Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Cinta dan Ironi Paolo Maldini

    Randy Aprialdi S - detikSport
    Paolo Maldini jadi legenda AC Milan dan timnas Italia. Foto: Laurence Griffiths/Getty Images Paolo Maldini jadi legenda AC Milan dan timnas Italia. Foto: Laurence Griffiths/Getty Images
    Jakarta - Ada yang dinantikan di kota Milan dalam beberapa waktu mendatang; penantian kepada aksi generasi Maldini generasi ketiga yaitu Christian Maldini. Ia adalah cucu Cesare Maldini dan putra Paolo Maldini.

    Sosok Cesare mungkin kurang begitu familiar, namun Paolo, tampaknya masih banyak yang belum lupa aksi-aksinya di atas lapangan hijau. Karenanya lewat Christian, diharapkan kita bisa kembali melihat permainan sang ayah, yang menikmati lebih dari 100 pertandingan Liga Champions, nominator Ballon d'Or, kapten Italia dan AC Milan yang dipersembahkan 26 gelar untuk kesebelasan seumur hidupnya tersebut.

    "Saya sebelumnya sudah datang ke San Siro beberapa kali saat saya masih kecil, dan tentu saja mengetahui dongeng-dongeng tentang tempat tersebut," tutur Maldini, yang berulang tahun pada 26 Juni, pernah mengisahkan.

    Maldini memang mantan pemain yang mencurahkan hidupnya untuk Milan. Ia belum pernah membela kesebelasan selain Milan sejak berkarier sejak 1984 sampai pensiun pada 2009 lalu.

    Pria yang menapaki posisinya sebagai full-back kiri atau bek tengah ini tetap bersinar walau bermain di usia yang sudah senja. Hampir setiap anak generasi 1990-an di Indonesia, menempel poster Maldini di kamarnya.

    Mesikpun ia lebih sering bermain di sisi kiri dalam sebagian besar kariernya, tapi posisi asli Maldini adalah full-back kanan. Pria asli Milan yang lahir 49 tahun silam itu, mulai bermain pada posisi tersebut.

    Tapi Arrigo Sacchi sebagai pelatihnya pada saat itu mengalihkannya ke sisi kiri karena di kanan sudah ada Mauro Tassotti. Sacchi mengetahui hal tersebut tidak akan menjadi masalah karena Maldini mampu fleksibel memainkan kedua kakinya.

    "Saya masih ingat pada beberapa menit awal, saya mendapatkan bola, lalu mengembalikannya pada kiper. Setelah itu, saya baru menyadari, saya sedang bermain di Serie-A," celotehnya ketika menceritakan debutnya di Milan menghadapi Udinese pada 20 Januari 1985 dalam usia 16 tahun.

    Maldini memiliki cara sendiri untuk membuat banyak orang kagum. Ia adalah contoh nyata kalau seorang bek tidak perlu berulah beringas untuk menjadi hebat. Ia hanya perlu mencegah lawan untuk mencetak gol dengan cara yang elegan.

    Buktinya, statistik yang ditunjukan FIFA.com mencatat hanya satu kali kartu merah yang didapatkannya dari 1000 pertandingan yang sudah dijalaninya.

    Ketika menyerang, Maldini memiliki kecepatan dan pengirim umpan silang yang bagus. Bahkan dia sanggup mencetak 33 gol di sepanjang karirnya.

    Tapi jelang akhir kariernya, Maldini mulai kehilangan kecepatan dan dipindahkan ke bek tengah. Di posisi itulah ia mengungguli lawan atas pengalamannya, kemampuan taktis, penentuan posisi dan waktu yang tepat untuk memenangkan bola. Maldini memang diakui merupakan bek tangguh kelas dunia yang tak mudah dilewati lawan.

    "Saya selalu menemukan diri saya kesulitan saat menghadapi Paolo Maldini," ujar legenda Brasil, Luiz Nazario Ronaldo Da Lima. "Ia tentunya merupakan bek tertangguh yang pernah saya hadapi sepanjang karier saya. Ia seharusnya layak mendapatkan gelar pemain terbaik dunia, bahkan beberapa kali," sambungnya.

    Maldini adalah kemegahan dalam derby Della Madoninna (AC Milan vs Inter Milan) pada eranya karena saling berhadapan dengan Javier Zanetti. Dulu, kharisma Maldini dan Zanetti memang menjadi daya tarik tersendiri karena kesetiannya kepada kesebelasannya masing-masing. Semua orang pasti merindukan Derby della Madoninna era Maldini dan Zanetti itu.

    Paolo Maldini berduel dengan Javier Zanetti saat AC Milan melawan Inter Milan di 1999. Paolo Maldini berduel dengan Javier Zanetti saat AC Milan melawan Inter Milan di 1999.
    Foto: Claudio Villa /Allsport
    Dua Sisi Mata Uang Karier Paolo Maldini

    Ibarat dua sisi mata uang, prestasi Maldini yang sangat luar biasa bersama Milan berbanding terbalik dengan di Tim Nasional (timnas) Italia. Karier Maldini bersama timnas Italia dimulai pada 1988 dan berakhir pada 2002 usai Piala Dunia di Korea Selatan dan Jepang.

    Bermain sebanyak 126 kali dan mencetak tujuh gol, prestasi terbaik Maldini bersama Italia adalah sebagai runner-up Piala Dunia 1994 dan Euro 2000. Ketika Italia meraih gelar juara Piala Dunia 2006, Maldini hanya bisa menjadi penonton.

    Andai saja jika Maldini masih tergabung dengan Italia pada saat itu, ia juga akan dikenang sebagai simbol salah satu simbol Italia. Padahal sebelumnya ia berkesempatan menerima ajakan Macelo Lippi untuk kembali masuk ke dalam skuat Italia pada Piala Dunia 2006.

    Karier Maldini bersama Italia pun cukup panjang sejak melawan Yugoslavia dalam laga persahabatan pada 31 Maret 1988. Maldini masih berusia 19 tahun ketika menjalani debut di Italia senior tersebut. Pada itu jugalah Maldini mengantarkan Italia ke semifinal Piala Eropa dan ditaklukan Uni Soviet. Kegagalan di semifinal juga terjadi pada Piala Dunia 1990 walau berstatus sebagai tuan rumah.

    Paolo Maldini (tengah) memperkuat Italia menghadapi Meksiko di Piala Dunia 2002.Paolo Maldini (tengah) memperkuat Italia menghadapi Meksiko di Piala Dunia 2002.
    Foto: AFP PHOTO / GERARD JULIEN
    Pada 1994, hampir menjadi tahun terbaik Maldini bersama Italia, seandainya jika tiga tembakan penalti rekannya berhasil. Tahun itulah Italia mencapai final Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Skor laga itu berkesudahan 0-0 dan berlanjut ke adu penalti. Italia sempat girang karena sepakan Marcio Santos gagal. Tapi nyatanya eksekusi Franco Baresi, Daniele Massaro dan Roberto Baggio pun kandas. Alhasil, Maldini pun gagal meraih gelar pertamanya bersama Italia.

    Ia hampir mendapatkan gelar pertamanya lagi pada Piala Eropa 2000. Namun harus kandas karena golden goal yang dicetak David Trezeguet pada menit 103 pada partai final.

    Sistem gol emas itu merupakan aturan pada perpanjangan waktu yang di mana pencetak gol tercepat adalah pemenangnya. Gol emas itu lagi-lagi membuat Maldini pilu ketika Piala Dunia 2002 setelah Ahn Jung-hwan melakukannya pada menit 117. Setelah tersingkir itulah ia pensiun dari Italia dan belum pernah mencicipi satu gelar pun bersama negaranya tersebut.

    Ironi Akhir Karier Paolo Maldini

    Ada banyak hal yang bisa diingat dari Paolo Maldini, salah satunya adalah kelegendaannya yang berbalur tabu pada 24 Mei 2009 lalu saat melawan AS Roma. Pertandingan itu merupakan yang ke-900 untuknya dan kali terakhir Maldini bertanding untuk Milan di San Siro.

    Laga perpisahan ini seharusnya menjadi manis. Andrea Pirlo yang menangis haru, para pemain Roma yang mengenakan kaos bertuliskan "Terima Kasih, Paolo".

    Tapi yang berkibar megah dari Curva Sud (tribun selatan) bernotabene tempat Ultras Milan, justru kostum raksasa Franco Baresi di harinya Maldini itu. Bagi kumpulan ultras itu, Milan hanya punya satu kapten, dan itu bukan Maldini, melainkan Baresi. Memang Maldini tidak memiliki hubungan yang tidak akur dengan para ultras.

    Sekitar musim 1997-1998, saat Maldini baru enam bulan menjabat sebagai kapten, Curva Sud membentangkan spanduk yang bertuliskan "Kurangi Hollywood dan Perbanyak Kerja Keras" di depan rumah Maldini. Hollywood adalah nama tempat hiburan malam di Milan. Maldini dan teman-temannya memang sering bersenang-bersenang di sana.

    Pertandingan terakhir Paolo Maldini, Mei 2009.Pertandingan terakhir Paolo Maldini, Mei 2009.
    Foto: Vittorio Zunino Celotto/Getty Images
    "Saya hanya belajar untuk menerima setiap bagian dan pembagian peran di Milan," ujar Maldini ketika menceritakan pengalamannya ditunjuk sebagai kapten.

    "Milan selalu bermain dengan gaya bermainnya sendiri ketimbang mengubah gaya bermain untuk menghancurkan gaya bermain lawan. Pemain berganti, tapi filosofi ini tak pernah berubah," sambungnya.

    Kemudian Milan mempensiunkan seragam nomor tiga yang dimiliki Maldini. Tapi sejak pensiun, ia belum pernah lagi bergabung ke Milan dalam peran apapun. Maldini Sempat digadang-gadang menjadi direktur teknik karena tertangkap basah oleh media-media Italia telah bertemu dengan Marco Fassone selaku CEO Milan di rumahnya. Tapi sampai saat ini posisi itu masih belum diwujudkan.

    Padahal Maldini sendiri sudah pasti siap melakukan apapun yang terbaik untuk Milan. Tapi di sisi lain, kesebelasan dan unsur-unsur penguasa justru melihatnya sebagai sumber masalah. Apalagi kritiknya untuk Milan selalu tajam dalam beberapa musim terakhir ini.

    Tapi baginya tidak ada jalan lain bagi Milan untuk saat ini. Sebab Cinta adalah alasan utama bagi Maldini untuk mengakhiri klub yang dibela dalam jangka waktu yang lama.

    (rin/rin)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game