pemikiran Barthes mengenai wine ini sebenarnya berkaitan cukup erat dengan Marxisme karena menggunakan kelas sosial sebagai acuan pemikirannya. Tapi memang, dengan menelaah pemikiran Barthes tentang konotasi, denotasi, dan mitos ini, sebuah makna dan kepercayaan yang sudah tumbuh dan berakar kuat di masyarakat bisa ditelaah dan dibedah dengan lebih mudah.
Lalu, apakah proses yang sama berkenaan dengan pembentukan konotasi, prosesnya menuju denotasi, serta menjadi mitos yang dipercayai dapat dilakukan kepada timnas Thailand dan Teerasil Dangda?
Timnas Thailand, Teerasil Dangda, Beserta Konotasi, Denotasi, dan Mitosnya
Timnas Thailand, layaknya sebuah wine, juga dapat dipandang sebagai sebuah teks ataupun tanda yang dapat dicari dan dibedah maknanya. Salah satu mitos yang sekarang sudah dipercayai oleh orang-orang, khususnya masyarakat Asia Tenggara adalah; Thailand tim kuat di Asia Tenggara.
Dalam prosesnya menjadi mitos ini, sebenarnya semua berawal dari konotasi bahwa Thailand adalah tim kuat di Asia Tenggara. Seperti yang terjadi pada wine, konotasi ini berkembang sedemikian rupa, melewati banyak proses (salah satunya adalah pengulangan), sehingga menjadi sebuah denotasi, dan akhirnya menjadi sebuah mitos yang dipercaya.
Jika wine menjadi semakin dipercaya karena banyak orang-orang borjuis yang meminumnya, Thailand dipercaya menjadi tim kuat di Asia Tenggara berkat raihan trofi Piala AFF (turnamen yang mempertemukan antar tim sepakbola di Asia Tenggara) yang sudah mereka dapatkan. Total sampai sekarang, mereka sudah mendapatkan empat trofi, salah satu yang terbanyak di Asia Tenggara.
![]() |
Berangkat dari mitos inilah, maka banyak tim di Asia Tenggara yang cukup segan ketika harus bertemu dengan Thailand dalam ajang Piala AFF ataupun dalam ajang-ajang yang lain seperti SEA Games. Ini juga yang mungkin membuat Singapura, Filipina dan Myanmar merasa inferior saat berhadapan dengan Thailand sehingga tak bisa mencetak gol. Sementara Indonesia telah menunjukkan bahwa Thailand tak sekuat yang diperkirakan banyak orang, di mana Indonesia berhasil mencetak empat gol ke gawang Thailand dari dua kali pertemuan dengan torehan satu kemenangan.
Selain itu, masyarakat belum menyadari bahwa, di balik konotasi tim Thailand sebagai tim kuat Asia Tenggara yang sudah menjadi mitos, ada konotasi lain. Apakah itu?
Di balik segala kekuatan dan kedigdayaan yang Thailand miliki, ada sebuah konotasi yang muncul bahwa setiap kali Teerasil Dangda menjadi pencetak gol terbanyak Piala AFF, Thailand tidak pernah menjadi juara Piala AFF. Wow.
Ini serius. Konotasi ini, meski terhalangi oleh konotasi bahwa Thailand itu tim kuat, tetap ada dan sekarang mulai menyeruak ke permukaan. Konotasi ini sudah menjadi denotasi, tapi belum menjadi mitos karena pengulangannya tidak seekstrim pengulangan konotasi bahwa tim Thailand adalah tim kuat.
Konotasi ini mulai muncul dalam Piala AFF 2008. Ketika itu Teerasil, yang masih berusia muda, mampu mencuri perhatian dan menjadi pencetak gol terbanyak Piala AFF 2008. Tapi saat itu, di babak final Thailand harus kalah dari Vietnam, dan merelakan gelar juara AFF 2008 jatuh ke tangan Vietnam.
Konotasi ini menjadi lebih kuat dalam gelaran Piala AFF 2012. Teerasil yang sudah sedikit lebih matang kembali ikut rombongan timnas Thailand yang bertarung dalam Piala AFF 2012. Teerasil kembali menjadi pencetak gol terbanyak. Timnas Thailand kembali gagal menjadi juara setelah Singapura menundukkan mereka di partai final.
Pada Piala AFF 2014, Teerasil tidak ikut ambil bagian karena tidak dilepas oleh Almeria. Tapi konotasi tentangnya bukannya semakin melemah, malah semakin menguat. Thailand malah sukses menjadi juara setelah mengalahkan Malaysia di final. Teerasil hanya bisa menyaksikan dari layar kaca perjuangan para pemain muda macam Chanathip Songkrasin ataupun Charyl Chappuis yang sukses membawa Thailand merengkuh gelar AFF keempat mereka.
Konotasi tentang Teerasil menjadi pencetak gol terbanyak Piala AFF, dan Thailand tidak menjadi juara pun menguat, dan perlahan hal itu akan menjadi denotasi yang lain selain denotasi tentang tim Thailand sebagai tim terkuat di Asia Tenggara.
**
Bukik Setiawan dalam bukunya yang berjudul The Dancing Leader, Kado Merdeka mengutip pernyataan dari Diane Ackerman bahwa satu kali adalah kejadian, dua kali adalah kebetulan, dan tiga kali adalah pola. Teerasil sudah dua kali gagal menjadi juara Piala AFF ketika ia menjadi pencetak gol terbanyak. Jika ia gagal dalam Piala AFF 2016, dengan statusnya sekarang sebagai pencetak gol terbanyak, maka itu akan menjadi pola.
![]() |
Lebih dari pola, hal itu akan menjadi mitos yang berkembang luas di masyarakat Thailand, karena ini semua berawal dari konotasi yang semakin lama semakin menguat. Dan jika itu sudah menjadi mitos, maka Teerasil akan dianggap sebagai biang kesialan Thailand dalam Piala AFF, dan itu akan sulit untuk dihilangkan ataupun dilupakan.
====
*penulis juga biasa menulis untuk situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @sandi1750.
(krs/mrp)