Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Malcolm Glazer: Dipuja di Amerika, Dihujat di Manchester

    - detikSport
    Alex Livesey/Getty Images Alex Livesey/Getty Images
    Jakarta -

    Dalam dunia olahraga Malcolm Glazer bukan nama ternama, walaupun ia juga memiliki klub NFL, Tamba Bay Buccaneer. Tapi, untuk melupakan nama ini begitu saja, rasa-rasanya sulit juga. Terlebih, Keluarga Glazer sering disebut, atau lebih tepatnya dihujat, oleh banyak fans Manchester United.

    Malcolm Glazer adalah seorang pengusaha asal Amerika yang sudah menanamkan modalnya di klub Manchester United sejak tahun 2003. Secara kontroversial, pada 2005 ia pun berhasil mengambil alih tampuk kepemilikan "Setan Merah".

    Meski pembelian tersebut mengundang banyak tanda tanya, toh banyak fans MU yang tersenyum manakala melihat prestasi MU saat berada di bawah kepemimpinan Glazer. Entah itu senyum kecut, senyum kebencian, senyum bangga, ataupun senyum pilu. Yang pasti mereka semua tersenyum.

    Di bawah kemudi Glazer, sejak tahun 2005, MU berhasil meraih lima trofi Community Shield , tiga kali juara Piala Liga, lima gelar juara Premier League, satu trofi Liga Champions, dan satu kali juara Piala Dunia Antarklub. Sebuah capaian yang luar biasa, dan belum tentu bisa disamai oleh banyak pemilik klub sepakbola di dunia ini.

    Memang, torehan prestasi MU itu tak terlepas dari jerih payah Sir Alex Ferguson. Tapi jangan lupakan, bahwa salah satu resep kesuksesan Glazer adalah ia tahu bagaimana cara menangani Sir Alex, yaitu dengan cara memberikannya kendali sepenuhnya.

    Tak seperti banyak pemilik klub yang ingin nampang dan menunjukkan kekuasaan dengan ikut campur urusan tim, Glazer membiarkan Fergie bekerja sebebas mungkin. Ia membuat manajer kelahiran Skotlandia itu jadi satu-satunya fokus Manchester United di mata pemain dan media. Ini adalah satu resep yang pas digunakan untuk bekerja sama dengan manajer yang control-freak seperti Sir Alex.



    Berawal dari Jasa Reparasi

    Sebagaimana banyak pengusaha sukses lainnya, kisah Malcolm adalah kisah sukses yang dimulai dari bawah. Anak kelima dari tujuh bersaudara, ia lahir di Rochester pada 28 Mei 1928. Ayahnya adalah seorang imigran dari Lithuania yang mengadu nasib di Amerika, dengan menjalankan bisnis jasa reparasi jam tangan di kota New York.

    Saat Malcolm berusia 15 tahun, ayahnya meninggal dunia. Praktis, ia dan saudaranya-lah yang lalu meneruskan bisnis sang ayah untuk menghidupi keluarga.

    Awalnya Malcolm hanya menjajakan jasa dari pintu ke pintu. Namun, lambat laun, usaha itu akhirnya besar juga. Hingga akhirnya, pada usia ke-21, ia sudah punya franchise jasa reparasi jam tangan di sebuah pangkalan militer Angkatan Udara AS di Rochester.

    "Waktu itu, saya berpenghasilan 50.000 dolar per tahun. Namun, semua yang saya dapatkan, berapa pun itu, saya berikan pada ibu saya," ungkap Malcolm pada koran St. Petersburg kala ditanya jumlah penghasilan menjual jasa reparasi jam.

    Setelah pangkalan militer itu ditutup pada tahun 1956, Malcolm pun berganti haluan. Ia mulai menenamkan modal di panti jompo dan sektor properti sembari membeli beberapa perusahaan terkemuka yang ada di Amerika.

    Pada tahun 1963, perusahaan Malcolm sukses membeli National Bank of Savanah di New York. Sepuluh tahun kemudian, suami Linda Glazer ini berhasil membeli West Hill Convalescent Centre yang ada di kota Hartford, negara bagian Connecticut. Tak hanya itu, pada 1976, ia kembali menggelontorkan uang sebesar 20 juta dollar untuk membeli tiga stasiun televisi sekaligus.

    Lantaran usahanya semakin meluas, Malcolm pun mendirikan perusahaan induk yang dinamai First Allied Corporation pada 1984. Perusahaan induk inilah yang kemudian mengawasi semua bidang usaha di bawah kuasa Malcolm.



    Tapi Malcolm belum puas dengan capaiannya itu. Setelah First Allied berdiri, ia memulai hobi baru, yaitu membeli saham dan melakukan akuisisi. Pada 1984, ia berhasil mengakuisisi jawatan kereta api, Conrail, setelah tawarannya sebesar 760 juta dollar AS diterima oleh pemerintah.

    Pasca Conrail, Malcolm berturut-turut berhasil mengakuisisi perusahaan perabotan dapur, Formica, mengakuisisi perusahaan kilang minyak lepas pantai, Zapata Corp, dan juga membeli sebagian saham produsen sepeda motor mewah, Harley-Davidson.

    Rentetan pembelian dan akuisisi inilah yang membuat nama Malcolm Glazer tercatat dalam daftar 400 nama pengusaha terkaya sepanjang masa versi majalah Forbes yang terbit pada 2003.

    Terjun ke Dunia Olahraga

    Geliat Malcolm di dunia olahraga dimulai pada 1995, yaitu ketika ia berhasil mengakusisi salah satu tim peserta NFL, Tampa Bay Buccaneers, dengan mahar 192 juta dolar. Jumlah yang teramat besar untuk tim macam Tampa Bay yang kala itu masih semenjana.

    Namun, di bawah tangan dingin Malcolm, klub American Football asal Florida ini berubah menjadi tim yang disegani. Mereka sukses memenangkan 131 pertandingan di musim reguler dan menjadi juara Super Bowl untuk kali pertama pada 2002.

    Keberhasilan inilah yang kemudian menjadikan keluarga Glazer begitu disegani di kota Tampa Bay.

    Setelah sukses di olahraga Amerika, Malcolm memperlebar sayapnya. Dan pilihan itu jatuh pada Manchester United, salah satu tim dengan fans terbanyak dan prestasi tersukses di Liga Inggris.

    Pada pertengahan 2003, Glazer hanya mempunyai 3% saham United. Namun, melihat prospek yang cerah pada bisnis ini, Glazer pun secara bertahap menaikkan jumlah investasi. Pada Mei 2005, ia lalu mengeluarkan dana 790,3 juta poundsterling untuk bisa menguasai United sepenuhnya.

    Tapi akuisisi Glazer ini justru mengundang kekecewaan pendukung MU. Pasalnya, 265 juta poundsterling dari dana akuisisi Glazer tersebut diperoleh dengan berutang dengan menggunakan aset klub sebagai agunan.

    Praktis, setelah berpindah tangan ke keluarga Glazer, MU dan juga fans-lah yang bertanggung jawab untuk melunasi utang tersebut sekaligus membayar bunganya.

    Tak pelak kebijakan ini menuai protes. Bahkan, utang-utang United ini mendorong sebagian fans untuk membentuk klub baru, yaitu FC United of Manchester.

    Beberapa fans juga ada yang ingin "menyelamatkan" MU dengan jalan membeli saham United. Tapi, niatan tersebut ditolak mentah-mentah oleh sang pemilik. Keluarga Glazer lebih memilih untuk menahan 90% saham dan melemparkan 10% saham MU ke bursa saham New York, daripada dimiliki oleh para suporter.

    Ketika tak menjual saham kepada para suporter, tak ada yang bisa mengusik hegemoni Glazer di Old Traffod.

    Bisnis memang bisnis. Sebagaimana dikatakan Michael Corleone dan beberapa tokoh lainnya dalam film The Godfather, tak ada yang personal dalam bisnis. Tak mengenal keluarga atau pun sanak saudara, apalagi suporter. Jadi, wajar saja jika keluarga Glazer lebih memilih untuk melempar MU ke bursa saham, yang jelas-jelas lebih menguntungkan, ketimbang menjualnya kepada para suporter.

    Lantas, jika MU terlilit utang dan sarat kontroversi, kenapa mereka justru berprestasi satu dekade ini?

    Keluarga Glazer sadar, jika ingin htang mereka segera terlunasi, dan harga saham MU tetap stabil di pasaran, mereka harus terus berprestasi. Jika tidak, nilai saham mereka akan anjlok dan sponsor enggan datang. Yang berarti juga bencana bagi sang pemilik.

    Maka tak heran, semasa dipimpin Glazer, Sir Alex dituntut untuk selalu mempersembahkan trofi setiap tahunnya, meski kucuran dana kadang ada kadang tidak. Hal inilah yang kemudian berimbas pada tren MU satu dekade terakhir. Semata hanya untuk mengembalikan modal sang pemilik dan membayar tangguhan utang yang melilit klub.

    Begitu juga halnya dengan pemecatan David Moyes. Selain karena rentetan hasil buruk United pada musim ini, pemecatan dini Moyes tersebut adalah imbas dari anjloknya harga saham MU di bursa saham New York. Mungkin, jika harga saham MU tak jatuh-jatuh amat, mantan pelatih Everton itu tak akan dipecat secepat ini. Maklum, United dan Moyes sebelumnya sudah menjalin suatu kesepakatan proyek jangka panjang.

    Tapi, sekali lagi, bisnis ya bisnis. Tak perlu ada sentimen personal dan tak perlu memberikan waktu belajar yang terlampau panjang. Tidak untuk Moyes, tidak untuk para suporter.

    Lalu bagaimana dengan nasib United setelah Malcom meninggal dunia pada Rabu (28/5) kemarin? Tampaknya tidak akan ada yang berubah, karena toh selama Malcolm sakit, klub dengan gelar Liga Inggris terbanyak itu sudah diurus oleh ketiga anaknya. Klub ini akan terus berjalan sebagaimana Malcolm menginginkannya: sebagai bisnis. Tidak kurang. Tidak lebih.



    ===


    * Akun twitter penulis: @prasetypo dari Pandit Football Indonesia

    (fem/a2s)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game