Sejarah Timnas U-19 (bagian 1)
Perjalanan Garuda Muda dulu Menjadi Juara Asia

Jika ditilik dari segi hitung-hitungan gelar, analogi tadi bisa dijadikan pembenaran, toh di saat PSSI Yunior pernah jadi juara se-Asia Tenggara, se-Asia, bahkan pernah masuk Piala Dunia, timnas senior kita tetap begitu-begitu saja.
Ekspektasi masyarakat tak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Wajar juga berharap, jika saat yunior berprestasi, akan berprestasi juga saat masuk level senior. Ternyata tidak.
Pesimisme tersebut tentunya tidak 100% benar, kendati tak pernah menggaet juara di kejuaraan resmi, timnas senior kita pernah mencicipi peringkat pertama dalam turnamen-turnamen bergengsi di Asia macam Merdeka Games dan Kings Cup, tetapi bagi publik itu tentu saja tak cukup, bukan?
Tak menutup mata juga, timnas senior memang sering menjadi runner-up atau semifinalis [2 kali semifinalis Asean Games, 4 kali runner- up AFF Cup] tetapi keseringannya itu kadang membuat orang jemu. "Kapan sih timnas senior ini akan berprestasi meraih trofi bergengsi?" Kejemuan itu terkadang berubah menjadi euforia yang meledak tak terkontrol saat yunior muncul sebagai pendobrak busuknya sang senior.
Fenomena timnas U-19 yang heboh saat ini sebenarnya bukanlah hal baru dalam lembaran sejarah sepakbola nasional. Perilaku masyarakat kita yang begitu memuja Garuda Muda dan menjadikan Garuda Dewasa sebagai olok-olokan bukan cerita baru.
Hampir setengah abad silam, tepatnya di awal dekade 60an saat PSSI Yunior menjuarai Piala Asia tahun 1961 di Bangkok, kondisi serupa terjadi tak jauh beda dengan kondisi sekarang: Berawal dari konflik, dilalui dengan kepedihan dan berakhir dengan cerita indah layaknya fairytale.
Berikut akan sedikit saya ceritakan, bagaimana kisah tersebut bermula.
Berangkat ke Bangkok dengan Konflik dan Kegagalan TC
Pada suatu hari di bulan Februari 1961, secara mengejutkan Dr Halim mundur dari jabatannya sebagai ketua Komisi Pemilih dan Coaching PSSI.
Langkah itu segera diikuti oleh staff pelatih, Maulwi Saelan, yang sebenarnya masih aktif sebagai pemain (saat itu masih berusia 33 tahun, masih relatif belum terlalu tua untuk seorang kiper). Ia mundur karena tak setuju dengan nama-nama skuad yang akan diberangkatkan oleh PSSI ke Bangkok.
"Karena kompromi tak bisa diadakan, maka Dr Halim mengembalikan pula kartu anggota PSSI. Jang berarti Ia telah keluar dari anggota PSSI," tulis Majalah Aneka No.5 edisi Bulan Februari tahun 1961.
Banyak pihak menyesalkan sikap Dr Halim ini. Sikapnya otomatis akan mempengaruhi secara radikal pola pemilihan dan kepelatihan yang selama ini dilakukan oleh PSSI bersama kepala Pelatih Toni Pogacnik yang blusukan bersama mencari pemain dan melatih para instruktur hampir lebih dua tahun lamanya.
Entah ini berbau politis atau tidak, namun yang jelas aroma persaingan di antara pengurus PSSI mulai terlihat di dalam tim PSSI Yunior. Sepekan setelah mundurnya Dr Halim, Ketua Komisi baru yang sementara waktu dipegang oleh Ketua PSSI Abdul Wahab mengeluarkan pernyataan mengejutkan lewat media.
Secara resmi PSSI mengakui bahwa telah terjadi kegagalan selama kepemimpinan Dr Halim. "Suatu kegagalan yang tidak pernah diungkap dan diperbaiki," begitu ucap Abdul.
Secara panjang lebar, Abdul Wahab berujar bahwa kondisi pemain PSSI senior dan yunior yang kebetulan waktu itu disatukan di Perumahan Baru Jalan Sisingamaraja, Kebayoran, memang tidak terurus betul.
Kesulitan lapangan menjadi masalah utama timnas kala itu. Lapangan kebayoran yang jadi tumpu berlatih, ternyata konstruksi tanahnya amat buruk dan bergelombang "Latihan dasar jang seharusnya diberikan kepada mereka, mengalami kegagalan. Pemain-pemain tidak bisa berlatih didalam control, menendang, berlatih teamwork," kata sosok yang pernah menjabat ketua PSSI periode 1960-1964 ini.
Masalah muncul, saat pemain terlalu banyak melakukan olahraga di indoor ketimbang di lapangan sepakbola itu sendiri. Alhasil menu latihan sehari-hari seperti angkat besi, pingpong dan sebagainya menjadi olahraga utama ketimbang bermain sepakbola.
Mengingat waktu Piala Asia Yunior yang semakin mepet, pemusatan tim yunior langsung segera dipindahkan dari Kebayoran ke Ikada agar mendapat fasilitas latihan yang lebih baik.
Djamiat Dahlar Sang Pembeda
Pelatih timnas PSSI Yunior kala itu Djamiat Dahlar mengingatkan saya akan sosok Indra Sjafri saat ini. Di tengah konflik internal yang terjadi di PSSI, Djamiat memilih bersifat netral dan enggan terlibat lebih dalam.
Dia memutuskan mundur dari jabatan anggota Komite Pemilih dan Coaching PSSI, menolak tawaran dari Abdul Wahab untuk jadi ketua komite tersebut dan lebih memilih fokus menjadi pelatih timnas yunior. Sikapnya itu diambil karena selama menjabat sebagai anggota komite banyak pihak-pihak yang merecoki setiap keputusannya terhadap timnas yunior. Diapun merasa tak bebas dan terkekang.
Teguh dalam pendirian, itulah Djamiat Dahlar. Dalam penerapan latihan dan taktik di tim yunior ia menuai banyak sorotan tajam. Pasalnya dengan berani ia memainkan hal yang berlainan dengan corak dasar permainan Toni Pogacnik yang waktu itu selalu jadi pakem di tim nasional.
"Tipe permainan para junior, dalam kerdja sama dan gerak permainanja sudah menundjukan hal yang prinsipil amat berlainan dengan jang selama ini djadi dasar permainan tim asuhan Toni Pogacnik," tulis Majalah Aneka.
Selama di Indonesia, Toni Pogacnik memang memperkenalkan sebanyak mungkin sistem sepakbola modern para pemain asuhannya. Dengan demikian, ia tidak akan mengalami banyak kesulitan menerapkan srategi baru untuk menyikapi sebuah pertandingan tertentu.
Toni adalah sosok yang tidak menganut pola permainan tertentu yang menjadi favoritnya untuk diterapkan ke dalam timnas. Pola permainan bagi Toni bukanlah persoalan utama dibandingkan dengan strategi yang insedental. Inilah pembeda antara Toni dan Djamiat Dahlar.
Sebagai eks anak dididkan Toni Pogacnik pada skuad timnas pertengahan dekade 50-an, Djamiat memiliki kecerdasan intelejensia dan pemahaman taktik yang cukup baik, terlebih perannya di tengah sebagai pengalir bola blok to blok membuat transfer ilmu dari Toni ke dirinya teramat banyak.
"Djamiat sudah mulai melatih penjerang-penjerangnya untuk djuga menggunakan pengotjehan tjepat, pada saat penjerang-penjerang itu tertutup pendjagaan lawan dan tidak bisa menggunakan operan bola sebagai alat pembuka jalan," tulis Aneka lagi.
Dalam soal defensive action, publik memuji penerapan pressing ketat yang diajarkan Djamiat ke anak didiknya. Dengan memakai formasi 3-2-5 alias WM, ia meminta 5 pemain didepan Agam-Djuamdio-Andjik-Bob Hippy-Kuswanadji sebagai palang pintu pertama menahan serangan lawan.
Hidup di negara yang memandang jumlah gol sebagai satu-satunya ukuran keberhasilan, eksperimen ini menuai cacian, karena dalam beberapa laga ujicoba melawan tim-tim kecil, tim yunior ini hanya mampu menang kecil.
"Penjerangan perlu dijalandjutkan bila pertahanan musuh sedang serapat-rapatnja," ucap Djamiat menanggapi pertanyaan wartawan tentang pola serangan yang ia terapkan ke anak asuhnya. Di masanya, itu hal yang baru karena di tim senior meski Toni Pogacnik gemar bermain open play alias menyerang total, saat menghadapi tim yang memiliki pertahanan kuat Toni biasanya mengintruksikan pemain-pemainnya untuk bersabar, mengendurkan serangan di tengah dan memberikan efek kejut secara mendadak.
Djamiat adalah sesosok eks-pemain dan pelatih yang jenius, begitu puji Toni. Dan kejeniusan itu terbukti di Piala Asia Junior 53 tahun silam, saat dia berhasil membaca timnas Indonesia menjadi juara (bersama Burma), suatu kejeniusan yang akan kembali diingat orang.
Suatu sejarah yang mungkin akan berulang.
====
*ditulis oleh @aqfiazfan dari @panditfootball
(roz/din)