Wangsa Pozzo

Pernahkah anda bermimpi memiliki salah satu kesebelasan Eropa? Atau setidaknya, menjadi pemilik dari kesebelasan favorit anda?
Khayalan macam itu masih bisalah dikatakan wajar. Namanya juga berkhayal. Apalagi bagi penggemar sepakbola, rasanya lumrah saja mengkhayalkan diri menjadi pemilik tim kesayangan.
Namun bagaimana jika mengkhayalkan memiliki tiga kesebelasan sekaligus yang semuanya berkiprah di tiga kompetisi level teratas dalam liga-liga terbaik dunia?
Perkenalkan: Giampaolo Pozzo. Pengusaha asal kota Udine, Italia, ini tentu saja menggemari Udinese, kesebelasan yang berasal dari kota kelahirannya. Riwayat hidupnya dengan sepakbola menemukan jalan yang istimewa ketika ia menikahi Giulliana, cucu presiden Udinese saat itu, Giuseppe Bertoli.
Pernikahannya dengan Giuliana secara tak langsung membawa Pozzo ke ranah manajerial kesebelasan favoritnya tersebut. Bahkan di tahun 1986, Pozzo secara resmi membeli Udinese dan menjadi presiden kesebelasan tersebut. Ia pun berupaya menyelamatkan Udinese dari panggung kesuraman Serie B dan menjadi tim kuda hitam Serie A.
Karena pepatah “buah jatuh tak jatuh dari pohonnya” maka sang ayah Pozzo mewariskan keahliannya dalam berbisnis kepada salah satu anaknya yaitu Gino Pozzo.
Kelihaian Gino Pozzzo tentu tak serta merta muncul begiu saja. Sang ayah yang mencoba mengasah bakat anaknya tersebut dengan cara mengirimnya ke Harvard University. Di kampus bergengsi di Amerika Serikat itulah ia menimba ilmu tentang manajemen dan bisnis.
Sekembalinya menimba ilmu di Amerika Serikat, Gino pulang ke Eropa namun menetap di Barcelona, Spanyol. Ia melanjutkan hidupnya di Barcelona dan memiliki perusahaan yang bergerak dalam bidang perkakas elektrik hingga bidang properti dan keuangan. Ia sendiri menikahi peremuan pujaannya asal Spanyol dan diberkahi tiga orang anak.
Di lain tempat, sang ayah terus berjuang keras mendongkrak keuangan dan performa Udinese. Meski belum pernah merenguh scudetto di era kepemimpinan Pozzo, namun setidaknya Udinese pernah menempati peringkat ketiga Serie A di musim 1996-97 di bawah Juventus dan Inter Milan.
Bahkan, tak lama kemudian, gelar Piala Intertoto pernah direngkuh Udinese di tahun 2000 pasca mengalahkan Sigma Omolouc. Karier kepersidenannya yang terus menanjak juga mengundang banyak perhatian penikmat sepakbola Italia. Pozzo akhirnya mendapatan gelar presiden terbaik di Serie A pada musim 2007-08.
Kesuksesan tersebut ternyata membuka celah baru dalam dunia pengelolaan tim profesional. Pada 2009, atau satu musim pasca terpilihnya kembali dirinya sebagi presiden terbaik di Italia, ia mencoba mengakuisisi Granada CF yang saat itu berjuang di divisi Segunda B (divisi ketiga dalam piramida persepakbola Spanyol).
Koneksinya dengan Quique Pina, seorang mantan pesepakbola dan agen pesepakbola di Spanyol, memudahkan Pozzo untuk mengakuisisi Granada pasca mundurnya Ignacio Cuerva karena masalah keuangan yang melilit kesebelasan Andalusia tersebut.
Pozzo memang tak menjadi presiden Granada meskipun ia sudah memilkinya. Ia menyerahkan tampuk kepresidenan kepada sahabatnya (Quique Pina) tersebut. Mungkin, pikirnya, orang Spanyol akan mengerti kultur persepakbolaan lokal di sana dan aklan mampu diberi kepercayaan mengembangkan Granada nantinya.
Pasca akuisisi tersebut, penampilan Granada pun mulai terdongkrak sedikit demi sedikit. Bahkan Granada yang hanya hanya berkompetisi di divisi ketiga pada 2009-10, secara ajaib berhasil promosi ke Primera La Liga. Dan itu hanya membutuhkan dua musim saja. Dari musim 2009-2010 ke musim 2011/2012. Atau, dengan kata lain. mereka promosi tiap musimnya pasca diakuisisi Pozzo.
Kemudian, apa rahasia Pozzo dan Quique Pina dalam mengelola Granada?
Langkah awal Pozzo adalah menyelamatkan keuangan Granada dan membayar semua utangnya. Setelah neraca keuangan mulai stabil, Pozzo membangun hubungan bilateral antara Udinese dan Granada dalam pengembangan pemain muda dan jaringan pencarian bakat di seluruh dunia.
Ketika Udinese mendapatkan pemain muda berbakat, dan tampaknya tak akan terpakai di tim utama Udinese, mereka akan meminjamkannya ke Granada. Tak hanya pemain muda, pemain senior lainnya jika membutuhkan jam bermain dan sulit mendapatkan tempat di Udinese, mereka akan dikirim menuju Spanyol dan mendapatkan apa yang mereka inginkan yaitu jam bermain yang lebih banyak.
Hal ini tentu menguntungkan kedua belah pihak. Apalagi dengan posisi Granada yang waktu itu ingin promosi dari divisi ketiga menuju divisi kedua Liga Spanyol. Bahkan dengan kata lain, Granada seperti kesebelasan cadangan Udinese yang berbeda nama. Terlihat licik tapi memang sah adanya.
Keuntungan yang diraup oleh Granada tak melulu mendapatkan pujian. Malah, dikabarkan beberapa pendukung tim di divisi segunda sempat memprotes kelakuan licik Granada ini. Menurut mereka, Granada diuntungkan dengan banyaknya pemain pinjaman dari Udinese. Suporter Granda acuh tak acuh. Mereka tak ambil pusing dengan hal tersebut. Pikir mereka,”Bodo amat. Yang penting kesebelasan naik ke divisi primera.”
Kini, empat tahun sekembalinya Granda ke divisi primera, mereka memang hanya berkutat di papan bawah saja. Bahkan posisi 15 dan 17 di papan klasemen seperti menjadi langganan tetap kesebelasan yang bermarkas di Los Carmenes ini. Musim lalu saja mereka harus berjuang hingga akhir kompetisi untuk menjauhi jurang degradasi. Untung saja, pertandingan terakhir saat melawan Atletico Madrid berakhir imbang. Granada selamat, Pozzo dan Pina bisa bernafas lega.
Setelah membangun konekstivitas antara Italian dan Spanyol mulai terjalin dengan baik dan saling menguntungkan, Pozzo beserta sang anak, Gino, mulai tertarik melebarkan bisnis sepakbolanya ke Inggris.
Watford yang memiliki dan gemar terhadap pengembangan pemain muda tampaknya menjadi salah satu alasan Pozzo untuk mengambil alih dari pemilik sebelumnya yaitu Laurence Bassini. Akhirnya, pada Juni 2012 lalu, Pozzo berhasil mengakuisisi klub tersebut dan menempatkan anaknya, Gino, untuk memantau perkembangan Watford.
Pada awal kepemimpinannya Gino membawa kompatriotnya asal italia, Gianfranco Zola, untuk melatih Watford. Hal ini masuk akal karena Zola adalah salah satu pria Italia yang sukses di tanah Inggris kala memperkuat Chelsea di dekade 1990an. Tak banyak pemain Italia yang sukses di Inggris, Zola adalah salah satunya.
Mimpinya untuk promosi ke kompetisi teratas liga primer Inggris tak langsung tercapai seperti apa yang terjadi pada Granada ataupun saat berupaya mengembalikan Udinesse ke Serie-A. Bahkan Watford mesti menelan pil pahit saat kalah di partai final play-off promosi musim 2012-13. Mereka kalah dari Crystal Palace di perpanjangan waktu.
Gino tidak menyerah. Ia terus membangun skuatnya dengan mengontrak pelatih-pelatih baru dan memaksimalkan Udinese dan Granada demi mendapatkan pemain pinjaman untuk memperkuat Watford.
Puncaknya musim 2014-15 Watford berhasil promosi ke kompetisi teratas di Inggris. Ini merupakan sejarah tersendiri bagi keluarga Pozzo karena seluruh kesebelasan yang dimilikinya bermain di kompetisi teratas Italia, Spanyol dan Inggris. Tiga negara sepakbola dan ketiganya adalah liga-liga papan atas di Eropa dan Dunia.
Tak banyak pengusaha seberuntung dan seulet keluarga Pozzo dalam menjalankan bisnis sepakbola. Udinese, Granada dan Watford mungkin medioker saja, artinya bukan kesebelasan yang rutin masuk dalam daftar para kandidat juara. Namun cerita wangsa (dinasti) Pozzo dalam sepakbola ini menarik untuk dicemati sebagai salah satu metode untuk bertahan hidup dalam industri sepakbola yang ganas, kejam dan penuh persaingan yang melibatkan para taipan dengan uang segunung.
Jika melihat tradisi, Pozzo kerapkali mengakuisisi sebuah klub lain pasca tim sebelumnya sukses atau promosi. Maka bisa jadi pasca promosinya Watford di Liga Primer Inggris, keluarga Pozzo mungkin akan melebarkan sayapnya ke Prancis, Belanda atau mungkin ke Jerman.
Ini hal menarik lain yang patut untuk ditunggu.
====
* Akun twitter penulis: @bmzakky dari @panditfootball
** Foto-foto: Getty Images