Mengingat Richard Moller Nielsen, Merayakan Hasil dari Kerja Keras

Untuk menjadi sosok yang diingat oleh banyak orang, maka kita harus menjadi sosok yang mampu melakukan sesuatu yang luar biasa bagi banyak orang.
Siapapun orangnya, tak peduli dari manapun asal serta status sosial orang tersebut, seseorang bisa menjadi sosok yang diingat ketika ia mampu melakukan sesuatu di luar nalar orang kebanyakan. Lebih hebat lagi, sesuatu yang ia lakukan itu menjadi hal yang berguna bagi khayalak luas.
Namun terkadang, jasa dari seseorang tidak diingat oleh orang banyak ketika ia masih hidup. Jasanya malah baru diingat ketika ia sudah meninggal dunia, dan ada orang lain yang baik hati yang berusaha membuat orang lain mengingat jasa dari seseorang tersebut, sebagai usaha dari memelihara dan menjaga ingatan yang mungkin terlupakan.
Selain kisah legendaris Vincent van Gogh yang lukisannya baru dianggap bagus dan laku terjual justru ketika ia telah meninggal dunia, ada sebuah kisah lain dari Denmark tentang seorang pelatih bernama Richard Moller Nielsen.
Diragukan Sejak Awal
Sebelum dilatih oleh Richard Moller Nielsen, timnas Denmark dilatih oleh sosok dari Jerman bernama Sepp Piontek. Piontek adalah sosok pelatih legendaris yang memimpin tim Denmark penuh talenta pada Piala Dunia 1986.
Pada ajang tersebut, Denmark sempat tampil memukau ketika mengalahkan Uruguay dengan skor 6-1 pada fase grup, sebelum akhirnya dikalahkan Spanyol pada babak 16 besar dengan skor 1-5.
Piontek memutuskan untuk mengundurkan diri pada 1990, sehingga menyisakan posisi kosong di kursi pelatih timnas Denmark. Nielsen, yang menjadi asisten pelatih Piontek pada Piala Dunia 1986, berharap dapat mengisi posisi tersebut. Tapi pihak DBU (Federasi Sepakbola Denmark) meragukan kapasitas dari Nielsen.
Dalam buku 'Europamestrene' yang ditulis oleh Flemming Toft, dijabarkan bahwa DBU tidak punya rencana sama sekali untuk mengangkat Nielsen menjadi pelatih timnas. Mereka lebih menginginkan sosok Horst Wohlers, pelatih Bayer Uerdingen, untuk menggantikan posisi Piontek.
"Nenekku dapat mencatatkan hasil yang lebih baik daripada Riichard Moller (Nielsen)," ujar Hans Bjerg-Pedersen, Presiden DBU kala itu.
Selain diragukan oleh DBU, Moller Nielsen pun diragukan oleh para pemain timnas Denmark yang kala itu sedang bertaburan talenta-talenta hebat. Jan Molby, yang kala itu menjadi bintang di Liverpool, menyebut bahwa posisi Nielsen yang sebelumnya hanya asisten Piontek membuat ia sulit mendapatkan rasa hormat dari para pemain.
Apalagi ia juga bukan pribadi yang bisa bicara empat mata dengan para pemain.
Meski pada akhirnya ia berhasil menjadi pelatih timnas Denmark (ini disebabkan calon-calon lain menolak tawaran DBU), keraguan ini membuat ia sulit menangani timnas Denmark. Ia lebih banyak bersinggungan pendapat dengan para pemain, seperti dengan Laudrup bersaudara (Brian dan Michael), Molby, Preben Elkjaer, serta Peter Schmeichel.
Hasil ini pun sempat membuat Denmark tertatih dalam babak kualifikasi Piala Eropa 1992, sehingga harus puas mengakhiri posisi di peringkat kedua babak kualifikasi di bawah Yugoslavia.
Semakin berat ketika para pemain bintang Denmark perlahan-lahan mulai mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi membela timnas Denmark selama Nielsen masih melatih. Namun dari sinilah, awal kisah Nielsen dimulai bersama timnas Denmark.
Nielsen, Si Pemimpi dengan Etos Kerja yang Baik
Tinggal di Denmark, membuat Nielsen paham betul dengan budaya sepakbola di Denmark saat itu. Liganya yang belum bisa disebut profesional, serta kurangnya talenta-talenta hebat membuat negara ini sulit bersaing di kancah internasional bersama dengan negara lain, baik itu di tingkat Eropa maupun dunia.
Dengan segala kesulitan yang dihadapi Denmark kala itu di bidang sepakbola, hal ini pun membuat para warganya tidak memiliki mimpi yang kelewat besar. Mereka bangga dengan kekerdilan mereka, sehingga ketika mereka melihat penampilan timnas Denmark yang begitu menghibur walaupun kalah dalam Piala Dunia 1986, mereka bahagia.
Mereka bahagia dengan rasa malu yang mereka derita dalam ajang tersebut (dihancurkan Spanyol 1-5). Mereka juga bangga mendapat sematan best losers in the world.
Hal inilah yang ditentang oleh Nielsen. Nielsen berpendapat bahwa Denmark bisa berprestasi dengan baik di kancah dunia, tapi mereka harus bekerja keras dan melepaskan diri dari kekangan pemikiran masyarakatnya yang kerap merasa kerdil di mata dunia.
Ia yakin bahwa dengan etos kerja yang baik, Denmark bisa berbicara di turnamen internasional walau tidak memiliki talenta hebat di negaranya.
Ketika diangkat menjadi pelatih timnas, ia pun langsung mempraktekkan pemikirannya ini. Gaya permainan Denmark yang sebelumnya begitu penuh kebebasan di bawah Pionteek, ia ubah menjadi sedikit lebih keras dan penuh dengan kerja defensif. Walau hal ini sempat membuatnya berselisih dengan para pemain bintang timnas Denmark, ia tak peduli.
"Kita harus melawan ekspektasi masyarakat yang rendah ini. Kita harus mengubah taktik kita dan bermain dengan bola-bola panjang," ujar Nielsen ketika itu.
Dengan sedikit pertolongan dari tangan tak terlihat, Denmark pun tampil di putaran final Piala Eropa 1992 di Swedia, setelah Yugoslavia mengundurkan diri akibat perang saudara yang berkecamuk di negeri mereka.
Dengan persiapan yang bisa dibilang mepet, Nielsen justru berhasil menyiapkan tim untuk Piala Eropa 1992 dengan baik.
![]() Foto: Shaun Botterill/Allsport/Getty Images |
Akhirnya, walau tak diperkuat generasi emasnya di Piala Dunia 1986, Denmark justru meraih titel juara Eropa 1992 usai mengandaskan perlawanan Jerman di babak final dengan skor 2-0.
Berkat etos kerja yang baik, serta kemauan Nielsen untuk berubah (ia menjadi sosok yang lebih hangat seiring dengan berjalannya Piala Eropa 1992), Denmark akhirnya bisa meraih gelar juara Eropa.
Gelar ini pun menjadi gelar pertama dan terakhir dari tim yang sampai sekarang masih menyandang nama sebagai tim Dinamit ini. Nielsen, dengan mimpinya dan juga semangatnya yang tak pernah merasa inferior dari negara lain, berhasil membawa Denmark menaklukkan Eropa.
**
Sayangnya, apa yang dilakukan Nielsen ini tak serta merta mendapatkan pengakuan dari masyarakat Denmark. Selain kegagalannya menyabet gelar sebagai Pelatih Terbaik Denmark pada 1992 silam, masyarakat Denmark pada saat itu justru lebih senang membicarakan kiprah Denmark yang begitu menghibur, tapi gagal, pada medio 80an kala dilatih Piontek.
Kesadaran mereka akan jasa Nielsen ini justru baru terbentuk pada 2015 silam, saat film berjudul The Summer of '92 (bahasa Denmarknya, Sommeren '92) diputar secara serentak di Denmark.
Masyarakat pun mulai menyadari bahwa Nielsen adalah sosok yang berjasa bagi negara, karena hanya dialah yang sampai sekarang, mampu mengantar Denmark ke tangga juara.
Kegigihannya dalam merawat mimpi serta kepercayaannya bahwa Denmark tidaklah inferior di mata dunia, adalah pangkal dari segala keberhasilan yang diraih Denmark saat itu. Ditambah lagi dengan etos kerja keras yang ia terapkan di dalam tim, membuatnya menjadi sosok yang tercatat di dalam tinta sejarah.
Richard Moller Nielsen, sosok yang membuat musim panas 1992 di Denmark menjadi lebih berwarna dengan segala kerja kerasnya bagi timnas yang begitu ia cintai, yaitu Tim Nasional Denmark.
![]() |