Lihatlah Jepang, Kita Masih Jauh dari Piala Dunia

Perjuangan tim nasional U-19 menuju Piala Dunia akhirnya harus terhenti setelah gagal meraih satu pun angka dari tiga pertandingan fase grup Piala Asia. Jangankan lolos ke Piala Dunia U-20 seperti yang ditargetkan, menggondol poin pun tak sanggup. Bayangkan: dari 16 kesebelasan yang berlaga, hanya tim asuhan Indra Sjafri satu-satunya yang tidak meraih satu pun poin.
Harapan besar masyarakat terhadap tim yang sempat mengalahkan Korea Selatan di fase kualifikasi untuk bisa membanggakan Indonesia di ajang Piala Dunia pun sirna. Evan Dimas dan kawan-kawan gagal merebut tiket ke kejuaraan sepakbola paling bergengsi tersebut.
Awalnya tim ini terlihat meyakinkan, terlebih saat berhasil menjadi juara Piala AFF U-19 dan mengalahkan Korea Selatan tahun lalu. Permainan mereka begitu mempesona, setidaknya untuk melewati level Asia. Jika Korsel saja bisa mereka kalahkan, maka seharunya Uzbekistan, Australia, dan Uni Emirat Arab pun bisa.
Kemampuan individu mereka tidak kalah dari pemain-pemain top dari negara lain. Kekompakan tim pun seharusnya bukan masalah mengingat mereka sudah berkumpul dalam waktu yang lama. Namun nyatanya, mereka pun gagal.
Dari sini kemudian timbul pertanyaan, apa lagi yang salah? Berbagai usaha sudah dilakukan dari mulai mencari pemain hingga ke pelosok negri agar mendapat yang terbaik, hingga mengirim mereka ke luar negri untuk berujicoba dengan negara lain. Namun lagi-lagi hasil yang kita raih tetap sama, gagal. Apakah negeri ini dikutuk agar tidak bisa berjaya di sepakbola?
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini juga sempat terlintas di pikiran saya. Salah apa sepakbola Indonesia?
Saya tidak mau langsung membicarakan soal organisasi sepakbola yang bobrok atau kompetisi yang carut marut. Organisasi sepakbola Brasil juga korup, namun pemain berbakat tetap lahir disana. Irak juara Piala Asia bahkan saat negara tersebut lebih sering mendengar suara ledakan bom ketimbang pertandingan sepakbola. Lalu mengapa Indonesia tidak bisa?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus bergulir di pikiran saya. Terlebih saat tim nasional U-19 yang sangat meyakinkan pun harus gagal begitu cepat, tragis dan berakhir secara menyedihkan: dikalahkan oleh Uni Emirat Arab, tim yang sebelumnya bisa dikalahkan dua kali.
Namun kemudian terdapat satu hal yang membuat saya tidak lagi berani mempertanyakan hal tersebut. Satu hal yang membuat saya langsung mengatakan, bahwa kita belum berbuat apa-apa.
Saat ini, saya mendapatkan kesempatan untuk belajar di Jepang beberapa bulan. Negara yang sudah berada jauh di depan Indonesia, termasuk pada bidang sepakbola. Dan tidak butuh waktu lama bagi negeri ini untuk membuat saya kagum pada sistem yang sudah mereka bangun.
Awalnya saya bingung saat datang ke sebuah pertandingan sepakbola antar universitas. Saya heran ketika melihat selain para mahasiswa, di sana juga terdapat penonton dari berbagai kelompok umur. Dari mulai anak-anak hingga kakek dan nenek yang sudah harus menggunakan kursi roda untuk hadir menyaksikan pertandingan tersebut. Memang jumlah penonton tidak dalam jumlah yang besar, namun variasi umur yang datang sangat beragam.
Saya hanya sedikit bertanya, bukankah ini hanya pertandingan tingkat universitas? Apa yang dicari oleh orang-orang dari berbagai umur ini pada pertandingan antar universitas?
Pertanyaan saya terjawab setelah setelah profesor saya di Universitas menjelaskan bagaimana konsep dasar pembangunan olahraga di Jepang. Konsep dasar ini mereka gunakan sebagai dasar pemikiran mereka sejak tahun 1961 hingga sekarang.
Foto: Getty Images/Masashi Hara
Seperti yang kita ketahui dari pelajaran sejarah di bangku sekolah, Jepang kalah perang pada tahun 1945 di Perang Dunia II. Bom atom di Hiroshima dan Nagasaki bukan hanya menghancurkan dua kota itu, tapi memukul mundur Jepang sebagai sebuah kekuatan. Negara ini hancur lebur dan memaksa pemerintah Jepang harus membangun satu per satu aspek kehidupan yang mereka miliki.
Tidak hanya pada bidang olahraga, semua aspek kehidupan yang mereka butuhkan harus dibangun kembali dari nol. Maka perencanaan jangka panjang pun langsung mereka buat untuk membangun segalanya. Tidak sekadar 10-20 tahun, namun mereka merencakanan untuk perkembangan 50-100 tahun.
Olahraga juga mereka anggap sebagai salah satu aspek kehidupan yang harus segera mereka bangun. Maka olahraga pun tidak lepas dari perencanaan jangka panjang yang mereka lakukan. Tiga tahun sebelum mereka menyelenggarakan Olimpiade Tokyo tahun 1964, sebuah konsep perencanaan olahraga jangka panjang dikeluarkan. Satu konsep yang kemudian diberi nama Japan Sport Promotion Act ini terus mereka pegang hingga 50 tahun setelahnya.
Yang menarik dari konsep perencanaan yang mereka bangun adalah mereka sama sekali tidak terlihat langsung berambisi meraih prestasi dalam waktu dekat. Hanya ada satu kalimat dalam target perencanaan ini, dan dalam kalimat tersebut sama sekali tidak menyinggung masalah Olimpiade, Piala Dunia, atau semacamnya.
"Sports for Everyone! Create a Society in which everyone shares the joy and the excitement of sports and support sports."
Membuat seluruh masyarakat senang berolahraga adalah tujuan utama dari program 50 tahun mereka. Prestasi top atlet hanya disebutkan pada salah satu kunci keberhasilan perencanaan ini. Dimana mereka harus bisa meraih medali olimpiade lebih banyak dari olimpiade sebelumnya. Namun pada intinya, yang diinginkan oleh pemerintah Jepang dalam 50 tahun adalah membuat semua masyarakat senang berolahraga.
Pada praktiknya, mereka kemudian membuat 3 hal penting untuk dapat mencapai tujuan tersebut. Fasilitas untuk berolahraga, Event-event olahraga, dan pemberdayaan klub-klub olahraga. Hasilnya, sebuah survei yang dilakukan oleh Sasakawa Sport Foundation menyebutkan bahwa pada tahun 1990, masyarakat Jepang yang berolahraga secara rutin dengan intensitas lebih dari 3 kali satu minggu hanya sebesar 23,7%. Dan pada tahun 2012 lalu, angka ini meningkat dua kali lipat hingga mencapai 59,1%.
Hal ini pulalah yang kemudian membuat saya menemukan datangnya berbagai kalangan pada satu pertandingan sepakbola antar mahasiswa. Bagi sebagian besar masyarakat Jepang, olahraga menjadi satu kebutuhan yang tidak bisa mereka tinggalkan. Orang-orang yang sudah berusia lanjut dan tidak lagi bisa banyak beraktivitas akan hadir ke pertandingan-pertandingan olahraga untuk melengkapi kebutuhannya akan olahraga.
Apa yang ingin disampaikan adalah saya baru melihat secara langsung satu bentuk popularitas olahraga. Indonesia selalu mengaku merupakan satu negara yang sangat menggilai sepakbola. Kita mengklaim bahwa sepakbola merupakan olahraga paling populer dan bangga fakta menyebutkan bahwa fan page Real Madrid dan Manchester United di facebook mayoritas dihuni oleh orang-orang Indonesia.
Foto: detikSport/Grandyos Zafna
Saya hanya baru menyadari bahwa kita menggunakan parameter yang salah untuk menentukan tingkat popularitas sepakbola. Sepakbola sama sekali belum populer di Indonesia.
Coba saja anda lihat, ada berapa banyak lapangan sepakbola di Indonesia sekarang? Ada berapa banyak kompetisi sepakbola yang dikelola serius di Indonesia? Ada berapa sekolah sepakbola di Indonesia? Ada berapa klub sepakbola profesional di Indonesia?
Bisa dikatakan bahwa Indonesia kini hanya populer sebagai penonton sepakbola. Tingkat popularitas sepakbola di Indonesia hanya sebatas sebagai fans garis keras sebuah klub sepakbola. Dan kita sudah berhasil menjadi expert di bidang ini. Kita telah berhasil menunjukan pada dunia bahwa Indonesia adalah pasar yang sangat baik bagi klub-klub sepakbola Eropa.
Kita telah berhasil mencapai sesuatu yang sesuai dengan apa yang kita lakukan selama ini. Kita belum melakukan apapun yang membuat negeri ini bisa sampai ke Piala Dunia. Maka sudah sewajarnya kita tidak akan pernah sampai ke Piala Dunia.
Indra Sjafri bersama tim nasional U-19 memang sudah melakukan suatu hal yang lebih baik dari sebelumnya. Mencari pemain hingga ke pelosok negeri, melatihnya dengan metode terbaik, dan menyiapkan segalanya untuk menghadapi kompetisi.
Namun tidak ada yang perlu diherankan ketika semua itu harus kembali kandas ketika menghadapi negara lain. Alasannya sudah jelas karena negara lain sudah melakukan hal yang jauh lebih baik dari yang kita lakukan. Jepang yang sudah merancang program 50 tahun dengan sangat luar biasa saja baru sekedar mampu menjadi pelengkap di Piala Dunia. Lalu kita mau berharap bisa meraih hal yang sama dengan usaha yang tidak sampai 1% dari yang dilakukan Jepang?
Bermimpi Indonesia masuk Piala Dunia memang bukan satu hal yang salah. Saya juga tidak akan pernah membuang mimpi ini sampai kapan pun dari diri saya. Namun bermimpi tanpa kemudian berbuat apa-apa juga menjadi hal yang konyol.
Piala Dunia memang menjadi tujuan besar kita yang sepertinya tidak akan mungkin kita raih dalam waktu dekat ini. Maka mungkin ada baiknya jika fokus perhatian kita sedikit dirubah untuk tujuan-tujuan kecil yang lebih mungkin untuk kita raih saat ini. Segera ubah pola pikir kita yang sering memaksa meraih hal yang terlalu mewah padahal hal sederhana yang krusial sama sekali belum bisa kita raih.
====
*ditulis oleh @aabimanyuu dari @panditfootball