Luis Milla Menjanjikan Bagi Indonesia karena Dia Mantan Gelandang Bertahan

Pemilihan Luis Milla ini cukup menarik. Karena sudah lama rasanya Indonesia tak menunjuk pelatih asing dengan CV mentereng. Milla pernah membela timnas Spanyol walau hanya tiga laga. Sebagai pemain, ia tercatat pernah membela tiga raksasa Spanyol; Valencia, Barcelona dan Real Madrid.
Lebih dari itu, ia bukan sekadar penghangat bangku cadangan. Di Real Madrid, 165 pertandingan La Liga ditorehkannya dalam tujuh musim. Di Valencia 79 pertandingan La Liga dalam empat musim. Sedangkan di Barcelona yang sudah ia bela sejak 16 tahun, 94 pertandingan (termasuk 40 laga bersama Barcelona B) Milla catatkan.
![]() |
Akan tetapi sebagai pelatih, hal yang paling menyilaukan dari pengalaman Milla adalah keberhasilannya membawa Spanyol juara Piala Eropa U21 (2011) dan runner up Piala Eropa U19 (2010). Kala itu ia menangani pemain-pemain muda berbakat yang kemudian menjadi pemain timnas Spanyol senior seperti David De Gea, Cesar Azpilicueta, Javi Martinez, Thiago Alcantara dan Juan Mata. Ini artinya, Milla terbiasa memoles bakat-bakat luar biasa.
Namun yang paling menarik bagi saya bukan hal-hal yang disebutkan di atas. Saat melihat profil Milla, hal yang paling membuat saya begitu menantikan kiprahnya bersama adalah karena pengalamannya sebagai pemain yang berposisi gelandang bertahan.
Timnas Indonesia ditangani oleh pelatih asing yang bermain sebagai gelandang bertahan adalah sesuatu yang langka. Alfred Riedl penyerang Austria, Jacksen Thiago penyerang Brasil, Wilhelmus Rijsbergen bek Belanda, Ivan Kolev penyerang Bulgaria, Peter Withe penyerang Inggris, Henk Wullems bek Belanda, Romano Matte bek Italia, Ivan Toplak penyerang Yugoslavia, bahkan Anton Pocagnik berposisi sebagai bek.
Indonesia tampaknya tak mengamini apa yang dikatakan oleh Jordi Cruyff, anak dari legenda sepakbola Belanda, Johan Cruyff. Menurut Jordi, pada harian Daily Mail, pelatih terbaik di dunia mayoritas berposisi sebagai gelandang bertahan saat masih berkarier sebagai pemain.
Tak heran Jordi Cruyff tak begitu dipercayai. Karier kepelatihannya tak sementereng karier sang ayah. Namun dari penjabaran Jordi, ternyata memang benar banyak pelatih berkualitas yang merupakan mantan gelandang bertahan, khususnya di awal millenium ini. Sebut saja Carlo Ancelotti, Diego Simeone, Antonio Conte, Pep Guardiola, Rafael Benitez, Jorge Sampaoli, Vicente Del Bosque, Didier Deschamps, hingga Frank Rijkaard, semuanya berposisi gelandang bertahan.
Bahkan jika diperluas, begitu bertebaran pelatih berkualitas yang berposisi sebagai gelandang. Zinedine Zidane, Massimilliano Allegri, Luis Enrique, Unai Emery, Jose Mourinho, Roger Schmidt, kesemuanya adalah pemain gelandang ketika bermain. Jika digabung dengan para pelatih eks-gelandang bertahan, posisi gelandang ternyata melahirkan banyak pelatih hebat.
Hal ini juga mungkin yang menjadi salah satu penyebab Indonesia masih belum memberikan prestasi membanggakan. Karena pelatih-pelatih yang menangani timnas, sangat sedikit yang berposisi gelandang. Rahmad Darmawan, pelatih yang saat bermain mengisi pos gelandang bertahan, hanya diberikan kesempatan sebentara untuk menukangi Indonesia. Namun dengan popularitas dan prestasi yang sudah ditorehkan oleh Rahmad Darmawan bersama klub yang pernah ia tukangi, mungkin memang tak salah jika gelandang adalah cikal bakal pelatih hebat.
![]() |
Lebih jauh, salah satu legenda pelatih Indonesia, Endang Witarsa, merupakan pelatih yang menempati posisi gelandang saat bermain (masih dinamakan halfback). Bahkan Endang Witarsa dikenal juga sebagai pelatih terbaik Indonesia sepanjang masa.
Lalu mengapa pelatih yang berasal dari posisi gelandang bertahan banyak yang menjadi pelatih hebat? Mungkin jawabannya adalah para pemain gelandang memiliki intelejensia paling tinggi dibandingkan posisi lain karena ia berada pada posisi paling sentral.
Seorang gelandang tentu harus memiliki visi bermain yang lebih luas. Seorang gelandang dituntut memiliki kemampuan melihat ke samping dan ke belakang meski ia melihat ke depan. Hal ini berbeda dengan kiper dan bek yang lebih banyak memerhatikan apa yang ada di depan atau penyerang yang hanya agresif ketika ia melihat ke depan (menuju gawang).
Sementara itu untuk gelandang bertahan, posisi ini semakin terlihat penting di sepakbola. Meski ia tak mencetak banyak gol, namun posisi gelandang bertahan berperan penting sebagai penyambung antara lini belakang dan depan, dan juga terlibat banyak dalam membangun serangan maupun pertahanan. Karena pemain gelandang bertahan yang baik adalah gelandang yang mampu merebut bola layaknya bek dan mengalirkan bola ke depan layaknya seorang playmaker. Dan kemampuan itulah yang dimiliki oleh pelatih-pelatih macam Conte, Simeone, Guardiola, dan Ancelotti kala mereka bermain.
Inilah yang bisa diharapkan Indonesia dari seorang Luis Milla. Sebagai pemain, ia dikenal sebagai gelandang bertahan yang jenius. Ia memulai debut di La Liga bersama Barcelona pada usia 18 tahun. Lalu promosi ke tim senior Barcelona tiga tahun setelahnya. Selama tiga musim, ia didik langsung oleh Johan Cruyff. Ia pun tercatat sebagai pemain yang membantu Barca meraih La Liga (1984/1985), Copa del Rey (1989/1990) dan UEFA Cup Winners Cup (1988/1989).
Saat di Barca itulah kesempatan untuk membela timnas Spanyol datang. Namun ia harus kalah bersaing oleh gelandang lain macam Fernando Hierro, Rafael Paz, Michel, Fernando Gomez, dan dua rekannya di Barcelona yaitu Jose Mari Barkero dan Roberto Bonillo.
Tapi bakatnya tetap dilihat sebai salah satu gelandang terbaik Spanyol kala itu. Ketika kontraknya bersama Barcelona habis, Milla langsung direkrut oleh Jorge Valdano, yang kala itu masih menjadi Presiden Real Madrid. Bersama kesebelasan ibu kota, ia menorehkan dua trofi La Liga, satu Copa del Rey dan dua trofi Piala Super Spanyol. Posisinya baru tergusur setelah Madrid merekrut si gondrong dari Argentina, Fernando Redondo.
Hijrah ke Valencia, Milla masih mampu menunjukkan maginya. Tiga trofi diraihnya bersama Kelelawar Mestalla tersebut. Bersama Valencia-lah Milla mengakhiri kariernya sebagai pemain.
Sebagai pelatih, Milla sudah terbiasa menangani pemain muda. Tercatat ia secara bertahan menukangi timnas Spanyol U19, U20, U21 hingga U23. Sebelum ke Indonesia, ia menangani kesebalasan Uni Emirat Arab, Al-Jazira, serta dua keselasan Segunda Division alias divisi dua Spanyol, yakni Lugo dan Real Zaragoza.
Pengalaman dan prestasinya menangani timnas usia muda Spanyol menjadi modal berharga bagi Milla dalam menjawab tantangan PSSI yang memiliki target menjuarai SEA Games 2017 dan Asian Games 2018. PSSI memang akan memaksimalkan para pemain di bawah usia 22 tahun, batas usia di SEA Games dan Asian Games, dan berharap polesan Milla bisa memberikan hasil maksimal.
***
Dari sini kita bisa melihat bahwa Milla memiliki karier yang cukup mentereng sebagai pemain maupun pelatih. Berposisi sebagai gelandang saat bermain, ia bisa menjadi harapan baru bagi kita bahwa pemain yang berposisi sebagai gelandang merupakan pelatih berkualitas.
Di Indonesia, Milla akan coba menularkan gaya bermain sepakbola Spanyol. Pada Kongres PSSI di Bandung awal Januari lalu, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadi, memang mengatakan bahwa federasi sepakbola Indonesia memiliki program agar Indonesia memiliki gaya permainan khas, yang ia sebut Indonesian Way.
Edy Rahmayadi juga menyebut jika dari segi postur tubuh, Indonesia akan cocok bermain seperti Spanyol. Lewat Milla inilah PSSI coba mewujudkan impian tersebut, dan Milla jelas memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup untuk menularkan Spanish Football pada para pemain Indonesia.
====
*penulis adalah editor situs @panditfootball, beredar di dunia maya dengan akun @ardynshufi.
(din/din)