Arrigo Sacchi, Pemimpin Revolusi Milan yang Gagal bersama Gli Azzurri

Tentu muncul sebuah pertanyaan, mengapa hal tersebut berani dilakukan oleh Berlusconi?
Nama-nama seperti Leonardo de Araujo, Massimiliano Allegri, Clarence Seedorf, Filippo inzaghi, Sinisa Mihajlovic, Cristian Brocchi, dan yang terbaru adalah Vincenzo Montella tentu masih kalah mentereng dibandingkan dengan Carlo Ancelotti pada saat mereka ditunjuk sebagai pelatih Milan.
Hasilnya pun terlihat dengan sedikitnya prestasi yang diraih oleh Milan pada masa itu. Hanya Allegri saja yang mampu mempersembahkan gelar berupa satu Scudetto dan satu Piala Super Italia. Sebelum akhirnya Montella juga mampu meraih gelar Piala Super Italia akhir 2016 lalu.
Jika kita melihat jauh ke belakang, penunjukan pelatih yang dilakukan oleh Berlusconi ini seperti mempunyai ikatan romantisme dengan Arrrigo Sacchi. Ya, Sacchi yang merupakan salah satu pelatih terbesar dalam sejarah Milan.
Ketika ditunjuk untuk melatih Milan, Sacchi tidak memunyai pengalaman di kesebelasan besar. Ia hanya memiliki pengalaman melatih tim usia muda dan divisi bawah saja.
Namun, dengan segala keyakinan yang ada di benaknya, Berlusconi dengan berani mempercayai awal revolusi Milan kepada "Tuan Bukan Siapa-Siapa" Arrigo Sacchi. Hal ini pun dibalas oleh Sacchi dengan prestasi gemilang.
Sacchi adalah fenomena. Ia juga merupakan pemberontak. Bagaimana tidak? Ia muncul dengan filosofi sepakbola anti-Italia -- ketika Italia begitu identik dengan sepakbola bertahan, ia menerapkan hal yang sebaliknya.
Sepakbola menyerang menjadi identitasnya. Menerapkan pressing ketat dengan garis pertahanan tinggi dan menuntut para pemainnya untuk bisa melakukan setiap tugas di lapangan. Ia memang penyuka konsep Total Football ala Belanda.
Memimpin Revolusi Milan
Ketika mengambil alih Milan pada 1986, Berlusconi tentu ingin merevolusi Milan yang sedang terpuruk secara finansial dan kualitas. Dan untuk mewujudkan keinginannya tersebut, ditunjuklah Sacchi sebagai pemimpin revolusi ini.
Penunjukan pria kelahiran Fusignano, Italia, itu tentu menimbulkan pertanyaan dari banyak pihak. Ia bukanlah sosok pelatih ternama dan belum cukup berpengalaman untuk melatih kesebelasan besar. Penunjukan Sacchi pada saat itu hanya didasarkan atas keberhasilannya saat membawa AC Parma mengalahkan Milan dua kali di Coppa Italia.
Namun, semua keraguan itu berhasil dijawabnya dengan sangat baik. Bukan hanya merevolusi Milan, ia juga merevolusi namanya sendiri. Dari awalnya yang tidak dikenal oleh banyak orang menjadi sebuah fenomena dan membuatnya terkenal.
Tugas Sacchi ketika memimpin revolusi Milan ini sangatlah berat. Bukan hanya karena harus membawa sebuah kesebelasan yang lama terpuruk untuk bangkit lagi, melainkan juga karena harus bisa menyatukan bakat-bakat Italia seperti Franco Baresi, Carlo Ancelotti, hingga Paolo Maldini dengan pemain bintang dari luar negeri Pizza seperti trio Belanda, Marco van Basten, Ruud Gullit, dan Frank Rijkaard.
![]() |
Revolusi Milan di bawah asuhan Sacchi memang terbilang cukup sukses. Tercatat delapan gelar berhasil oleh Milan pada masa itu. Yang paling prestisius tentu keberhasilan meraih gelar Piala/Liga Champions dua kali secara berturut-turut pada 1988/1989 dan 1989/1990. Keberhasilan ini membuat Milan menjadi kesebelasan terakhir yang mampu meraih gelar Piala/Liga Champions secara berturut-turut.
Kegemilangan prestasi Sacchi dan pasukannya di Milan pada masa itu membuat mereka disebut-sebut sebagai salah satu tim terbaik yang pernah ada di dunia ini. Sebutan "The Dream Team" sangat sering didengungkan oleh para pencinta sepakbola yang pernah menonton atau mengetahui kehebatan Milan racikan Sacchi.
Nasib Sial bersama Gli Azzurri
Ketika kariernya bersama Milan berakhir pada 1991, ia menerima pinangan untuk menukangi timnas Italia. Namun, perjalanan kariernya di Gli Azzurri ini lebih banyak dinaungi kesialan. Sacchi mengambil alih posisi pelatih Italia dari tangan Azeglio Vicini yang gagal membawa Gli Azzurri lolos ke Piala Eropa 1992.
Ini artinya ia bertugas untuk membawa Italia lolos dan berprestasi di Piala Dunia 1994. Untuk mewujudkan harapan tersebut, Sacchi bukannya melakukan hal-hal yang disukai oleh publik. Ia malah melakukan kebalikannya seperti saat ia mendobrak filosofi sepakbola bertahan Italia.
Ia membuang pemain-pemain bintang pada saat itu dari timnas Italia seperti Walter Zenga, Giuseppe Bergomi, Roberto Mancini, dan Gianluca Vialli. Sacchi lebih memilih menggunakan jasa para pemain Milan yang pernah dilatihnya dan peraih Ballon d'Or 1993, Roberto Baggio. Hal ini tentu membuatnya mendapat banyak kritikan dari pemerhati sepakbola di italia.
Apalagi ketika bermain di Piala Dunia 1994, penampilan Italia pada babak grup tidaklah mengesankan. Mereka bahkan harus menelan kekalahan pada laga pertama melawan Republik Irlandia. Beruntung pada dua laga selanjutnya Italia mampu meraih hasil yang lebih baik dan lolos ke babak berikutnya dengan berstatus sebagai salah satu peringkat tiga terbaik (ketika itu Piala Dunia masih terdiri dari enam grup dan diikuti oleh 24 tim).
![]() |
Perjalanan anak asuh Sacchi memang semakin membaik hingga akhirnya mencapai babak final untuk bertemu dengan Brasil. Di sinilah kesialan menimpa Sacchi; laga final ini berakhir dengan skor 0-0 dan harus dilanjutkan dengan adu penalti.
Pada babak adu penalti Sacchi harus menerima kenyataan pahit setelah tiga pemainnya gagal menjalankan tugas mereka dengan baik. Kita tentu ingat tiga nama ini: Franco Baresi, Daniele Massaro, dan Roberto Baggio. Dua dari tiga penendang tersebut merupakan pemain Milan yaitu Baresi dan Massaro. Sementara Baggio bisa dikatakan seperti anak emas Sacchi yang tak tergantikan di Italia layaknya Van Basten di Milan.
Ini mungkin bisa jadi sebuah karma bagi Sacchi yang membuang para pemain bintang seperti Mancini dan Bergomi demi memilih pemain-pemain Milan.
Ternyata kesialan Sacchi ini tidak berakhir di Piala Dunia 1994. Pada gelaran Piala Eropa 1996, nasib sial kembali menimpa dirinya. Italia gagal dibawanya lolos dari babak grup. Salah satu penyebabnya adalah tergabungnya mereka dengan grup kuat yang berisikan Jerman dan Republik Ceko, finalis pada edisi Piala Eropa tersebut, serta Rusia.
Setelah Piala Eropa 1996, kariernya bersama Gli Azzurri pun berakhir. Sacchi seperti tidak ditakdirkan untuk meraih kesuksesan bersama timnas, ia harus meninggalkan Italia dengan tangan kosong tanpa gelar.
***
Manusia memang tidak ada yang sempurna, begitupun dengan seorang Arrigo Sacchi. Pria yang lahir pada 1 April 1946 ini memang bergelimangan gelar saat menukangi AC Milan. Akan tetapi, ia tidak mampu berbuat banyak ketika diprcayai untuk melatih timnas Italia.
Entah memang karena karmanya terhadap Mancini, Bergomi, Zenga, dan Vialli, atau memang Tuhan tidak mengizinkannya merasakan gelar bersama tim nasional agar ia tetap menjadi manusia yang tidak sempurna.
-----
Akun Twitter penulis @gunanda38 dari @panditfootball
(krs/mrp)