Carlo Ancelotti sebagai Pelatih dan Guru yang Hebat

Jika ada seseorang memandangi dengan sinis, curiga, ataupun merendahkan, jangan dulu menilai bahwa ia adalah orang yang negatif karena ekspresinya. Siapa tau tatapan mereka memang seperti itu, tanpa ada maksud untuk merendahkan. Dalam setiap sesi wawancara, tatapan Carlo Ancelotti tampak merendahkan, sinis atau cuek, yang terlihat dari alis sebelah kirinya yang mengangkat.
Padahal pelatih asal Italia ini tak ada maksud untuk merendahkan dan sebagainya. "Saya tidak bisa mengendalikan alis saya," tutur Ancelotti.
"Terkadang, ketika saya melihat sebuah wawancara di mana saya ada di dalamnya, saya sangat kaget dengan alis saya yang mengangkat tak terkendali. Tapi tak ada alasan untuk ini, tidak ada kejadian di balik itu semua," jelasnya lebih lanjut.
Ancelotti sebenarnya termasuk manajer atau pelatih yang cukup ramah. Ia jarang terlibat friksi dengan manajer atau pelatih lain. Pembawaan pria yang pada hari ini tepat berusia 58 tahun ini pun terbilang tenang. Usia Ancelotti saat ini adalah lebih dari sekadar ayah. Dia merupakan sosok yang membuat mayoritas pemain Real Madrid meratapi kepergiannya kala dipecat pada 2015 lalu.
Ancelotti adalah contoh lain pelatih top yang ketika masih bermain merupakan kapten kesebelasan. Ia merupakan kapten AS Roma pada periode 1984-1987. Selain kapten, Ancelotti merupakan representasi pelatih yang sukses juga sewaktu masih menjadi pesepakbola. Selama memperkuat Roma, Ancelotti mempersembahkan satu gelar juara Serie-A dan empat Coppa Italia. Ia juga berhasil membawa Roma menjadi runner-up Piala Champions pada 1983/1984.
Kemudian ia juga meraih kesuksesan lebih besar ketika pindah ke AC Milan. Bersama kesebelasan itu, Ancelotti berhasil mendapatkan dua gelar Piala Champions. Ia juga tetap mampu meraih gelar Serie-A, koleksi gelar juaranya pun diperbanyak dengan UEFA Super Cup, Supercoppa Italia dan Piala Interkontinental.
Awal Kepelatihan yang Cukup Terjal
Ancelotti pensiun sebagai pemain di Milan pada 1992. Kemudian ia menjadi asisten pelatih Arrigo Sacchi di tim nasional (timnas) Italia setelah pensiun pada 1995. Tentu kerja sama itu yang membuat Ancelotti bisa belajar banyak dari Sacchi. Bahkan Ancelotti sudah bekerja sama dengannya ketika masih menjadi pemain Milan besutan Sacchi. Di sisi lain, Ancelotti juga sembari mengenyam pendidikan kepelatihan di Scuola Allenatori.
Sejak akhir 1980-an, setiap pelatih yang ingin lulus dari Sekolah Kepelatihan ini harus membuat sebuah tesis, karena pelatih Italia zaman dulu diharuskan membuat silabus yang disebut dengan "Il Supercorso". Sementara pelatih di negara Eropa lain tidak perlu membuat tesis untuk mendapatkan lisensi kepelatihan UEFA Pro. Ancelotti sendiri memprediksi sepakbola di masa depan lewat tesis berjudul 'l Futuro del Calcio. Piu Dinamicita'.
[ Baca juga: Buat Tesis Dulu, Jadi Pelatih (Italia) Hebat Kemudian ]
Kemudian ia mencoba tantangan baru dengan melatih Reggiana yang merupakan kesebelasan daerah kelahirannya dan akademi sepakbola pertamanya. Kemudian Ancelotti melatih Parma yang merupakan mantan klubnya dan selanjutnya Juventus. Kendati di antara tiga tim itu hanya Piala Intertoto yang dipersembahkan untuk Juventus, tapi Ancelotti berhasil menemukan bakat Italia yang mendunia, yaitu Fabio Cannavaro dan Gianluigi Buffon di Parma.
Barulah Milan yang mulai dilatihnya pada 2001, menjadi awal kesuksesan besar Ancelotti untuk kariernya ke depan. Selama delapan musim ia tidak tergantikan dan berhasil mempersembahkan gelar Serie-A, Coppa Italia, Super Copa Italia, Liga Champions, UEFA Super Cup dan Piala Dunia Antar Klub. Dan sampai saat ini masih belum ada yang bisa menyamai kejayaan Milan era Ancelotti.
Carlo Ancelotti Identik dengan Juara
Ancelotti mampu menciptakan kejayaan Milan seperti yang dilakukan oleh Sacchi. Evolusi kesuksesannya di Milan adalah munculnya peran deep-lying playmaker yang dipopulerkan Andrea Pirlo. Deep-lying playmaker adalah kombinasi dari gelandang bertahan dan playmaker. Posisi ini berada lebih ke dalam di depan bek tengah. Carlo Ancelotti menempatkan Pirlo di posisi ini guna menyempurnakan formasi berliannya 4-1-2-1-2. Eksperimen ini sangat sukses dan menjadikan Pirlo sebagai salah satu dari sangat sedikit pemain yang bisa melakoni peran ini.
Kelebihan lain Ancelotti adalah pintar berkomunikasi dengan petinggi klub yang membuat dirinya bisa bertahan lama di Milan, meskipun memiliki bos seperti Silvio Berlusconi yang sering mengkritik dan mencampuri taktiknya. Segala ketenangan itulah yang menjadi salah satu faktor mengapa Ancelotti bisa awet melatih Milan. Perpisahannya dengan Milan pun tak lain karena ia mengundurkan diri untuk bergabung bersama Chelsea demi tantangan baru di luar Italia.
Pada 1 Juni 2009, Ancelotti diumumkan sebagai manajer baru Chelsea dengan kontrak selama tiga tahun. Sudah bukan rahasia lagi kalau pemilik Chelsea, Roman Abramovich sangat berhasrat untuk mendatangkan Ancelotti ke Stamford Bridge. Semua dimulai dengan manis, Ancelotti langsung memberikan gelar juara Community Shield pada permulaan musim.
Mental juara langsung ditularkan kepada seluruh komponen tim. Hasilnya gelar juara Liga Primer Inggris 2009/1010 dipersembahkan Ancelotti. Musim keduanya di Inggris sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya berselisih dekat dengan Manchester United yang akhirnya menjadi juara Liga Inggris. Namun, Chelsea memiliki beberapa catatan buruk seperti saat dikalahkan Everton di kandang sendiri dengan skor 0-1, 22 Mei 2011. Pada pada hari itu juga Ancelotti langsung dipecat oleh Abramovich dengan mendapatkan pesangon sebesar 6 juta poundsterling.
Ancelotti dipecat sekitar 12 bulan setelah mengantarkan Chelsea meraih gelar juara. Kemudian ia melatih Paris Saint Germain (PSG) selama tiga musim dan mempersembahkan satu gelar juara Ligue 1. Tapi Ancelotti harus pamit meninggalkan PSG pada 2013 karena menerima tawaran Madrid.
Sejak peresmian pada 25 Juni 2013, dimulailah romantisme Ancelotti dengan Madrid. Bersama Madrid, Ancelotti meraih trofi Liga Champions yang ketiga selama kariernya sebagai pelatih.
"Di setiap pertandingan Liga Champions, saya melihat perbedaan atmosfer di ruang ganti. Pertandingan Liga Champions sangat berbeda, karena itu sangat memberikan motivasi bagi setiap orang. Mereka berbicara tentang La Decima (gelar ke-10), dan itulah yang memberikan kami kepercayaan diri dan kekuatan untuk memainkan pertandingan dengan kepribadian dan keberanian. Tekanan untuk memenangkan La Decima merupakan tekanan positif bagi kami," kata Ancelotti.
Di Madrid, Ancelotti memang tak bergelimang trofi. Selama dua musim melatih, dia tidak pernah meraih gelar juara liga. Meski demikian, gelar juara Liga Champions menjadi amat prestisius. Namun Madrid memecatnya semusim setelahnya karena tidak meraih satu gelar pun.
Setelah menjadi pesakitan atas pengkhianatan Madrid, Bayern Munich secara terbuka menerima Ancelotti menjadi pelatihnya. Kedatangannya langsung dihadiahi dua pemain baru, yaitu Renato Sanches dan Mats Hummels.
"Carlo Ancelotti telah sukses di manapun ia melatih dan telah memenangkan Liga Champions tiga kali. Carlo amat tenang, seimbang, tahu bagaimana menangani pemain bintang dan menyukai beraneka rupa gaya bermain. Kami mencari yang seperti ini dan kami menemukannya," tutur Karl-Heinz Rummenigge selaku CEO Bayern.
Dan jika Ancelotti dipecat Bayern pada suatu hari nanti, ia tidak ingin menangani Atletico Madrid, Barcelona, Lazio dan Internazionale Milan. Ancelotti tidak ingin melatih Atletico atau Barcelona karena ia pernah menjadi pelatih Real Madrid. Sementara untuk Lazio dan Inter, hal ini dikarenakan sebagai pemain, Ancelotti pernah membela rival Lazio dan Inter, yakni AS Roma dan AC Milan.
![]() |
Tapi di antara kesebelasan itu semua, hanya Roma sebagai mantan kesebelasannya yang belum pernah dilatih Ancelotti. "Tidak, saya tidak akan pernah menangani Atletico atau Barca. Saya menghormati rivalitas di antaranya keduanya, sama seperti saya tidak akan menangani Lazio atau Inter," celoteh Ancelotti.
Guru Bagi Para Juru Taktik
Begitu banyak keterkaitan Ancelotti dengan Sacchi atas perubahan gaya sepakbola strereotip Pelatih Italia yang cenderung bertahan. Ketika Ancelotti banyak berguru kepada Sacchi, banyak juga pelatih-pelatih yang mencuri ilmu kepadanya. Luciano Spaletti salah satu contohnya. Ia mengaku bahwa Ancelotti adalah guru terbaik sekaligus teman baginya.
Pria yang baru didapuk menjadi pelatih Inter itu mengaku sering santap malam bersamanya. Spalletti bahkan belajar banyak dan sebanyak mungkin mendapat ilmu dari Ancelotti. Spalletti menyebut Ancelotti sebagai "sekolah" bagi para juru taktik.
Pada awal 2000-an, banyak pelatih menggunakan formasi pohon natal beserta variasinya, dan Ancelotti adalah salah satu maestronya. Karena itu pula beberapa kesebelasan top selalu berusaha mendapatkannya. Pencurian ilmu yang paling intens dilakukan Paul Clement yang menjadi asisten pelatihnya sejak di Chelsea. Belajar langsung dari Ancelotti pasti membuatnya lebih percaya diri untuk menjadi pelatih kepala di sebuah klub.
"Carlo memberi kepercayaan kepada saya dan memberikan saya keyakinan bahwa suatu hari saya bisa melakukannya," ujar Clement.
"Apakah saya akan meminta saran pada Ancelotti? Tentu saja, saya memang sering berkomunikasi dengannya. Saya akan meminta saran kepadanya. Ia (Ancelotti) akan mengatakan untuk fokus bekerja dengan para pemain karena itu saya akan melakukan pendekatan yang lebih kepada para pemain dan menghiraukan hal-hal yang tidak perlu, ia selalu bilang 'kendalikan apapun yang mesti Anda kendalikan'," tambahnya.
Hal serupa juga dikatakan mantan anak asuhnya di AC Milan, Andriy Shevchenko, yang kini menjadi asisten pelatih timnas Ukraina. "Saya banyak belajar di Milan, karena Carlo Ancelotti banyak mengajari kami. Saya pun mendapatkan banyak hal darinya, terutama soal pengalaman," ucapnya.
Dan yang paling sukses mencuri ilmunya serta paling hangat, tentu saja Zinedine Zidane yang menjadi asisten pelatih Ancelotti di Madrid sebelum naik jabatan seperti saat ini. Ketika Madrid bertemu dengan Bayern Munich pada perempatfinal Liga Champions 2016/2017, Zidane mengakui bahwa ia banyak belajar dari Ancelotti untuk menjadi seorang pelatih yang hebat. Akhirnya, Zidane pun mampu mengalahkan tutornya itu karena Madrid menang agregat 6-3.
"Saya tahu dia dengan baik dan dia tahu saya dengan baik tapi itu tidaklah menjelaskan semuanya. Ini bukan soal kerugian atau keuntungan. Besok ada pertandingan dan saya pikir bahwa ini adalah dua tim yang sangat bagus satu sama lain dan hanya itu. Kami tidak melawan Carlo. Saya belajar banyak darinya. Tapi asal Anda tahu, saya tidak pergi untuk memberi tahu Anda apa yang saya pelajari dari dia. Tapi itu sangat banyak," ujar Zidane sebelum menghadapi Bayern.
Ancelotti sendiri mengatakan bahwa kunci sukses sebagai pelatih adalah hubungan dengan pemain itu sendiri. Sebab lingkungan yang baik antara pelatih dan pemain akan membuat setiap kesebelasannya menikmati pekerjaan dan bebas mengekspresikan bakatnya.
"Tentu, terkadang saya bisa marah, tapi biasanya hubungan saya dengan para pemain tenang," cetus Ancelotti.
Sejak membesut Juventus, rasio kemenangan Ancelotti selalu di atas 50%. Bahkan kala menangani Madrid, presentase kemenangannya mencapai 74% atau yang terbesar sepanjang sejarahnya menjadi pelatih. Jika dirata-ratakan, sepanjang kariernya Ancelotti berhasil memenangi 58,25% pertandingan.
Angka ini sedikit lebih tinggi dari yang dicapai Sir Alex Ferguson dengan 58,14%, walau angka ini menjadi tidak adil karena Sir Alex menangani 2.131 laga sementara Ancelotti hanya 970 laga.
Meskipun begitu, dari data tersebut, kita tidak bisa menyangsikan bahwa Ancelotti adalah pelatih hebat. Banyak pelatih hebat yang berguru padanya. Total 19 trofi yang ia raih dalam 22 tahun karier kepelatihannya tentu menjadi bukti sahih betapa hebatnya pelatih berjuluk Don Carletto ini.
---
Penulis bisa disapa melalui akun twitter @Randynteng
(mrp/krs)