Pengaruh Sihir Balerina Zinedine Zidane (Bagian I)

Sewaktu masih menjadi pesepakbola profesional, Zidane merupakan salah satu pemain terbaik dunia, bahkan bisa dibilang pemain terhebat abad 20. Ia adalah gelandang pengatur serangan dengan visi jempolan nan kreatif serta berteknik tinggi yang mampu mendikte permainan. Kontrol bolanya merupakan salah satu yang terbaik. Zidane mengalirkan bola dengan memberi umpan-umpan mengejutkan ke area lini pertahanan lawan.
Ciri khas permainan Zidane adalah melakukan gerakan berputar yang mengelabui lawannya. Ia berputar bak seorang balerina yang sedang menari. Ia seperti menunjukan sebuah trik yang sebenarnya tidak harus dilakukan, namun diperbuatnya bukan untuk pamer, apa yang ia lakukan tersebut nyatanya cukup efektif mengecoh lawan. Itulah sedikitnya yang menjelaskan bahwa Zidane adalah salah satu mantan pesepakbola paling komplit di dunia. Saat ini, playmaker dengan gaya ala Zidane sudah relatif langka.
Zidane memiliki kepribadian yang tak seperti pesepakbola kebanyakan. Pemain mana yang bisa menolak bermain dengan Zidane? Ia merupakan sosok pemalu, dingin, tenang dan tak banyak berbicara. Pria yang akrab disapa Zizou itu hanya berbicara lewat kemampuan sepakbolanya. Dan kepribadiannya itu memang tidak lepas dari latar belakangnya sebagai imigran.
Imigran yang Menjadi Pahlawan
Salah satu contoh insiden yang menyedot perhatian dunia terhadap Zidane adalah tandukan Zidane kepada Marco Materazzi pada laga final Piala Dunia 2006, antara Prancis melawan Italia. Oleh media, Zidane yang memiliki darah Aljazair, negara dengan mayoritas pemeluk agama islam, digambarkan sebagai representasi dunia Muslim. Sementara Materazzi, digambarkan sebagai representasi dunia "Barat".
![]() |
Reaksi Zidane tersebut dijelaskan oleh orientalis sebagai tindakan irasional dan merupakan gejala dari budaya Afrika Utara yang "hyper-masculine" dan merupakan budaya "nakal" yang berasal dari wilayah suburban Marseille. Pengaruh Afrika Utara pada diri Zidane berasal dari kedua orang tuanya yang merupakan imigran Aljazair. Zidane sendiri lahir di Marseille yang daerahnya dikenal dengan sumber masalah karena kriminalitas yang tinggi.
Zidane tumbuh di kota Marseille yang memang memiliki populasi yang multikultural. Tapi pria kelahiran 23 Juni 1972 itu kerap mendapatkan tindakan rasisme dari masyarakat di luar Marseille. Bahkan sebelum kariernya mendunia, sebagian orang tidak menerima jika Zidane dikenal sebagai orang Prancis.
Meski penolakan terhadap imigran cukup kencang, Zidane tak ragu untuk dengan bangga menyebut jika ayahnya memang seorang imigran Aljazair. Oleh karena itulah Zidane tidak terlalu terbuka pada orang-orang di sekelilingnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga.
Pria yang pertama kali menempa sepakbola di akademi US Saint-Henri itu juga tak biasa menghadapi serbuan penggemarnya. Setelah menikah, ia bahkan lebih menjaga jarak dengan penggemar perempuan. Zidane memang sangat menyayangi keluarganya, termasuk istrinya bernama Veronique. Ia juga jauh dengan klub malam, perempuan, mobil mewah dan kemewahan lain yang biasanya identik dengan pesepakbola dunia. Zidane seorang pendiam, tapi kaki-kakinya bekerja lebih banyak dari mulutnya.
Selain pujian-pujian terhadap sesama pemain dan keluarganya, tidak banyak ucapan Zidane yang patut diingat. Kutipan terbaiknya, bisa jadi, adalah ucapannya mengenai arti penting kerja keras yang diajarkan ayahnya. "Aku sangat terinspirasi olehnya," ujar Zidane. "Adalah ayahku yang mengajarkan kami bahwa seorang imigran harus bekerja dua kali lebih keras dari orang lain, bahwa kami tidak boleh menyerah," sambungnya.
Menurut pengamat kultur sepakbola Prancis, Geoff Hare, pesepakbola yang memiliki keturunan seperti Zidane, telah menjadi legenda dan pahlawan bagi tim nasional (timnas). Ketika Zidane menangis menyanyikan lagu kebangsaan Prancis, ia tidak lagi dianggap imigran, tapi sudah dielu-elukan sebagai pahlawan.
Hubungan antara timnas dan identitas nasional menjadi fenomena sosial yang penting pada saat Prancis berjaya di Piala Dunia 1998. Kesebelasan multi ras menjadi simbol untuk Prancis yang baru, sebuah republik multi-etnis yang damai. Prancis di Piala Dunia 1998 pun dianggap sebagai kesuksesan integrasi antara imigran dengan masyarakat lokal Prancis.
Pemain-pemain imigran seperti Zidane telah meneguhkan identitas nasional mereka. Tidak hanya sebagai warga Prancis, tetapi juga sebagai pahlawan, terutama di dunia sepakbola. Dengan demikian, Zidane menunjukkan bahwa selalu terjadi perubahan ke arah positif tentang bagaimana masyarakat Prancis dalam menanggapi eksistensi pesepakbola muslim di sana.
Tentunya tokoh yang paling tersohor itu adalah Zidane, pemain yang berhasil mencetak gol kemenangan Prancis di final Piala Dunia 1998. Ini adalah bukti bahwa dengan prestasi, seorang bocah imigran Aljazair bisa mendapatkan sanjungan setinggi langit dari masyarakat Prancis dan bahkan pecinta sepakbola dunia.
![]() |
Romantisme Zinedine Zidane di Prancis, Juventus dan Real Madrid
Pada 17 Agustus 1994, Zidane dimasukan mengganti Corentin Martins pada babak kedua untuk Prancis. Tim berjuluk Ayam Jantan itu sedang tertinggal 2-0 dari Republik Ceko dalam pertandingan persahabatan. Tapi dengan masuknya Zidane, permainan Prancis pun menjadi lebih hidup. Puncaknya ketika menit ke-85, Zidane yang menerima bola di wilayah pertahanan lawan, lalu menggiring bola mendekati kotak penalti dengan melewati dua bek Ceko, kemudian melepaskan tembakan dari jarak 23 meter.
Prancis yang dibesut Aime Jacquet saat itu pun berhasil memperkecil kedudukan. Setelah melepaskan tembakan yang spektakuler, Zidane melengkapi debutnya di timnas senior Prancis ini dengan mencetak gol kedua pada menit ke-87 melalui sundulan kepala.
Alhasil, Prancis selamat dari kekalahan dengan skor 2-2 atas dua gol Zidane. Pemain yang mengenakan nomor punggung 14 itu pun menjadi darah baru dan pusat perhatian atas debut manisnya. Selanjutnya, Zidane semakin berkembang dan menjadi nyawa permainan Prancis. Tugas Didier Deschamps di lapangan pun hanya berusaha memberi bola kepada Zidane.
Namun saat bergabung dengan Juventus pada 1996, popularitas Zidane tak seperti ketika meninggalkan Turin. Ketika itu Juventus berstatus juara bertahan Liga Champions, Zidane yang masih berusia 24 tahun didatangkan dari Bordeaux dengan nilai transfer hanya 3,5 juta euro saja. Meski berlabel pemain terbaik Ligue 1 1995/1996 dan pemain muda terbaik Ligue 1 1993/1994, belum banyak kesebelasan yang tertarik merekrutnya.
Bahkan dua kesebelasan Inggris secara terang-terangan pernah menolak untuk merekrutnya, "Mengapa Anda ingin merekrut Zidane ketika Anda sudah memiliki Tim Sherwood?" kata Jack Walker, pemilik Blackburn Rovers pada waktu itu.
![]() |
Selain kemampuannya yang masih diragukan, Zidane juga cukup dikenal sebagai pemain yang tiba-tiba emosional. Hal ini dikatakan langsung oleh pelatih Bordeaux saat itu, Rolland Courbis. Menurutnya, meski punya potensi menjadi pemain hebat, Zidane punya sifat yang tak terduga. "Anda bisa dengan mudah melihatnya sebagai pemain dengan kualitas yang luar biasa. Tapi ada momen dalam kariernya ketika Anda tak bisa melakukan apapun padanya," beber Courbis.
Apa yang dikatakannya itu pun terjadi di awal-awal karier Zidane bersama Juventus. Ia begitu temperamental, khususnya di laga-laga besar. Kendati demikian, Juventus-lah yang membuatnya berkembang menjadi pesepakbola yang lebih baik. "Saya di Juventus selama lima tahun, sebuah klub besar yang membantu saya untuk berkembang menjadi seorang pria, seorang manusia, serta seorang pesepakbola," ujar Zidane
Perlahan memang kekeluargaan di Juventus berhasil membuatnya lebih dewasa. Selama lima musim bersama Juventus, hanya ada dua insiden ketika Zidane tak bisa mengontrol emosinya. Pertama saat ia membela Prancis pada 1998 ketika ia sengaja menginjak pemain Arab Saudi, Faoud Amin. Sementara yang kedua ketika ia menanduk pemain Hamburg SV, Jochen Kientz, pada Liga Champions 2000.
Enam gelar juara berhasil diraih Zidane selama lima musim di Juventus. Dua di antaranya adalah scudetto Serie A. Tapi Zidane gagal mengantarkan Juventus juara Liga Champions, meski punya dua kesempatan ketika dikalahkan Borussia Dortmund pada 1997 dan ditumbangkan Real Madrid pada 1998. Sementara Zidane berhasil menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000 bersama Prancis. Dari situlah isu kepindahannya sering muncul ke permukaan.
Isu kepindahan Zidane semakin santer setelah musim 1999/2000 berakhir. Saat itu Juventus hanya meraih Piala Intertoto. Pada sebuah wawancara, Zidane mengindikasikan ingin meninggalkan Juventus karena merindukan Prancis. Namun pada kesempatan lain, sang agen, Alain Miglaccio, menyebut bahwa Zidane sudah lama ingin hengkang dari Juventus.
"Zidane sudah memutuskan untuk bermain di Spanyol. Juventus sudah mengetahui hal ini sudah lama dan kami tidak tahu mengapa mereka terus membantah kenyataan ini," tutur Migliaccio pada 2001. "Kami berharap klub segera mengumumkan dia akan pergi, itu akan menjadi cara yang tepat memperlakukan pemain yang telah memberikan segalanya. Anda tidak bisa menghalangi keinginan seseorang. Zizou ingin pergi dan ia tidak akan berpikir ulang," bebernya lebih lanjut.
Pernyataan itulah yang membuat sejumlah pendukung Juventus mulai kehilangan respeknya terhadap Zidane. Presiden Juventus saat itu, Gianni Agnelli, semakin memperkeruh keadaan dengan mengatakan sesuatu yang buruk tentang keluarga Zidane. "Zidane tidak sedang menderita karena rindu kampung halamannya. Ia hanya sedang menderita karena berada di bawah kekuasaan istrinya," ucap Agnelli.
Zidane yang awalnya berniat bertahan satu musim lagi di Juventus, langsung mantap hati meminta dijual. Dari situ Madrid yang hendak memulai era Los Galacticos seolah menemukan celah untuk mendapatkan salah satu pemain terbaik abad ini. Akhirnya dengan biaya sekitar 75 juta euro, Zidane diboyong Madrid. Nilai tersebut menjadikannya sebagai pemain termahal dunia saat itu.
Zidane pun meninggalkan romantisme yang disuguhkan oleh panggung Stadion Delle Alpi yang menjadi kandang Juventus pada setiap pekannya saat itu. Resmi menjadi pemain Madrid, ia tak ragu mengatakan bahwa raksasa Spanyol tersebut adalah kesebelasan terbaik dunia. Bahkan lebih dari itu, ia mengungkapkan bahwa Madrid merupakan kesebelasan impiannya.
"Menjadi sebuah kebanggaan bisa bergabung dengan Real Madrid. Saya sudah lama menantikan momen ini. Saya menghabiskan waktu lima tahun di Juventus dan sekarang saat yang tepat untuk pindah ke Spanyol. Saya sangat senang bergabung dengan kesebelasan terbaik di dunia, saya tidak sabar untuk mengenakan seragam Real Madrid," ujar Zidane saat pertama kali diperkenalkan sebagai pemain Madrid.
Pada musim pertamanya, Zidane sulit beradaptasi dan mendapat banyak kritikan. Ia juga pernah merasakan siulan dari pendukungnya sendiri. Tapi perlahan Zidane menemukan habitat yang diinginkannya. Bahkan pada musim pertama, ia langsung menjadi figur penting Madrid untuk meraih Liga Champions 2001/2002, trofi yang gagal didapatkan bersama Juventus.
Lewat tendangan volinya pada menit 44 ke gawang Bayer Leverkusen, Zidane mengantarkan Madrid untuk mengankat tropi Liga Champions untuk kesembilan kalinya. Gol Zidane pada laga final itulah yang dipilih sebagai yang terbaik. Sama seperti di Juventus, Zidane membela Madrid selama lima musim dan meraih enam gelar juara.
![]() |
Pada Piala Dunia 2002 lalu, Zidane mendapatkan cedera paha dalam pertandingan persahabatan melawan Korea Selatan. Zidane masih bisa bermain dua Piala Dunia lainnya, namun Prancis tersisih di penyisihan grup. Artinya, begitu penting Zidane sebagai roh permainan Prancis. Tapi jika berbicara tentang Zidane dan Piala Dunia, semua orang akan mengingat namanya karena tandukannya kepada Materazzi.
Sebelumnya, Zidane tiga kali menjadi pemain terbaik dunia. Ia pun mencetak dua gol ketika mengalahkan Brasil pada final Piala Dunia 1998. Ia juga pernah menjadi pemain dengan transfer termahal dibeli Madrid dari Juventus. Label-label itu menambahkan fakta bahwa tidak seorang pun yang bisa mengkritisi Zidane walau akhir karirnya dinodai dengan kartu merah karena Materazzi.
![]() |